Friday, December 23, 2011

Menuju DSAK-IAI Yang lebih Transparan dan Percaya Diri dalam Gelombang Konvergensi IFRS

Oleh Ersa Tri Wahyuni*
Tulisan ini dimuat dalam kolom Opini majalan Akuntan Indonesia edisi Ulang Tahun, 23 Desember 2011.


Sore itu tanggal 22 Desember 2009, di Graha Akuntan, Sindaglaya Menteng, wajah-wajah tegang DSAK dan tim teknis tengah berdiskusi di dalam rapat pleno DSAK yang sangat penting. Agenda rapat hari itu sangat padat. Bulan Desember 2009, DSAK melaksanakan rapat hampir setiap minggu. Agenda rapat hari itu adalah mengesahkan beberapa PSAK yang telah tutup masa komentarnya. Rapat tanggal 22 Desember 2009 terasa lebih menegangkan karena esoknya tanggal 23 Desember 2009, DSAK-IAI akan mengadakan public hearing istimewa. Public Hearing dilaksanakan di tempat yang lebih extravagant daripada biasanya yakni di Hotel Ritz Carlton karena akan dilanjutkan dengan perayaan HUT IAI ke 52. Tepat setahun setelah dicanangkannya Konvergensi IFRS pada HUT IAI 23 Desember 2008, Ketua DSAK-IAI harus tampil percaya diri memaparkan perkembangan proses konvergensi IFRS.

Tanggal 23 Desember 2009 adalah hari yang penting karena pada hari itu dilaksanakan exposure draft empat PSAK dan pengesahan 19 produk DSAK (enam produk diantaranya disahkan dalam rapat 22 Desember 2009) yang terdiri dari 10 PSAK, 5 ISAK dan 4 PPSAK. Roda konvergensi IFRS di Indonesia mulai bergulir kencang, membuat banyak orang tercengang dan terengah-engah mempelajari begitu banyak PSAK baru yang disahkan pada akhir tahun 2009.


Cerita dari Dapur Konvergensi IFRS.

Selama periode konvergensi IFRS, Juli 2009-Maret 2010 adalah periode DSAK-IAI paling sibuk. Konsinyering hampir dilakukan setiap bulan, ditambah rapat tim kecil dan pleno di Graha Akuntan Sindanglaya. Konsinyerng DSAK-IAI biasanya dimulai dari jum’at siang dengan rapat tim kecil. Kemudian rapat pleno jum’at malam atau sabtu pagi hingga sabtu malam. Bila agenda belum selesai rapat pleno dilanjutkan hari minggu pagi. Setelah beberapa kali rapat konsinyering selama tiga hari dua malam, saya mendapatkan protes dari beberapa anggota DSAK. “Ersa, kapan aku ketemu anak nih kalau setiap weekend rapat terus?” akhirnya kebijakan konsinyering berubah hanya dua hari satu malam saja. Selama tahun 2010, rapat DSAK masih tetap padat dengan total 17 kali rapat DSAK pada tahun 2010 diluar rapat dengan pemerintah, regulator dan industri.

Menu cemilan favorit ketua DSAK ketika rapat DSAK di Graha Akuntan IAI adalah martabak dan pempek. Anggota DSAK lainnya, Setiono Miharjo biasanya akan lebih bergairah rapat bila menu makan malam dapat DSAK adalah sate kambing, apalagi bila konsinyering DSAK dilakukan di Puncak, Bogor maka sate kambing menjadi menu wajib. Buah-buahan, keripik dan kacang telor biasanya menjadi cemilan favorit sambil berdiskusi hingga tengah malam.

Rapat DSAK biasanya dimulai dengan mengesahan agenda rapat DSAK dan disusul dengan revisi dan pengesahan notulen rapat DSAK sebelumnya. Ketua DSAK-IAI memimpin rapat, yang digantikan oleh wakil ketua DSAK-IAI bila ketua berhalangan. Bila ketua dan wakil ketua berhalangan, pimpinan rapat digantikan oleh anggota DSAK yang lain. Irsan Gunawan, salah satu anggota DSAK yang paling senior, beberapa kali diberi kepercayaan memimpin rapat DSAK-IAI, juga Ludovicus Sensi Wondabio juga beberapa kali memimpin rapat dengan sangat efisien.

