Tuesday, August 23, 2011

Kontroversi Laporan Keuangan Interim


Oleh Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat di Majalah Akuntan Indonesia edisi Agustus 2011


PSAK 3 Laporan Keuangan Interim revisi 2010 telah disahkan oleh DSAK untuk berlaku tahun 2011. Kemunculannya sedikit terlambat dibandingkan dengan rangkaian PSAK-PSAK berbasis IFRS yang keluar sejak tahun 2009 untuk berlaku tahun 2011. Awalnya PSAK 3 ini memang tidak termasuk dalam golongan PSAK yang akan berlaku tahun 2011, namun setelah melihat perubahan PSAK 1 Penyajian Laporan Keuangan yang sangat signifikan maka akan sulit bagi perusahaan untuk membuat laporan keuangan interim 2011 menggunakan model penyajian laporan keuangan yang lama sedangkan laporan keuangan tahunan 2011 harus menggunakan model penyajian laporan keuangan yang baru. Bukankah aneh bila laporan keuanga interim sepanjang tahun 2011 tidak pernah menyajikan pendapatan komprehensif lain lalu kemudian tiba-tiba di akhir tahun 2011 pada laporan keuangan tahunan perusahaan menyajikan pendapatan komprehensif lain.

Oleh sebab itulah PSAK 3 Laporan Keuangan Interim dikeluarkan walaupun sedikit terlambat dibandingkan PSAK-PSAK lainnya yang berlaku 2011. Dengan adanya PSAK 3 yang baru maka laporan keuangan interim dengan laporan keuangan tahunan 2011 diharapkan menjadi lebih konsisten. PSAK 3 telah disahkan oleh DSAK-IAI pada tanggal 22 Oktober 2010 untuk berlaku 1 Januari 2011. Namun mengingat entitas sebenarnya baru membutuhkan PSAK 3 pada saat penyusunan laporan keuangan kuartal 1 tahun 2011 yakni pada Bulan Maret, dianggap waktu yang ada cukup memadai bagi entitas untuk memahami PSAK 3 ini. Apalagi exposure draft dari PSAK 3 ini sudah dipaparkan dalam public hearing tanggal 27 April 2010.

Apa yang berbeda dengan PSAK 3 Sebelumnya?

Definisi periode interim dalam PSAK 3 yang baru menjadi lebih “principle based” yakni Periode pelaporan keuangan yang lebih pendek daripada satu tahun buku penuh. Dengan difinisi ini makan PSAK 3 mencakup laporan keuangan bulanan, kuartalan maupun tengah tahunan. PSAK 3 juga Tidak mengatur entitas mana yang disyaratkan untuk menerbitkan laporan keuangan interim, seberapa sering, atau berapa lama setelah akhir suatu periode interim.

Mengikuti perubahan penyajian dalam PSAK 1 Penyajian Laporan Keuangan, maka laporan keuanagn interim juga menyajikan laporan laba rugi komprehensif. Entitas memiliki pilihan apakah akan menyajikan laporan keuangan secara lengkap atau secara ringkas. Apabila entitas menyajikan secara lengkap maka format laporan keuangan akan serupa dengan laporan keuangan tahunan. Sesuai dengan PSAK 1, entitas juga perlu mengungkapkan kepatuhan terhadap SAK yang berarti entitas mematuhi semua persyaratan di dalam SAK.


Kotraversi Laporan Keuangan Interim

Beberapa hal menjadi perhatian dan diskusi baik di antara penyusun laporan keuangan maupun di kalangan penyusun standar akuntansi. Pertanyaan pertama terkait dengan laporan keuangan komprehensif. Dalam PSAK 3 sebelumnya apabila perusahaan menyusun laporan keuangan interim untuk kuartal ke-3, maka laporan laba rugi disusun dari awal tahun sampai September. Namun dengan PSAK 3 yang baru, tambahan dari itu, perusahaan juga harus menyusun laporan keuangan komprehensif periode Juli-September. Sedangkan apabila entitas memang hanya diwajibkan membuat laporan keuangan enam bulanan, tentunya PSAK 3 hanya mewajibkan membuat laba rugi komprehensif dari Januari sampai Juni.

