Monday, December 06, 2010

Who is Going to Be the Next IAI Chairman?

By: Ersa Tri Wahyuni

Indonesian Institute of Accountants (IIA or IAI) will hold its Quadrennial Congress on the 10th December. The new chairman of IAI will be elected. The estimation of more than 1000 accountants will come and use their right to choose the new leader of IAI.

The leader of IAI for the next four year is very crucial as there are many national agenda for accountants. The IFRS convergence by the year 2012 is one of them. Also some legislation draft (the Bill of Public Accountant Act and The Bill of Financial Reporting Act) regarding the future of accountants are being discussed in the parliament, waiting for ratification very soon. IAI needs a strong leader with a lucid vision to bring the oldest accounting profession in Indonesia to its golden era.

Accountants in Indonesia need to learn the profiles of each candidate to make such an important decision this Friday. This article does not intend to promote one of the candidates, but merely just present their profiles for the readers. I try to be as objective as possible and unbiased with the current information that available.

Based on trusted sources there will be more than 4 candidates to run for IAI Chairman Position and they are (in alphabetical order)

1. Afdal Bahaudin
Graduated Sarjana in Accounting from Padjajaran University in 1984 and MBA from University of Illinois at Urbana Champaign in 1997. Currently he is the Finance Director of PT. Pertamina and previously he was the President Director of PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia.

In my observation he is very serious in his candidacy. His profile flier has been distributed electronically and in hard copies to many voters. He secured support from Indonesian Institute of Management Accountants (IAMI) as well as the alumni of Padjajaran University.

2. Bambang Sudibyo
Although I don’t have any confirmation on whether Bambang Sudibyo is running for IAI Chairman, but from trusted resource I received information that he is going to run for the position. As a former Ministry of Finance, Ministry of Education and also chairman of ISEI (Association of Indonesian Economist), he does not need a long introduction. He is also a Professor in Gadjah Mada University, Yogyakarta. He graduated from Gadjah Mada University (UGM) in 1977, University of North Carolina (MBA) and University of Kentucky (DBA)

In my observation he might be supported by accountant’s academics and UGM alumni.

3. Erick

Graduated from STAN (State College of Accounting), he holds many professional certifications from Accountants, Advocates, Tax Consultant, and investment management. He graduated his Master degree in Management Accounting from University of Indonesia and currently is taking a Phd Program from National University of Malaysia.

His candidacy is confirmed and he is supported by Indonesia Institute of Certified Public Accountant where Erick is also one of member and an officer in the organisation.

4. Mardiasmo

He is the famous author of many accounting and taxation text books. He is Professor in Accounting from Gadjah Mada University where he graduated in accounting from that university in 1977. He earned his Doctorate from University of Birmingham, UK. Currently he is the head of BPKP (The Development and Finance Surveillance Agency).

Although I have not received any confirmation on his candidacy, again from a trusted source, there is a high probability he will be running for IAI-1 position. He might have supports from BPKP employees also alumni of Gadjah Mada University.

5. Other Candidates

Several names are also rumored to run for IAI-1. Those names includes Haryono Umar (Vice Chairman of KPK/Corruption Eradication Commission), Prof. Dr. Ainun Naim (Immediate past chairman of Indonesian Accountant Academics Association), Jusuf Wibisana (Chairman of PWC), Binsar Simanjutak (BPKP) and many more. Again I hold no responsibility of these rumors.


I recommend for all voters to learn more about this candidates from many sources. If you are a register accountant (Ak) and you want to vote, there is still an opportunity to become IAI member before Friday, 10 December 2010. Come to Hotel Kempinski, Thamrin Jakarta and bring your registered accountant certificates and a small amount of money for membership fee. The congress will start on 8 December with many seminars and workshops, but the election will be on December 10th. If you want to attend the Election Day only, it is FREE for IAI members. However if you want to learn from many great speakers and update your knowledge of Accounting, a small investment of IDR 2 millions is required. Trust me, it is a GOOD INVESTMENT.

The IAI Congress is only once every four years!! Don't miss it !!

Friday, November 19, 2010

Laporan dari Public Hearing DSAK-IAI 18 November 2010



Public Hearing yang dilaksanakan oleh DSAK IAI kemarin di Graha Niaga memiliki 'aroma' yang berbeda dengan serangkaian public hearing lainnya yang telah diselenggarakan selama tahun 2010.Bila biasanya yang datang adalah para akuntan dari perusahaan-perusahaan besar, kemarin banyak yang hadir mewakili organisasi non profit seperti yayasan dan juga koperasi. Foto diatas menggambarkan suasana public hearing yang full house. Semua kursi hampir terisi penuh.