Rapat DSAK bisa berlangsung berjam-jam bila sedang membahas hal-hal pelik. Beberapa anggota DSAK yang “early bird” biasanya akan mulai mengantuk bila diskusi sudah melewati pukul 10 malam. Sebagian dari mereka akan menyenggol sikut saya, “Sa, ingetin Bu Rosita tuh, diskusinya cepetan jangan lama-lama, udah malam nih”. Sementara sebagian anggota DSAK yang “night owl”, semakin malam diskusinya akan semakin garang. Pernah pada suatu rapat di salah satu hotel di Jakarta, saya harus mengingatkan ketua DSAK bahwa rapat sebaiknya dihentikan karena sudah jam 2 pagi, beberapa anggota DSAK-IAI bernafas lega, demikian juga beberapa staff teknis IAI yang sudah mempersiapkan berkas rapat sejak pagi hari memandang saya dengan ucapan terima kasih. Namun ternyata ketua DSAK-IAI dan beberapa anggota DSAK masih melanjutkan diskusi sampai pukul 3 pagi sambil menghabiskan kacang yang tersisa.

Beberapa masalah pelik didiskusikan dalam beberapa kali rapat. Voting terkadang tidak bisa dihindari. Misalnya adalah voting mengenai judul PSAK 7 apakah tetap mengunakan istilah “Pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa” atau menggunakan istiilah “pihak berelasi”. Masing-masing pihak telah memberikan argumennya dan diskusi hangat dilakukan. Akhirnya “pihak berelasi” dipilih dan menang tiga suara dalam voting rapat DSAK 22 Mei 2010.

Dedikasi, kerja keras dan team work DSAK untuk mensukseskan program konvergensi IFRS sangat saya banggakan. Setelah dicemooh world bank dalam laporannya bahwa IAI telah gagal berulang kali mencapai target konvergensi IFRS , maka DSAK-IAI dan tim teknis manajemen purnawaktu IAI bertekad sekuat tenaga untuk mencapai target konvergensi tahun 2012. Bila akuntan di Indonesia terengah-engah mengikuti proses perkembangan PSAK dan DSAK-IAI merasa lelah dalam masa-masa brutal konvergensi IFRS, bayangkan betapa exhausted tim teknis bekerja untuk memenuhi harapan banyak pihak. Staf baru bertambah, beberapa mahasiswa magang dipekerjakan, ijin cuti staf ditolak, setiap sabtu dan minggu kantor IAI ramai seperti hari kerja biasa, komputer dan printer ditambah, dan bekerja sampai tengah malam mereview exposure draft dan PSAK yang akan naik cetak adalah hal yang lumrah.


Transparansi dan Tata Kelola DSAK-IAI

Seiring dengan meningkatnya profil DSAK-IAI dalam masa konvergensi IFRS, maka transparansi dan tata kelola DSAK-IAI menjadi sorotan banyak pihak. Sudah menjadi tradisi dalam IAI, calon anggota DSAK tidak melamar untuk menjadi anggota DSAK-IAI, tapi dilamar untuk oleh DPN-IAI. Hal ini untuk menghindari social climber atau profession climber, mereka yang hanya mengincar jabatan anggota DSAK-IAI untuk kepentingan politik pribadi. Sepanjang sepengetahuan saya, IAI belum pernah mengiklankan posisi kosong DSAK-IAI di media masa nasional.