Praktik yang ada saat ini untuk perusahaan publik, Bapepam LK meminta laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan, namun tidak meminta laporan kuartalan. Sedangkan Bursa Efek Indonesia meminta laporan keuangan tahunan, laporan keuangan tengah tahunan, dan juga laporan keuangan kuartal 1 dan kuartal 3. Entitas kemudian menjadi bingung apakah laporan keuangan tengah tahunan yang diminta oleh Bursa Efek Indonesia berarti adalah laporan keuangan kuartal 2 atau laporan keuangan tengah tahunan? Apabila dianggap sebagai laporan keuangan kuartal 2 maka entitas juga harus melaporkan laba rugi periode April-Juni. Apakah dengan demikian entitas membuat dua laporan, yang ditujukan ke Bapepam LK dan satu lagi yang ditujukan kepada Bursa Efek Indonesia?

Apakah sebenarnya tujuan dari menyajikan dua jenis informasi laba rugi? Ketika memang laporan keuangan kuartalan tersedia bagi investor, selain informasi kinerja perusahaan sejak awal tahun, investor juga ingin mengetahui bagaimana kinerja perusahaan sejak laporan keuangan kuartal sebelumnya. Untuk negara yang empat musim, maka melihat siklus per kuartal dibanding dengan kuartal sebelumnya dapat menjadi signifikan dalam mengambil keputusan. Industri fashion dan retail misalnya memiliki siklus sesuai musim, oleh sebab itu “Spring Collection” atau “Summer Collection biasanya lebih dinanti pemerhati mode dibandingkan “Winter Collection”.

Namun apakah investor di Indonesia, sebagai negara tropis, membutuhkan kinerja per kuartalan? Atau memang investor di Indonesia lebih membutuhkan informasi sejak awal tahun sampai tanggal kuartalan untuk memprediksi profit di akhir tahun? Apakah investor di Indonesia membutuhkan informasi Juli-September untuk kuartal 3 atau sebenarnya lebih membutuhkan informasi Januari-September?

Berbeda dengan di Amerika misalnya dimana puncak belanja masyarakat umumnya adalah waktu thanksgiving dan natal yang terjadi di Bulan November dan Desember, di Indonesia umumnya kita sangat maklum bahwa bulan Ramadhan dan Lebaran adalah puncak konsumsi dan belanja masyarakat. Apakah relevan untuk mengambil keputusan berdasarkan kinerja laporan keuangan kuartalan tahun ini dan tahun sebelumnya, terutama bila lebaran sebenarnya terus bergeser 11 hari?

Interepretasi dari praktik saat ini di Indonesia beragam. Beberapa orang berpendapat untuk laporan keuangan kuartal 3 yang diminta Bursa Efek Indonesia bisa saja dianggap bukan laporan keuangan kuartalan bila judulnya adalah “Laporan Keuangan Januari-September”. Dengan demikian perusahaan tidak perlu menyajikan laporan laba rugi Juni-September. Pendapat kedua, apapun judul laporannya, bila laporan keuangan tengah tahunan tersedia untuk publik maka laporan keuangan September harus menyajikan juga kinerja Juni-September.

Peraturan Bapepam LK VS Bank Indonesia

Belum lagi beberapa pedoman akuntansi yang dibuat oleh regulator belum direvisi sesuai dengan PSAK 1 dan PSAK 3. Jadilah entitas tambah kebingungan. Perbankan misalnya mengeluh bahwa Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia untuk laporan keuangan interim 2011 belum meminta sesuai format PSAK 1. Apakah lalu untuk bank-bank yang publik mereka harus menyerahkan laporan keuangan yang berbeda untuk Bapepam LK dan untuk Bank Indonesia?

Hal ini dilakukan oleh Bank-Bank yang publik. BTPN dan BCA misalnya menerbitkan laporan keuangan dua versi, satu versi Bapepam LK dan satu lagi versi Bank Indonesia. Hal ini tentunya sangat membingungkan publik selain juga menjadi tidak efisien karena perbankan harus iklan di Koran nasional dua kali.


Walaupun terlambat akhirnya Bank Indonesia menerbitkan surat kepada seluruh bank tertatanggal 27 Juli yang diharapkan mampu menjadi jawaban. Bank Indonesia mewajibkan bank mempublikasikan pula laporan keuangan komprehensif. Untuk laporan posisi keuangan (Neraca) Bank juga diminta membuat periode perbandingan selama tiga periode yakni 30 Juni 2011, 31 Desember 2010 dan 30 Juni 2010. Hal ini sebagai langkah kompromi atas persyaratan PSAK 3 dimana laporan posisi keuangan dibandingkan dengan periode akhir tahun sebelumnya (31 Desember 2010) bukan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (31 Juni 2010).