Pantas saja, ternyata exposure draft yang dipaparkan sangat terkait dengan organisasi nirlaba dan koperasi. Exposure Draft yang dipaparkan kemarin adalah:

1. ED PSAK 34 (revisi 2010): Kontrak Konstruksi
2. ED PSAK 45 (revisi 2010): Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba
3. ED ISAK 19: Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63 Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
4. ED ISAK 21: Perjanjian Konstruksi Real Estate
5. ED PPSAK 6: Pencabutan PSAK 21: Akuntansi Ekuitas, ISAK 1: Penentuan Harga Pasar Dividen, ISAK 2: Penyajian Modal dalam Neraca dan Piutang kepada Pemesan Saham, ISAK 3: Akuntansi atas Pemberian Sumbangan atau Bantuan
6. ED PPSAK 7: Pencabutan PSAK 44 Perjanjian Kontruksi Real Estate
7. ED PPSAK 8: Pencabutan PSAK 27: Akuntansi Koperasi

Berdasarkan evaluasi saya:

1. ED PSAK 34 Kontrak Konstruksi, hanya revisi sedikit saja dari versi 2003. Revisi ini terkait dengan ISAK 21. Keduanya merupakan adopsi dari IFRS/IFRIC.

2. ED PSAK 45 Akuntansi Entitas Nirlaba, juga revisi tidak begitu signifikan, hanya menambahkan bahwa entitas pemerintah juga boleh menggunakan PSAK ini (semisal Badan Layanan Umum/BLU)

3. ED PPSAK 6 : Pencabutan PSAK 21 Ekuitas sangat tepat karena juga sudah tidak sejalan dengan peraturan di Indonesia.

4. Pencabutan PSAK 44 dan dikeluarkannya ED ISAK 21 mengenai real estate, seharusnya ini menjadi perhatian perusahaan real estate karena dari rule based menjadi principle based. Perusahaan real estate pada paham gak ya? Kok yang komentar hanya sedikit kemarin? Apalagi untuk pencabutan PSAK 44 berlaku retrospektif.

5. Pencabutan PSAK 27: Menurut saya sudah tepat karena bagusnya diatur saja di pedoman akuntansi yang mengacu kepada SAK-ETAP. Kalau ada di SAK besar berarti pengaturan lainnya koperasi akan mengikuti IFRS? Lagipula PSAK 27 saat ini berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kementrian Koperasi juga terlalu sulit untuk diterapkan.

Kemarin anggota DSAK yang hadir menegaskan bahwa PSAK 45 hanya mengatur mengenai penyajian laporan keuangan. Namun untuk pengukuran dan pengakuan, organisasi nirlaba tetap harus memperhatikan PSAK lain atau menggunakan SAK-ETAP.

Semua ED tersebut berlaku tahun 2012.

Menjelang Kongres IAI tanggal 8-10 Desember, DSAK-IAI nampak tidak mengendurkan semangatnya untuk merampungkan program kerja konvergensi IFRS.

Salut untuk DSAK-IAI. Apresiasi juga untuk IAI yang mengundang asosiasi real estate, asosiasi organisasi nirlaba dan koperasi sehingga public hearing kemarin terasa berbeda dengan sebelumnya.

Thursday, September 23, 2010

Pemenang ARA 2009


Penganugerahan Annual Report Award 2009 berlangsung megah di Ballromm 1 Ritz Carlton Pacific Place kemarin malam, 22 September 2010. ARA kali ini diselenggarakan untuk yang ke 9 kalinya dan diikuti oleh 176 perusahaan. Juri ARA yang terdiri dari 17 orang berasal dari berbagai unsur yakni Pemerintah, Akademisi, Pengamat Bisnis dan tentunya perwakilan dari Ikatan Akuntan Indonesia yang diwakili oleh ketua DSAK, Rosita Uli Sinaga.

Acara berlangsung meriah dibuka dengan tari-tarian paduan tari modern dan tradisional. Beberapa selingan musik diantara pengumuman juga elegan dan sangat indah terdengar. Tampak hadir pada malam itu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Ketua Bapepam, Direktur Bursa, Meneg BUMN dan petinggi-petinggi perusahaan yang dinominasikan dalam acara tersebut.

Berikut ini adalah nama-nama pemenang ARA

1. Juara Umum : Perusahaan Gas Negara, Tbk
2. Kategori BUMN/BUMD Keuangan Listed: Bank Mandiri, Tbk
3. Kategori BUMN/BUMN Keuangan Non Listed: BPD Jatim
4. Kategori BUMN/BUMD Non-Keuangan Listed : Perusahaan Gas Negara, Tbk
5. Kategori BUMN/BUMN Non Keuangan Non listed: PT. Garuda Indonesia
6. Kategori Private Non keuangan Listed: PT. Elnusa. Tbk
7. Ketagori Private Non Keuangan Listed: PT. Petrokimia Gresik, Tbk
8. Kategori Private Keuangan Listed : PT. Adira Dinamika Multifinance, Tbk
9. Kategori Private Keuangan Non Listed : PT. Bank Syariah Mandiri

Yang cukup menarik untuk kategori private keuangan listed, PT. Adira berhasil mengalahkan Bank Permata dan Bank CIMB Niaga yang masing-masing meraih posisi ketiga dan kedua. Sedangkan untuk kategori BUMN/BUMD keuangan non listed, BPD Jatim juga membuat kejutan karena berhasil menggeser PT. Jamsostek, juara kategori tersebut tahun sebelumnya ke posisi juara dua.