Hal ini menuai kritik banyak pihak yang mempertanyakan transparansi dalam pengangkatan anggota DSAK-IAI. Hal ini juga membuat calon kandidat anggota DSAK-IAI yang sebenarnya mimiliki niat tulus dan siap untuk bekerja keras tidak bisa “menembus” jejaring dalam kepengurusan IAI untuk dapat dinominasikan menjadi anggota DSAK-IAI. Karena beberapa anggota IAI “diminta” dan bukan mengajukan diri, terkadang hal ini membuat aktivitas DSAK-IAI tidak menjadi prioritas utama mereka. Apalagi menjadi anggota DSAK-IAI adalah pekerjaan sukarela dimana para anggota DSAK-IAI tidak mendapatkan manfaat keuangan secara langsung dalam menjalankan perannya.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk meragukan dedikasi DSAK-IAI untuk bekerja keras menyusun standar akuntansi, namun dapat dipahami bahwa motivasi dan passion setiap anggota DSAK dalam bekerja untuk DSAK-IAI tidaklah sama. Bagi anggota DSAK-IAI yang berprofesi akuntan publik, menjadi anggota DSAK-IAI tentunya berpotensi meningkatkan profil dan pendapatan dari jasa konsultasi, namun bagi mereka yang tidak bisa secara langsung menikmati intangible benefit status DSAK-IAI, maka rapat-rapat DSAK yang panjang dan melelahkan harus bersaing dengan agenda kerja mereka lainnya yang menjadi tanggungjawab utama. Beberapa anggota DSAK-IAI yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan, terkadang tidak bisa menghindar dari rapat bersama atasannya sehingga harus absen dari rapat DSAK-IAI. Atau anggota DSAK-IAI yang mewakili penyusun laporan keuangan dari perusahaan, terkadang hanya bisa rapat setelah jam kerja sehingga jarang bisa bergabung rapat-rapat dengan regulator dan industri yang biasanya dilakukan pada jam kerja.

Jumlah anggota DSAK-IAI yang membengkak menjadi 18 orang pada tahun 2010 juga menimbulkan pertanyaan bahkan oleh anggota DSAK sendiri. Salah seorang anggota DSAK misalnya ketika sarapan disela-sela konsinyering bertanya kepada saya “Mbak Ersa kok bisa anggota DSAK biasanya 12 orang tiba-tiba jadi 18 orang? Memag AD/ART IAI nya berubah atau gimana? Kok kayaknya mudah sekali DPN-IAI menambah dan mengurangkan anggota DSAK?” Bertambahnya anggota DSAK seperti pisau bermata dua. Mungkin bertambahnya anggota DSAK dibutuhkan di masa-masa konvergensi IFRS yang sangat sibuk ini, namun dilain pihak semakin banyak anggota DSAK-IAI semakin sulit mengambil keputusan.

Di masa depan ada baiknya pemilihan anggota DSAK-IAI dilakukan secara lebih transparan. IAI dapat melakukan komite seleksi yang mewakili beberapa stakeholder dan lowongan menjadi anggota DSAK-IAI diiklankan secara terbuka. Mereka yang berminat menjadi anggota DSAK-IAI mungkin bisa diminta menuliskan esai singkat tentang mengapa mereka yang harus terpilih. Interview bisa dilakukan untuk lebih meyakinkan komite seleksi mengenai kesungguhan dan motivasi kandidat. Komite seleksi juga bisa melakukan background check terhadap para kandidat apakah ada cacat moral yang pernah dilakukan. Tidak perlu sampai meminta para akuntan voting lewat sms seperti pemilihan Indonesian Idol, namun ada baiknya setiap ada anggota DSAK baru maka IAI merilis berita pers atau pemberitahuan kepada anggotanya dan masyarakat secara luas yang juga memuat profil anggota DSAK tersebut.

Bandingkan dengan pemilihan anggota IASB, dimana kekosongan posisi sudah diiklankan satu tahun sebelumnya. Di dalam website IASB ada profil setiap anggota IASB lengkap dengan fotonya. Sedangkan di Indonesia, bila ingin mengetahui nama-nama anggota DSAK, seseorang harus membuka buku PSAK. Di dalam website IAI juga tidak dimuat nama-nama dan profil anggota DSAK-IAI. Mengingat produk DSAK-IAI adalah kebijakan publik yang dapat mempengaruhi perekonomian negara, sudah saatnya DSAK-IAI mendekat kepada konstituennya.