Namun tak urung surat BI ini datang terlambat dan tidak bisa mencegah bank yang mungkin sudah mengirimkan file publikasinya ke koran-koran nasional. Sehingga koran nasional yang terbit setelah tanggal 27 Juli 2011 banyak memuat LKTT perbankan tanpa revisi yang diminta surat BI. Terbit pertanyaan berikutnya, bagaimana bank yang sudah terlanjur mempublikasikan LKTT? Apakah masih perlu menerbitkan LKTT revisian?


Perubahan Kebijakan Akuntansi diantara waktu Interim.

Kontroversi berikutnya adalah mengenai perubahan kebijakan akuntansi di antara waktu interim. Apabila perusahaan melakukan perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela (berarti perubahannya bersifat retrospektif), dalam PSAK 3 dikatakan maka perusahaan juga harus menyajikan kembali laporan keuangan interim sebelumnya yang diterbitkan pada periode tahun tersebut dan juga setiap tahun buku lalu yang akan disajikan kembali dalam laporan keuangan tahunan sesuai dengan PSAK 25, kecuali hal ini tidak praktis. Sebagai ilustrasi bila perusahaan membuat perubahan kebijakan sukarela pada bulan agustus 2011, apakah berarti ketika membuat laporan keuangan interim kuartal 3, perusahaan juga harus menyajikan kembali laporan interim kuartal 2 dan kuartal 1 tahun 2011 juga laporan interim kuartal 3,2 dan 1 tahun 2010?


Dampak PSAK 3 terhadap Sistem Informasi Perusahaan

Pun bila seandainya entitas memang diwajibkan membuat laporan keuangan sesuai dengan PSAK 3, hal ini tidak bisa dianggap dari sudut pandang kesiapan sistem informasi perusahaan. Untuk memotret kinerja keuangan antar waktu kuartal (misal Maret-Juni) bukan berarti perusahaan mengurangkan angka-angka bulan Juni dengan angka-angka bulan Maret. Sistem informasi perusahaan harus mampu untuk membuat cut off yang jelas per periode kuartalan untuk mampu menyusun laporan laba rugi kuartalan.

Di dalam PSAK 3 jelas dilarang untuk berusaha melakukan smoothing pendapatan maupun smoothing biaya. Pendapatan yang diterima secara musiman, berulang, atau berkala dalam suatu tahun buku tidak boleh diantisipasi oleh entitas atau ditangguhkan pada tanggal interim, jika antisipasi atau penangguhan tidak akan sesuai pada akhir tahun buku. Beberapa entitas yang secara rutin memang memiliki pendapatan di waktu siklus tertentu (semisal bulan Desember) maka diakui sesuai dengan terjadinya.Keputusan materialitas pengakuan dan pengungkapan didasarkan pada data keuangan interim, sehingga ketergantungan terhadap estimasi menjadi lebih besar dibandingkan laporan keuangan tahunan. Hal ini tentunya perlu ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.



Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, bukan pendapat resmi Ikatan Akuntan Indonesia.

Friday, August 19, 2011

Kualitas Riset Akuntansi di Indonesia Meningkat Laporan dari Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh



Oleh Ersa Tri Wahyuni
Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia versi Agustus 2011

Kuantitas dan kualitas riset akuntansi yang dikirimkan oleh dosen-dosen dan periset Indonesia ke Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh (SNA XIV) meningkat. Demikian diungkapkan oleh Dr. Setiono Miharjo, ketua Dewan Seleksi SNA XIV kepada Akuntan Indonesia setelah pengumuman Best Paper Award pada penutupan SNA XIV 22 Juli lalu.

