Thursday, March 03, 2011

Persyaratan Akuntansi untuk Akuisisi Lebih Rumit di tahun 2011

By: Ersa Tri Wahyuni

tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Februari 2011


Perusahaan Anda berniat untuk melakukan akuisisi pada tahun 2011? Perhatikan bahwa standar akuntansi mengenai akuisisi telah berubah. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No 22 tentang kombinasi bisnis yang diterbitkan oleh IAI pada tahun 2010 lalu akan berlaku mulai 1 januari 2011. Hadirnya tiga serangkai standar akuntansi yang saling terkait yakni PSAK 22 Kombinasi Bisnis, PSAK 19 Aset Takberwujud dan PSAK 48 Penurunan Nilai Aset adalah merupakan rangkaian dari rencana konvergensi standar akuntansi Indonesia menuju standar akuntansi internasional (IFRS). Beberapa perubahan cukup signifikan dan penting untuk mendapatkan perhatian anda.


Hilangnya metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest)

Didalam PSAK 22 (Revisi 2010) metode akuntansi untuk akuisisi hanya satu yakni metode pembelian (purchase method) sedangkan metode penyatuan kepemilikan yang sebelumnya masih dijinkan oleh PSAK 22 (Reformat 2007) tidak lagi diperbolehkan. Walaupun pada praktik bisnis di Indonesia saat ini rata-rata akuisisi memang menggunakan metode pembelian namun metode penyatuan kepemilikan masih menjadi pilihan oleh beberapa perusahaan. Salah satu alasannya adalah metode penyatuan kepemilikan lebih murah dan lebih sederhana dimana net aset perusahaan yang diakuisisi tidak harus lebih dinilai ulang sesuai dengan nilai wajarnya dan digabungkan sesuai dengan nilai bukunya.

Hilangnya metode penyatuan kepemilikan ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah metode ini juga akan dihilangkan untuk restrukturisasi entitas sepengendali yang diatur dalam PSAK 38? Hal ini sangat menarik karena PSAK 38 ini sering digunakan oleh para konglomerat di Indonesia di mana mereka membeli perusahaan yang kurang baik kondisinya, kemudian disehatkan untuk kemudian dijual kepada perusahaan di dalam grup tersebut yang biasanya merupakan perusahaan publik. Perusahaan publik dapat melakukan right issue, menggunakan dana masyarakat, guna membiayai akuisisi tersebut. Sang konglomerat mendapatkan untung dari marjin penjualan namun tetap dapat mengendalikan perusahaannya karena masih berada dalam satu grup.

DSAK-IAI nampaknya belum akan mencabut PSAK 38 yang dahulu referensinya dari US GAAP dan bukan diadopsi dari IFRS. Sehingga metode penyatuan kepemilikan masih menjadi pilihan metode akuntansi yang diijinkan untuk restrukturisasi entitas sepengendali. Saat ini restrukturisasi entitas sepengendali tidak termasuk dalam cakupan PSAK 22 (Revisi 2010). Namun mungkin hal tersebut tidak akan lama karena IFRS yang “principle based” tidak memiliki pengaturan mengenai hal ini dan pada intinya apabila esensi transaksinya sama seharusnya dicatat dengan metode yang sama. Apabila konvergensi IFRS akan dirampungkan pada tahun 2012, kemungkinan besar PSAK 38 juga akan dicabut.


Seluruh biaya Akuisisi dibebankan

Perbedaan cukup mencolok dari PSAK 22 yang baru adalah pembebanan biaya akuisisi. Pada PSAK 22 yang lama, biaya akuisisi seperti biaya penasihat hukum, jasa penilai, konsultan, akuntan diakuisi sebagai biaya perolehan (cost of acquisition). Sementara itu dalam PSAK 22 yang baru seluruh biaya akuisisi harus dibebankan pada saat biaya tersebut terjadi kecuali untuk satu hal. Khusus untuk biaya-biaya yang terkait dengan penerbitan efek hutang atau efek ekuitas yang dipakai untuk membiayai akuisisi, maka biaya-biaya tersebut diakui sebagai bagian dari harga perolehan efek sesuai dengan PSAK 55 (Revisi 2006).