Sampai hari ini, rapat DSAK-IAI masih tertutup terhadap pihak lain yang ingin menjadi pengamat. Notulen rapat DSAK-IAI juga bukan dokumen publik dan hanya disirkulasikan terbatas di dalam organisasi IAI. Hal ini membuat DSAK-IAI seakan-akan sekelompok elit yang tidak terjamah masyarakat. Beberapa peneliti dari Universitas yang meminta ijin untuk menjadi pengamat dalam rapat DSAK-IAI harus menelan pil pahit karena tidak diijinkan mengikuti rapat DSAK-IAI. Bayangkan dengan rapat-rapat IASB yang membuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin hadir sebagai pengamat rapat, bahkan terkadang juga rapat IASB disebarluaskan dengan webcast.

Salah satu alasan mengapa rapat DSAK-IAI masih tertutup adalah masalah sensitivitas informasi. Banyak hal yang didiskusikan dalam rapat DSAK adalah hal-hal prematur yang mungkin belum saatnya diketahui publik. Suatu standar PSAK yang didiskusikan hari ini, mungkin baru akan berlaku efektif 2 atau 3 tahun kemudian. Keputusan DSAK juga bisa berubah tergantung dengan perubahan IFRS dan iklim bisnis di Indonesia. Namun bukankah hal tersebut juga terjadi di IASB? Beberapa exposure draft IFRS disempurnakan dan dilakukan re-exposure draft. Mereka yang mengikuti perkembangan IASB juga memahami betapa IASB sering berubah pikiran dalam rapat-rapatnya.

Bila ingin profesi akuntan di Indonesia mempelajari PSAK dengan lebih cepat, sudah saatnya DSAK-IAI lebih membuka diri. DSAK-IAI tidak bisa mengeluh bahwa akuntan di Indonesia sangat lamban mempelajari IFRS sementara di lain pihak menutup akses bagi mereka yang ingin bersama-sama DSAK mempelajari IFRS dalam rapat DSAK-IAI. Bila belum nyaman menerima pengamat dalam rapat DSAK, setidaknya notulen rapat DSAK dijadikan dokumen publik yang dapat diakses siapa saja. Jangan sampai terdapat kesan di masyarakat bahwa ketertutupan ini memang disengaja oleh IAI agar ilmu mengenai IFRS memang hanya di kuasai oleh orang-orang terbatas dan setiap orang yang ingin mempelajari IFRS hanya dapat melakukannya dengan mengikuti training yang dibandrol mahal.


Jabatan Politik atau Jabatan Teknis?

Aktivitas lobby terhadap dewan standar akuntansi berlaku pada setiap negara dan jurisdiksi. IASB mendapatkan lobby yang kuat dari uni Eropa, negara-negara G20 dan belakangan juga dari Asia-Oceania sehingga mempengaruhi standar yang mereka buat. Melihat beratnya kegiatan politik yang harus dijalani oleh IASB untuk meyakinkan banyak negara dalam mengadopsi IFRS, tak heran kalau IFRS Foundation memilih seorang “politikus” untuk menjadi ketua IASB menggantikan Sir David Tweedie. Semua orang yang membaca profil Hans Hoogervorst (ketua IASB per Juli 2011) dapat segera menduga bahwa Hans diangkat bukan karena kemampuan teknik akuntansinya, dan dugaan tersebut akan semakin kuat bila mendengar pidato-pidato Hans di forum resmi IASB yang jarang menyentuh level teknis akuntansi . Untuk lebih menyeimbangkan teknikal akuntansi pimpinan IASB, diangkatlah Ian Mackintosh yang memiliki kompetensi teknikal akuntansi tinggi sebagai wakil ketua IASB.

Tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi anggota DSAK, apalagi ketua DSAK memiliki implikasi politis yang kuat. Setiap keputusan yang diambil terkait PSAK baru dapat membawa akibat katastropik kepada perusahaan maupun industri. Bila akibatnya sangat signifikan bagi perekonomian negara, DSAK tentunya harus mengambil keputusan dengan sangat hati-hati dan berkonsultasi dengan DKSAK, DPN-IAI, pemerintah dan industri. Masih segar dalam ingatan betapa alotnya lobby industry perbankan terhadap PSAK 50 dan PSAK 55 di akhir 2008 sehingga masa efektif dua PSAK tersebut diundur menjadi tahun 2010. Namun sampai akhir 2009, DSAK-IAI masih saja dilobby untuk kembali memundurkan masa efektif PSAK 50 dan PSAK 55.

Ketua DSAK-IAI secara tradisional selalu dipegang oleh mereka yang sangat ahli di bidang teknikal akuntansi. Dua ketua DSAK terakhir misalnya, Jusuf Wibisana dan Rosita Uli Sinaga, bukan hanya keduanya adalah chairman dan partner di kantor akuntan publik ternama, tapi keduanya juga dosen akuntansi di Universitas negeri bergengsi. Kemampuan teknikal akuntansi keduanya tidak diragukan lagi. Dan kemampuan teknis akutansi akan selalu menjadi pertimbangan utama DPN-IAI dalam memilih ketua DSAK.

Namun dalam dua tahun terakhir, peran politis DSAK-IAI semakin meningkat. Anggota dan Ketua DSAK-IAI diundang menjadi pembicara dalam forum-forum internasional IASB, bahkan dalam kegiatan IFRS Policy Forum bulan Mei lalu di Bali, ketua DSAK mendapat sorotan internasional. Tiba-tiba saja konvergensi IFRS dan standar akuntansi menjadi sexy dan berhasil meyakinkan dewan Redaksi berbagai media untuk menjadi berita. Permintaan wawancara media terhadap ketua DSAK-IAI mengalir meminta penjelasan. Belum lagi undangan rapat dari regulator dan pemerintah mengalir setiap hari. Sangat sulit mendapatkan wartawan yang paham mengenai istilah teknis akuntansi sehingga penjelasan terhadap wartawan perlu bahasa yang mampu dipahami oleh masyarakat. Frustasi sayapun terkadang memuncak bila membaca berita-berita tentang konvergensi IFRS yang tidak akurat akibat ketidaktahuan wartawan.

Hal kecil saja misalnya, harian sebesar KOMPAS dapat gagal mengeja Deloitte (salah satu Big Four Firm) menjadi D’Loyd (Perusahaan pelayaran), dan hal ini terjadi dua kali di KOMPAS (Salah satunya dalam berita “Monopoli Audit segera Berakhir” 13 Desember 2012). “sejak kapan perusahaan pelayaran menjadi kantor akuntan? Atau Deloitte mulai beli kapal layar?” candaan kami di IAI kala itu. Bila hal kecil saja dapat salah dan dilakukan oleh media sereputasi Kompas, bagaimana kita bisa mengharapkan akurasi berita-berita lainnya seputar standar akuntansi di Kompas, apalagi di harian lain?

Oleh sebab itulah dibutuhkan ketua DSAK-IAI yang memiliki public relation skill yang baik. Yang gemar bertemu dengan wartawan dan mampu menjawab pertanyaan jebakan khas wartawan dengan cerdas. Juga harus sabar mengedukasi wartawan agar mereka mampu mengedukasi masyarakat dengan benar. Belum lagi kemampuan berdiksusi di forum-forum internasional juga kemampuan berdiplomasi menjawab pertanyaan-pertanyaan lembaga internasional seputar kesiapan Indonesia mengadopsi IFRS. Sejak dua tahun terakhir nama Indonesia selalu terselip dalam pidato-pidato ketua IASB di seluruh dunia sebagai negara penting pengadopsi IFRS.