Simposium Nasional Akuntansi adalah symposium bergengsi yang telah bertahun-tahun menjadi tolok ukur kualitas riset akuntansi di Indonesia. “SNA kali ini menjaring 372 riset yang masuk. Jumlah ini meningkat drastis dari SNA 13 sebelumnya yang dilaksanakan di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto yang menarik 260 riset. Bahkan jumlah riset yang masuk kali ini paling tinggi dibandingkan SNA-SNA sebelumnya. Bukan hanya kuantitasnya meningkat tapi juga kualitasnya jauh lebih baik,” jelas Setiono lagi. Dari 372 riset yang terjaring, dewan seleksi memutuskan 83 riset berhasil memenuhi kriteria dan dipresentasikan di dalam kegiatan SNA ini. Kemudian dipilihlah 3 riset paper terbaik yang mendapatkan anugerah Best Paper Award (2) dan The Most Promising Paper (1). Tahun ini panitia memutuskan menambah kategori “The Most Promising Paper” sebagai penghargaan bagi riset yang paling menjanjikan untuk dipublikasikan dalam jurnal riset internasional. Lihat box 1 untuk rincian informasi riset terbaik.

SNA XIV kali ini diselenggarakan di Universitas Syiah Kuala, kota Banda Aceh dimulai dari 21 Juli 2011 sampai 23 Juli 2011 yang diakhiri dengan kunjungan wisata ke Pulau Sabang. Sebanyak 420 akuntan akademisi dari seluruh Indonesia berkumpul di tanah rencong dengan delegasi terbesar berasal dari Unievrsitas Udayana, Bali sebanyak 22 orang dan disusul dengan delegasi dari Unieversitas Lambung Mangkurat Banjarmasin sebanyak 17 orang. Kegiatan SNA kali ini mengambil tema Green Accounting: Peran Akuntan dalam Mewujudkan Bisnis yang Sustainable.

Acara Pembukaan

Acara pembukaan diawali dengan tarian Ranup Lam Puan yang dibawakan oleh tujuh mahasiswi fakultas ekonomi dengan baju tradisional aceh. Para penari membawa nampan berisi gulungan sirih yang kemudian ditawari kepada para tamu-tamu undangan. Sekapur sirih adalah persembahan tuan rumah kepada tamu yang lazim disuguhkan dalam tradisi melayu.

Dalam sambutan Ketua DPN IAI Prof. Mardiasmo, yang diwakili oleh anggota DPN Dr.Khomsyiah mengucapkan selamat atas pemilihan topic symposium yang sangat sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. “Dan apakah ada tempat lain yang lebih tepat untuk mengusung tema ini selain Aceh yang memang sudah terkenal dengan sumber daya alamnya yang kaya sekaligus bagian penting dari hutan dunia?” demikian kata Dr.Khomsyiah yang membacakan sambutan tertulis ketua DPN-IAI.

Terlebih tema SNA kali ini juga sejalan dengan konsep Pemerintah Aceh tentang “Aceh Green” yng dideklarasikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, bersama dengan Gubernur Papua dan Gubernur Amazon di Brazil pada 12 Desember 2007 untuk menyelamatkan paru-paru dunia yakni hutan-hutan di Aceh, Papua dan Brazil. Pemerintah Aceh juga dengan sangat berani memberlakukan moratorium penebangan kayu sejak Juni 2007 demi untuk menyelamatkan hutan sumatera yang 80% berada dalam wilayah Aceh.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar yang juga sedang mencalonkan diri menjadi Gubernur Aceh dalam Pilkada mendatang mengatakan bahwa pelestarian lingkungan sudah menjadi tradisi dalam tanah Aceh sejak jaman kerajaan berabad silam. “Pada masa kerajaan Aceh dulu, perusak lingkungan hukumannya adalah hukuman mati.” Ungkap Wakil Gubernur.

Acara pembukaan SNA XIV Aceh ditutup dengan pemberian Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan SAK-ETAP kepada perwakilan-perwakilan SMK di Propinsi Aceh. Penyerahan buku SAK ini adalah bentuk kepedulian IAI kepada perkembangan pendidikan akuntansi di Indonesia dan merupakan salah satu aktivitas CSR IAI.