Terkait dengan pembebanan biaya akuisisi hal ini berpotensi menurunkan laba perusahaan pada tahun terjadinya akuisisi. Sementara pada PSAK 22 (Reformat 2007) apabila biaya-biaya tersebut menjadi cost of acquisition maka biaya tersebut dapat bersembunyi di dalam goodwill yang kemudian diamortisasi selama maksimal 20 tahun sesuai dengan PSAK 19 (REVISI 2000). Sehingga dalam hal ini biaya tersebut bisa ditangguhkan pengakuannya, ingat bahwa goodwill adalah selisih antara biaya perolehan (yang didalamnya terdapat biaya akuisisi) dibandingkan nilai wajar aset neto aset perusahaan yang diakuisisi.


Goodwill tidak lagi diamortisasi

Goodwill yang muncul dari akuisisi berdasarkan PSAK 22 tidak lagi boleh diamortisasi melainkan harus dikenai uji penurunan nilai setiap tahun dengan cara pengujian yang dijelaskan dalam PSAK 48 (Revisi 2009). Di dalam standar akuntansi yang saat ini berlaku goodwill yang muncul dari akuisisi di amortisasi selama lima tahun atau maksimal 20 tahun dengan pertimbangan khusus. Namun pada tahun 2011 nanti goodwill tidak lagi boleh diamortisasi dan harus diuji penurunan nilai. Perlakukan serupa juga diterapkan untuk aset takberwujud dengan umur manfaat tak terbatas, konsep intangibles baru yang ditawarkan dalam PSAK 19 (Revisi 2009).

Cara bagaimana melakukan ujin penurunan nilai yang disyaratkan PSAK 48 (Revisi 2009) sangat rumit dan kompleks. Wajar, karena goodwill adalah the most intangible of all intangibles yang tentunya sulit diketahui nilai wajarnya. Sesuai dengan PSAK 22 (Revisi 2010) dan PSAK 48 (Revisi 2009) goodwill harus dialokasikan ke dalam UPK (unit penghasil kas – cash generating unit) terkecil di dalam perusahaan pengakuisisi yang mendapatkan dampak positif dari akuisisi tersebut. UPK tersebut kemudian diukur setiap tahun apakah terjadi penurunan nilai, apabila terjadi penurunan nilai, maka goodwill di dalam UPK tersebut diturunkan nilainya. UPK ini bisa berupa anak perusahaan, perusahaan cabang, suatu operasi perusahaan atau suatu grup aset yang memiliki arus kas masuk independen dari aset lainnya.

Misalnya perusahaan Andong mengakuisisi perusahaan Becak dan muncul goodwill sebesar Rp. 100. Untuk menguji penurunan nilai maka goodwill ini dialokasikan secara pro-rata ke lima perusahaan UPK di dalam grup A yang akan menikmati sinergi dari akuisisi tersebut (misanya UPK C,D,E,F,G). Misalnya UPK C mendapatkan alokasi goodwill sebesar Rp. 20. Pada akhir tahun UPK C mengalami indikasi penurunan nilai, yakni recoverable amount (jumlah terpulihkan) UPK C lebih kecil daripada nilai tercatatnya. Recoverable amount adalah jumlah mana yang lebih tinggi antara nilai wajar dikurangi biaya penjualan dan nilai pakai (value in use). Misalnya saja jumlah terpulihkan UPK C adalah Rp. 250 sedangkan nilai tercatatnya adalah Rp.100 maka terdapat penurunan nilai Rp.50. Maka goodwill yang ada di dalam UPK C tersebut diturunkan menjadi Nol dan sisa nya dibebankan ke aset-aset lainya.

