Saturday, March 24, 2012

Siapa Peduli Nasib Profesi Akuntan Publik?

Oleh Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini ditulis bulan April 2011. Mohon maaf bila sudah sedikit tidak "hot" issue nya ketika saya upload di blog ini bulan Maret 2012. Saya sendiri tidak ingat apakah tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia.


DPR telah mengesahkan Undang Undang Akuntan Publik yang kontraversial. Masyarakat akuntansi menanggapinya beragam. Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI), terlepas dari sikap IAPI yang semula menolak UU ini, namun mereka pastinya merasa senang karena telah memiliki landasan hukum yang kuat. Para ketua program studi akuntansi kecewa karena sekarang profesi akuntan publik boleh dari lulusan mana saja, bahkan tidak perlu sarjana. Banyak rekan akuntan akademisi yang membandingkan profesi pengacara yang harus lulus sarjana hukum, dokter yang harus lulus sarjana kedokteran, bahkan profesi psikolog yang harus lulusan sarjana psikologi.

Sikap pemerintah dan DPR untuk membuka seluas-luasnya pintu peluang menjadi akuntan publik tak lepas dari keprihatinan DPR dan Pemerintah atas kuantitas dan kualitas akuntan publik di Indonesi. Dari segi kuantitas, jelas akuntan publik di Indonesia kalah jauh dengan negeri-negeri tetangga. Indonesia hanya memiliki 920 akuntan publik itupun hanya sekitar 800 orang yang berpraktek karena selebihnya cuti praktik atau tidak boleh praktik karena sedang mendapatkan sanksi. Bandingkan dengan Filipina dan Malaysia yang keduanya memiliki akuntan publik lebih dari 2000 orang. Lebih mengkhawatirkan lagi 64% dari akuntan publik yang berpraktik usianya sudah diatas 50 tahun dan hanya 10% yang berusia 30-40 tahun.

Dari segi kualitas jasa yang diberikan, 800-an akuntan publik di Indonesia tersebar dalam 400 kantor akuntan publik (KAP) dan kurang lebih setengahnya hanya memiliki satu orang partner. Kualitas jasa audit yang memenuhi standar kualitas internasional membutuhkan kertas kerja dan prosedur yang memadai, tenaga kerja professional yang kompeten, dan juga “peer review”. Bisa dibayangkan kualitas jasa yang diberikan bila setengah dari kantor akuntan publik di Indonesia adalah usaha perorangan dengan modal rendah.

Banyak orang kemudian menyalahkan susahnya persyaratan menjadi akuntan publik sebagai sebab rendahnya jumlah akuntan publik di Indonesia. Untuk menjadi seorang akuntan publik, sarjana akuntansi harus menyelesaikan pendidikan profesi akuntan dan meraih gelar Akuntan yang disingkat Ak. Lalu kemudian harus lulus ujian sertifikasi profesi, baru boleh menyandang gelar CPA Indonesia (Certified Public Accountant). Kalau ingin menambahkan izin praktik, harus ditambah lagi dengan pengalaman bekerja sebagai auditor sebanyak 1000 jam dalam lima tahun terakhir.

Dibukanya peluang bagi mereka tanpa pendidikan sarjana akuntan menjadi akuntan publik sebenarnya sesuai dengan praktik internasional. Tentunya ada persyaratakan yang lebih berat untuk mereka tanpa pendidikan akuntansi formal dibandingkan dengan lulusan sarjana akuntansi. Namun intinya profesi ini membuka peluang seluas-luasnya siapapun yang tertarik menjadi akuntan publik sehingga arus penawaran ke dalam profesi tidak terhambat.


Krisis Penawaran atau Permintaan?



Pertanyaan besar kemudian adalah apakah krisis akuntan publik di Indonesia lebih dikaitkan dengan penawaran ataukah permintaan? Per Desember 2010 Indonesia memiliki 49.343 Akuntan Beregister. Mereka adalah yang telah memiliki gelar Akuntan dan sekitar 6700 diantaranya bahkan mendapatkan gelar akuntan dengan menyelesaikan pendidikan profesi akuntan. Sekalipun angka 49 ribuan tersebut termasuk pula akuntan yang sudah meninggal dunia dan pensiun, namun tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah akuntan di Indonesia sangat besar. Mengapa dari 49 ribu akuntan di Indonesia hanya kurang dari seribu orang saja yang berpraktik sebagai akuntan publik? Bagaimana mungkin industri akuntan publik dapat mengalami krisis jumlah apabila jurusan akuntansi masih menjadi jurusan terfavorit di banyak universitas. Ratusan ribu sarjana akuntansi dicetak setiap tahunnya oleh pendidikan tinggi di Indonesia. Hanya ada satu alasan, industri ini memang tidak menarik sehingga tidak mampu menarik akuntan dan lulusan sarjana akuntansi.

Apabila industri akuntan publik memang menarik dan menjanjikan maka sesulit apapun persyaratan pasti akan ditempuh oleh mereka yang tertarik. Pada kenyataannya, banyak akuntan publik terutama di luar Jakarta yang masih harus memiliki profesi lain demi untuk kehidupan yang layak. Akuntan Publik juga banyak mengeluhkan kecilnya audit fee yang diminta oleh para perusahaan di Indonesia sehingga tidak cukup untuk mencapai standar kerja yang memadai. Keluhan lain juga mengenai minimnya jasa yang bisa ditawarkan oleh kantor akuntan publik. Para junior auditor di Indonesia (kecuali yang bekerja di KAP besar) banyak yang hanya diganjar sesuai dengan UMR, sama dengan buruh-buruh pabrik yang lulusan SMA. Hampir semua junior auditor mengeluhkan jam kerja yang panjang, dan himpitan tekanan kerja yang dirasakan terus menerus sementara mereka melihat para seniornya bekerja dengan tekanan kerja yang lebih besar lagi.