Sesi Presentasi Riset-Riset Akuntansi

Setelah acara pembukaan, SNA menyuguhkan tiga sesi presentasi 83 riset akuntansi. Dalam setiap sesi terdapat sembilan kelas presentasi yang berlangsung secara paralel sesuai dengan bidang kajian. Secara golongan besar, riset-riset tersebut digolongkan menjadi riset kuantitatif atau riset kualitatif. Kemudian setiap golongan dibagi lagi menjadi beberapa bidang kajian seperti Akuntansi Manajemen dan Keperilakukan, Akuntansi Keuangan dan Pasar Modal, Akuntansi Syari’ah, Akuntansi Sektor Publik, Corporate Governance, Pendidikan Akuntansi, Perpajakan dan Sistem Informasi, Auditing dan Etika Profesi.

Banyaknya kelas paralel yang berlangsung tak urung membuat beberapa peserta kebingungan dalam memilih, “Aduh semuanya bagus-bagus, milih yang mana ya?” gumam salah satu peserta dari Bandung di depan beberapa kelas presentasi. Tak pelak riset paper yang menarik dan unik kebanjiran peserta sementara ada kelas paralel yang hanya berisi sekitar sepuluh peserta. Tujuan dari presentasi riset adalah untuk mendapatkan masukan dan perbaikan sebelum riset tersebut dipublikasikan ke jurnal penelitian baik nasional maupun internasional.

Beberapa pemakalah baru pertama kali ini menjadi pemakalah di dalam SNA. Tentunya ini adalah hal yang membanggakan. Sebut saja Syaiful Anas, Dosen Universitas Padjadjaran yang mempresentasikan papernya tentang experimen balance scorecard. “Senang bisa diterima risetnya di SNA dan bangga. Walaupun lelah karena baru terbang tadi pagi dari Jakarta dan presentasi sore ini juga, tapi tidak terasa.” Ujar Syaiful Anas yang menulis riset berdua dengan Mahfud Sholihin dari Universitas Gadjah Mada.

Kebangaan yang sama juga dirasakan oleh Ika Merdekawati mahasiswa S1 dari Bakrie University yang mempresentasikan papernya mengenai ketepatan pelaporan keuangan di pasar modal Indonesia. “Saya awalnya gugup karena satu panel dengan Doktor dari UI apalagi saya baru pertama kali ini presentasi riset di simposium. Ini hasil riset dari skripsi S1 saya. Tapi saya senang dan bangga bahwa riset saya berhasil menembus SNA “ ujar Ika yang menulis dan mempresentasikan risetnya dalam bahasa inggris.

Terselip diantara peserta yang rata-rata akademisi adalah dua orang dari perwakilan perusahaan. Dini dan Hera adalah staf akuntansi dari Garuda Maintenance Facility (GMF) yang hadir menjadi peserta SNA kali ini. “Kami mendapatkan undangan di kantor dan kami pikir bagus juga untuk tahu perkembangan riset akuntansi terbaru. Apalagi dalam masa konvergensi IFRS, perusahaan kami juga harus mengadopsi PSAK-PSAK terbaru.” demikian ungkap Dini yang awalnya cukup terkejut karena jarang perwakilan dari perusahaan yang mengikuti kegiatan SNA.


Banjarmasin, kota tujuan SNA Berikutnya

Pada hari terakhir SNA, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin menyampaikan niatnya untuk menjadi tuan rumah SNA berikutnya tahun 2012. Niat ini disambut baik oleh para peserta SNA. “Wah asyik ke Banjarmasin bisa sekalian beli oleh-oleh batu permata dan makan soto Banjar.” Bisik salah satu ibu-ibu dosen dari Jakarta. Sebagian peserta juga menanyakan akses penerbangan ke Banjarmasin.

SNA setiap tahun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya dan ini menjadi ajang reuni bagi para dosen akuntansi di Indonesia. Selain mendiskusikan riset-riset akuntansi, para peserta juga biasanya bersemangat untuk mencicipi kuliner setempat. Seperti SNA di aceh kali ini, peserta dimanjakan oleh ragam menu khas Aceh yang disuguhkan panitia dalam coffee breaks dan makan siang. Sebutlah kopi aceh yang tersohor dan kue timphan dari tepung ketan dan srikaya yang legit manis. Pada malam hari, para peserta secara berkelompok juga mencari kesempatan untuk menikmati duren sumatera yang terkenal reputasinya juga mie kepiting yang selalu menjadi buah bibir.