Tentunya tidak perlu gegabah berpikir bahwa lobbying skills menjadi kemampuan utama seorang ketua DSAK diatas kemampuan teknis akuntansinya, namun selayaknya DPN-IAI mengingatkan siapapun yang akan diangkat menjadi ketua DSAK bahwa peran politis ketua DSAK-IAI di forum nasional dan internasional sangat berbeda dengan 5-10 tahun yang lalu. Kemampuan lobby dan diplomasi selayaknya mendapatkan bobot tambahan dalam menyeleksi ketua DSAK-IAI. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan ini cukup sulit ditemui pada sebagian besar akuntan yang memiliki stereotype konservatif, pemalu, kutu buku, geeky, dan menghindari spotlight. Seorang akuntan publik pernah berseloroh kepada saya, “oleh sebab itulah Mbak Ersa jarang sekali akuntan publik yang duduk di DPR atau menjadi public figure. Tidak seperti pengacara atau dokter. Memang DNA akuntan itu berbeda.”

Rosita Uli Sinaga telah meningkatkan brand image DSAK-IAI dengan sesekali melayani Tanya jawab wartawan dan lugas menjawab mereka dalam konferensi press. Keaktifan IAI dalam dua tahun terakhir merilis berita pers seputar aktivitas DSAK-IAI dan mengutip banyak ucapan ketua DSAK-IAI, juga meningkatkan pemberitaan ketua DSAK-IAI secara signifikan. Mungkin fakta bawa ketua DSAK-IAI saat ini adalah wanita yang memang secara alamiah “lebih luwes” daripada laki-laki, telah membuat media exposure DSAK-IAI meningkat. Sejak Komite Prinsip Akuntansi Indonesia dibentuk tahun 1974 yang menjadi cikal bakal DSAK-IAI, baru mulai Juli 2009 DSAK-IAI dipimpin oleh seorang wanita.

Antusiasme Rosita terhadap penyusunan standar akuntansi telah dimulai sejak beliau mahasiswa tingkat akhir tahun 1990an ketika membantu Komite PAI menerjemahkan IAS yang diadopsi dalam SAK 1994 sehingga cukup sulit membayangkan ada orang lain yang lebih passionate daripada Rosita dalam hal konvergensi IFRS. Passion is contagious, antusiasme seperti ini dengan mudah menular dan bisa dilihat dari kegiatan public hearing IAI yang selalu penuh. Bukan hanya ketua DSAK-IAI, namun juga anggota DSAK-IAI lainnya seperti keramahan Irsan Gunawan dan kerendahan hati wakil ketua DSAK-IAI, Roy Iman Wirahardja juga telah membantu citra DSAK-IAI menjadi lebih hangat, bersahabat dan accessible.

Simpulan

Dalam menaklukan gelombang konvergensi IFRS, DSAK-IAI perlu menjadi lebih low profile terhadap konstituennya di Indonesia dengan lebih membuka diri dan meningkatkan transparansi. Namun DSAK-IAI juga harus high profile dan percaya diri dalam aktivitas Internasional. Hal ini harus ditunjang oleh tenaga-tenaga teknis dalam manajemen purnawaktu IAI yang kompeten dan berdedikasi tinggi. Bila DSAK-IAI akan memutuskan untuk lebih membuka diri, maka Manajemen IAI harus mampu membantu DSAK-IAI menjadi lebih profesional dan transparan.

IAI adalah organisasi profesi yang profesional dan sangat disegani baik oleh industri, pemerintah maupun lembaga profesi lainnya. DSAK dan DSAS IAI adalah elemen terpenting yang menjadikan IAI organisasi yang berpengaruh di ranah kebijakan publik. Saya yakin para pengurus IAI dan pihak manajemen IAI akan terus berupaya agar dewan standar yang terhormat ini mendapatkan dukungan sumberdaya terbaik untuk dapat terus meningkatkan fungsi dan martabatnya. Dirgahayu IAI. Maju terus Akuntan Indonesia!

*****


*Penulis adalah Direktur Teknis IAI periode Juli 2009-Agustus 2011. Saat ini Ersa sedang menempuh program S3 Akuntansi pada Manchester Business School, University of Manchester, Inggris.