Persyaratan ini sangat rumit dalam beberapa hal yakni mengidentifikasi UPK terkecil yang akan menikmati sinergi atas akuisisi tersebut tidaklah mudah. Sekalipun UPK dapat diidentifikasi dan goodwill dapat dialokasikan, menghitung jumlah terpulihkan dari UPK bukanlah hal yang mudah. Kerumitan lainnya kalau seandainya UPK tersebut dijual, maka goodwill yang telah dialokasikan harus ikut terjual. Perhatian contoh perusahaan Andong diatas, maka untuk goodwill dari satu kombinasi bisnis yang sama dipecah ke dalam lima UPK. Dapat saja goodwill di dalam UPK C turun nilainya tapi goodwill dalam UPK lainnya tetap ada, padahal mereka berasal dari goodwill dan akuisisi yang sama.

Dalam PSAK 48 (Revisi 2009) juga tidak mengijinkan pembalikan rugi penurunan nilai atas goodwill. Kembali ke cerita Perusahaan Andong di atas, apabila goodwill pada UPK C telah dihapus, namun seandainya tahun berikutnya UPK C naik nilainya, maka pembalikan tersebut hanya bisa dialokasikan ke aset-aset lainnya selain goodwill.


Implikasi Konvergensi IFRS terhadap Perusahaan

Bergulirnya konvergensi IFRS yang begitu cepat, semua stakeholders harus dapat segera menelaah dampak dari konvergensi ini terhadap transaksi-transaksi bisnis yang akan dihadapi. Terkait dengan akuisisi, tiga serangkai PSAK baru akan menambah kerumitan pencatatan akuntansi untuk akuisisi.

Dengan melarang amortisasi goodwill, dimungkinkan goodwill tidak turun nilainya karena uji penurunan nilai setiap tahun tidak harus membuat perusahaan membukukan kerugian penurunan nilai. Walaupun sudah diuji, dapat saja goodwill kemudian tidak turun nilainya (mungkin untuk jangka waktu lebih dari 20 tahun). Compliance Cost untuk PSAK 48 ini tentunya tidaklah sedikit, karena mulai tahun 2011 semua perusahaan yang memiliki goodwill harus melakukan uji penurunan nilai atas goodwill SETIAP TAHUN dan auditor harus membuktikan bahwa perusahaan memang telah mengalokasikan goodwill ke dalam UPK dan melakukan uji penurunan nilai dengan benar.

5 comments:

Ferdhie Sajjah said...

maaf,, bu maw tanya klw psak 38 tuh sebenarnya sudah di hapus atau blun? klw sudah masuk ke ppsak berapa?
soalnya kontradiktif dgn psak 22 klw tidak salah ttg pooling of interestnya.. trims..

Ersa Tri Wahyuni said...

Hau Ferdhie, PSAK 38 tidak dihapus tapi direvisi. Silakan unduh exposure draft revisinya di www.iaiglobal.or.id.

Andreas P. Sinulingga said...

bagaimana jika biaya akuisisi tersebut dimasukkan ke harga pembelian? apakah bisa terhindar dari psak22 (pembebanan langsung biaya akuisisi). Misalnya dibuat kontrak yang lebih mengatur...
please advisenya Bu....

Rgds,

andreas

Ersa Tri Wahyuni said...

Pak Andreas, salah satu perbedaan mendasar PSAK 22 yang baru dengan yang lama memang biaya akuisisi ini Pak. Saya tahu mungkin berat untuk Indonesia ya yang sebelumnya boleh memasukkan beberapa biaya ke harga pembelian, tapi memang IFRS nya mengatur sedemikian. Saya sendiri kurang paham kontrak harus diatur seperti apa sehingga bisa "menyembunyikan" biaya-biaya tersebut.

wulandari said...

Apakah ada perbedaan yang menonjol antara Psak 22 dengan Psak 38. Mohon bantuannya bu. Terimakasih.