Setiap tuan rumah biasanya akan berusaha menjamu para peserta SNA dengan sebaik-baiknya. Para peserta SNA XIV dijamu makan malam oleh Walikota Banda Aceh pada malam pertama dan oleh Gubernur Aceh pada hari kedua. Selain menu-menu khas Aceh yang memanjakan lidah, peserta juga diajak menikmati tarian-tarian khas Aceh yang menerbitkan decak kagum. “Kalau saya harus menari tarian Aceh, mungkin saya harus minum paramex besoknya “ seloroh Muhammad Nasir, ketua IAI KAPd setelah melihat tari Rapa’i Geleng yang dibawakan dengan kompak oleh 15 pemuda Aceh. Tarian ini banyak melakukan gerakan menggelengkan kepala dengan cepat sesuai dengan irama rebana yang rancak.

Persahabatan yang dijalin selama SNA dan pengalaman mengunjungi kota-kota di Nusantara sekaligus menikmati stimulus intelektual, membuat para peserta SNA selalu rindu untuk kembali menghadiri SNA.

Sampai bertemu di Banjarmasin pada SNA XV tahun 2012 !

*** Best Paper Award SNA 14 Aceh****


Best Paper Award untuk Qualitative Research : Rekonstruksi Konsep Akuntabilitas Organisasi Gereja: (Studi Etnografi Kritis Inkulturatif pada Gereja Katolik di Tana Toraja) oleh Fransiskus Randa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Makassar

Best Paper Award untuk Quantitative Research: Accounting Fundamentals and Variations of Stock Price: Forward Looking Information Inducement oleh Sumiyana Gadjah Mada University

The Most Promising Research: Disaggregating the Control Devices of Family-Based Governance: the Case of Indonesia oleh Muhammad Agung Prabowo Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret

*******************************

Pertemuan Emerging Economies Group di Beijing: Negara Ekonomi Berkembang Menghadapi Kendala dalam Menerapkan Standar Nilai Wajar