Beberapa UU dan peraturan menteri sebenarnya telah mengharuskan perusahaan dengan jumlah aset tertentu untuk diaudit oleh akuntan publik, namun pada kenyataannya sangat mencengangkan bahwa jumlah audit engagement di Indonesia dibawah 18,000 saja. Berdasarkan sensus ekonomi BPS 2006 jumlah badan usaha menengah dan besar di Indonesia berjumlah 166,4 ribu. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan untuk jasa audit di Indonesia masih sangat minimal, apalagi untuk jasa-jasa akuntansi lainnya seperti review dan kompilasi. Jasa audit masih mendominasi jasa yang diberikan oleh KAP sebesar 70% sehingga tak aneh bila World Bank menyarankan KAP di Indonesia untuk lebih banyak memberikan jasa-jasa lainnya yang terkait dengan akuntansi dan tidak terfokus hanya dengan jasa audit.

Minimnya permintaan masih ditambah dengan tekanan penawaran harga jasa audit yang rendah dari perusahaan di Indonesia. Hal ini banyak dikeluhkan oleh akuntan publik di luar Jakarta dan Surabaya. Perusahaan umumnya menawar jasa audit serendah-rendahnya, namun sering royal untuk membayar jasa konsultan pajak dengan harga tinggi. KAP yang berpegang teguh pada kualitas umumnya menolak pekerjaan audit bila memang audit fee yang ditawarkan terlalu rendah, namun selalu saja ada akuntan publik nekad atau bahkan akuntan publik palsu yang bersedia menerima pekerjaan tersebut. Seperti telur dan ayam, akuntan publik mengeluhkan susahnya mendapatkan klienn yang bersedia membayar audit fee agar jasa yang mereka berikan dapat berkualitas, sementara perusahaan juga mengeluhkan bahwa jasa audit yang diberikan akuntan publik kurang memberikan nilai tambah bagi perbaikan perusahaan sehingga akhirnya mereka menawar murah.


Pentingnya Pencitraan Profesi



Minimnya role model di industri ini telah membuat para akuntan muda dan junior auditor tidak tertarik untuk terus mendalaminya. Bila ilmu Fisika yang rumit memiliki Yohannes Surya, Profesi Psikiater memiliki Dadang Hawari, Profesi Pengacara memiliki Adnan Buyung Nasution, bahkan telematika memiliki Roy Suryo, siapa yang mewakili wajah profesi akuntan? Role model ini sangat penting untuk membuat profesi ini menarik. Yang terjadi malah kebalikannya, para partner di KAP atau direktur keuangan mengeluhkan bahwa anak-anak mereka tidak tertarik untuk berprofesi sebagai akuntan apalagi setelah mereka memperhatikan orangtuanya yang sering pulang larut malam terutama pada akhir bulan dan akhir tahun.

Lihatlah dalam film ataupun sinetron Indonesia, para akuntan di perusahaan biasanya dicitrakan sebagai orang yang kaku, kikuk, berkacamata tebal. Profesi ini jarang sekali diliput oleh media masa. Segala sesuatu yang berbau akuntansi seakan kurang seksi untuk dimuat, kecuali kabar buruk seperti implementasi PSAK 50 dan PSAK 55 yang menghebohkan perbankan beberapa waktu lalu. Ikatan Akuntan Indonesia dan Ikatan Akuntan Publik Indonesia harus bahu membahu membangun citra profesi yang positif sehingga mampu menarik mereka dengan kemampuan terbaik (best talents) ke Industri ini.


Peningkatan Sisi Permintaan



Pemerintah harus benar-benar serius dalam menguatkan industri akuntan publik karena kuatnya industri ini merupakan soft infrastructure negara untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas bisnis di Indonesia. Banyak peraturan dan undang-undang yang mewajibkan perusahaan diaudit namun miskin penegakkan. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 121/2002 yang mewajibkan perusahaan dengan aset diatas Rp. 25 milyar untuk melaporkan laporan keuangan auditan. Namun setiap tahun yang melapor paling hanya sekitar 2000 perusahaan. UU No 40/2007 Perseroan Terbatas mewajibkan PT dengan aset diatas Rp.50 milyar untuk diaudit, namun lagi-lagi tidak jelas siapa yang mengawasi dan menjatuhkan sanksi bila ada yang melanggar hal ini. KepMen Koperasi dan UKM No 91/2004 juga mewajibkan koperasi jasa keuangan syari’ah dengan total aset diatas Rp.1 Milyar untuk diaudit, namun penegakkan peraturan ini juga tidak jelas. Praktis hanya Bapepam LK dan Bank Indonesia yang secara konsisten memonitor perusahaan dalam pengawasannya dalam hal laporan keuangan auditan.

Seperti produk dan jasa-jasa lainnya, pemerintah juga bisa berpartisipasi untuk memasarkan jasa ini ke masyarakat awam. Mungkin slogan “Laporan Keuangan tidak diaudit, Apa kata dunia?” dapat meningkatkan awareness masyarakat. Landasan hukum yang jelas hanyalah langkah awal untuk menguatkan profesi akuntan publik, kerja keras masih panjang untuk mengemas industri ini menjadi menarik baik dari segi permintaan maupun penawaran.