Aucky Pratama & Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Agustus 2011


Pada bulan April 2009 G20 mendesak International Accounting Standards Board (IASB) selaku perumus standar akuntansi yang berlaku secara global (International Financial Accounting Standards – IFRS) untuk mengikut sertakan negara-negara ekonomi berkembang dalam proses perumusan standar akuntansi. Diharapkan suara dari negara-negara tersebut dapat terwakilkan dalam IFRS sebagai standar akuntansi yang akan diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia. IASB mengambil langkah konkrit dengan membentuk Emerging Economies Group (EEG), dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari negara-negara ekonomi berkembang terkait dengan proyek pengembangan IFRS.
Sebagai hasil diskusi awal yang dilakukan oleh Mr. Wayne Upton selaku IASB Director of International Activities dan perwakilan dari Kementrian Keuangan China, pengukuran nilai wajar ditetapkan sebagai topik awal diskusi EEG. Diharapkan EEG dapat memberikan masukan khususnya terkait aplikasi dan penerapan pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang, dan diharapkan dapat mencetuskan suatu panduan implementasi yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan. Isu ini terkait dengan salah satu proyek diskusi IASB yang saat ini sedang berjalan, yaitu IFRS 13 Fair Value Measurement.
Tujuan utama dari IFRS 13 adalah untuk memberikan penjelasan atas definisi nilai wajar (fair value) dan bagaimana ketentuan pengukurannya, dan juga pengungkapan yang diperlukan atas pengukuran tersebut. Latar belakang dari standar ini adalah adanya variasi pengukuran nilai wajar di IFRS yang saat ini berlaku, yang satu sama lainnya tidak konsisten. Ini juga merupakan proyek yang dicanangkan oleh IASB dalam rangka meningkatkan konvergensi antara IFRS dengan US GAAP. Setelah melalui proses perumusan yang panjang, disertai dengan diskusi-diskusi dan permintaan tanggapan IASB menerbitkan versi final dari IFRS 13 pada tanggal 12 Mei 2011.
Sebagai perumus standar akuntansi global IASB tentunya perlu untuk mempertimbangkan masukan-masukan dari negara-negara yang mengadopsi atau terkonvergensi dengan IFRS. Salah satu komponen yang selama ini dirasakan kurang dalam memberikan masukan adalah negara-negara ekonomi berkembang yang menerapkan IFRS sebagai standar akuntansinya. Secara umum karakteristik utama dari negara-negara “emerging economies” tersebut adalah:
1. Kontrol pasar yang relatif ketat;
2. Pasar yang berkembang dengan infrastruktur pasar yang masih belum memadai, dan varietas perdagangan yang terbatas;
3. Adanya pasar yang tidak aktif; dan
4. Peserta pasar yang relatif belum mutakhir
Sebagai bagian dari persiapan pertemuan EEG yang pertama yang akan diadakan di Beijing, China pada bulan Mei telah mempersiapkan sebuah draft laporan yang terkait dengan penerapan standar akuntansi pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang. Draft ini secara khusus mendiskusikan isu-isu yang umumnya dialami oleh negara-negara ekonomi berkembang dalam pengukuran nilai wajar, diantaranya:
1. Identifikasi transaksi yang tidak umum (not orderly)
2. Properti investasi yang diukur pada nilai wajar
3. Aset biolojik penghasil produk agrikultur (bearer biological asset)
4. Instrument ekuitas di pasar non-publik
5. Nilai wajar berdasarkan harga bid dan ask
6. Nilai wajar instrument ekuitas yang dibatasi penjualannya
7. Aplikasi kuotasi harga (quoted price) dari pihak ketiga
8. Aset tidak menghasilkan (non-performing assets) yang dikuasai perusahaan manajemen aset
9. Penyesuaian risiko kredit atas instrumen keuangan
10. Obligasi dengan opsi melekat
Isu-isu inilah yang dianggap paling umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang dalam draft EEG yang telah disiapkan. Umumnya negara-negara berkembang memiliki kendala dalam menerapkan IFRS 13 ini akibat dari karakteristik pasar Negara ekonomi berkembang yang belum matang. Diharapkan masukan-masukan dari negara-negara tersebut dapat dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing pada tanggal 26 Juli 2011 . Dan nantinya akan disampaikan kepada IASB sebagai bagian dari masukan yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan isu-isu yang terkait dengan IFRS 13 Fair Value Measurement.
Dalam diskusi IAI dengan Ir. Rengganis Kartomo, MSc., MAPPI (Cert.) dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) secara umum dapat disetujui bahwa memang isu-isu yang disampaikan dalam draft laporan EEG umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Ada beberapa perbedaan antara rekomendasi yang disampaikan dalam draft laporan EEG mengenai nilai wajar dengan praktik yang umum terjadi di Indonesia, diantaranya mengenai pengukuran nilai wajar aset biolojik penghasil dan instrument ekuitas yang di perdagangkan di pasar non-publik. Menurut Rengganis, perbedaan-perbedaan ini secara umum tidak terlalu signifikan dan hanya disebabkan oleh kondisi dan infrastruktur perekonomian di Indonesian yang berbeda dengan beberapa negara yang juga ikut serta dalam EEG. Selain isu-isu yang telah diangkat dalam draft, Rengganis dalam diskusinya dengan IAI juga menyetujui bahwa konsep nilai wajar dalam konteks aset takberwujud perlu untuk dimasukkan sebagai isu yang perlu dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut berpartisipasi dalam EEG perlu untuk ikut serta dalam memberikan masukan dan tanggapan yang nantinya akan disampaikan ke IASB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI dan Rengganis Kartomo sebagai Ketua Dewan Standar Penilai Indonesia dari MAPPI. EEG Working groups bukan hanya membicarakan mengenai fair value, namun juga issue-issue lainnya akan didiskusikan dalam pertemuan yang secara rutin akan dilakukan secara berkala. Rosita Uli Sinaga sebagai Ketua DSAK-IAI menjadi anggota tetap EEG Working Group yang akan rutin menghadiri pertemuan secara berkala. Sementara setiap anggota delegasi diijinkan membawa satu orang ahli yang menguasai topik bahasan yang akan dibahas. Pada pertemuan Juli di Beijing, topik yang akan dibahas adalah kendala dalam menerapkan Fair Value sehingga Rengganis menjadi mitra yang cocok dalam mendamping Rosita di dalam kegiatan tersebut.

Menurut Rosita keaktifan Indonesia di dalam forum-forum Internasional seperti ini tak lepas dari peran strategis Indonesia di dalam perekonomian dunia. Ini juga menunjukkan peran nyata Indonesia dan khususnya Ikatan Akuntan Indonesia dalam perkembangan IFRS sebagai standar akuntansi global.