Ketua Dewan Juri Mar'ie Muhammad menegaskan bahwa terdapat peningkatan penerapan GCG pada para peserta ARA dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada sambutannya sebelum menyerahkan hadiah umum mengajak semua pihak agar semakin banyak peserta yang dapat mengikuti ARA tahun depan. Menkeu juga menyampaikan harapannya agar semakin banyak BUMN yang menjadi perusahaan publik. "Saat ini ada 16 BUMN yang listed, insya Allah tahun depan ada 2 lagi dan kemudian disusul 7 perusahaan BUMN lagi."

Selamat untuk semua pemenang ARA 2009!!!

Keterangan gambar: Ketua Dewan Juri Mar'ie Muhammad, Menkeu Agus Martowardoyo dan Meneg BUMN Mustafa Abubakar berfoto bersama Direksi dan Komisaris PT. Perusahaan GAs Negara, Tbk, Juara umum ARA 2009

Wednesday, September 08, 2010

Selamat Jalan DR. Arif Arryman: Salah Satu Pendekar Konvergensi IFRS Telah Berpulang

DR. Arif Arryman telah tiada. Beliau berpulang ke hadapan Illahi Selasa, 7 September pukul 15.30 karena serangan jantung.

Saya sudah sering mendengar namanya sejak dulu, tapi baru berkesempatan bertemu dengan Pak Arif Arryman pada AOSSG meeting di Malaysia 4-5 Novermber 2009. Waktu itu dari seluruh delegasi Indonesia, saya yang berangkat paling telat (menghemat biaya akomodasi juga), sementara rombongan yang lain sudah tiba sehari sebelum rapat dimulai. Ternyata ada obat-obatan Pak Arif yang tertinggal. Keluarganya menitipkan kepada saya untuk disampaikan kepada beliau.

Di Malaysia, saya ternyata duduk diapit sebelah kiri Bapak Sudiro Asno (CFO Telkom) dan disebelah kanan saya Pak Arif Arryman. Tentunya kita berkenalan dan bertukar kartu nama. Tak lupa beliau mengucapkan terima kasih atas titipan obatnya. Kesan pertama Pak Arif Arryman sangat ramah dan sangat passionate tentang IFRS convergence di Indonesia. Waktu itu beliau berkepala plontos dan badannya kurus, belakangan baru saya tahu, mungkin itu akibat kemoterapi yang harus dijalani beliau.

DR Arif Arryman adalah komisaris independen PT. Telkom Indonesia, Tbk. Sebelumnya beliau adalah advisor di Econit dan banyak menjadi advisor menteri sebagai think thank pengambil kebijakan. Beliau juga anggota DKSAK IAI (Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan) dan juga ketua TIM Implementasi IFRS di Kementrian BUMN.

Pertemuan saya kedua dengan Pak Arif adalah di Binus University mungkin sekitar sebulan - dua bulan sejak bertemu di KL. Saya membantu Binus mendatangkan Pak Arif untuk sharing dengan mahasiswa Binus mengenai lika liku proses konvergensi IFRS di Telkom. Awalnya cukup pesimis beliau mau hadir karena cukup mendadak dan saya tahu pasti beliau luar biasa sibuk. Ternyata beliau dapat hadir, dan presentasinya (dalam bahasa inggri) luar biasa inspiring dan sangat informatif. Di sela-sela coffee breaks kembali kita banyak ngobrol tentang kendala-kendala konvergensi IFRS di Indonesia. Beliau terlihat sangat concern mengenai kesiapan SDM di Indonesia. Penampilan beliau tidak jauh berbeda, kepala plontos dan kurus, tapi entah mengapa tetap terlihat gagah di mata saya. Semangatnya terlihat membara ketika membicarakan konvergensi IFRS. "Mbak Ersa, kalau Telkom sih cukup mampu untuk menghire consultan, atau mendidik para pegawai kita tentang IFRS, tapi bagaimana dengan perusahaan yang lain?" demikian keluh beliau dalam diskusi saat itu.

Pertemuan ketiga yakni ketika beliau menjadi pembicara di acara International Conference IAI bulan Mei 2010. Kalau tidak salah beliau adalah salah satu panelis sessi sore. Saya sempat tidak mengenali karena beliau terlihat gemuk dan rambutnya lebat. Juga wajah dan kulitnya terlihat lebih cerah. Pada saat itu salah satu anggota DSAK berbisik kepada saya, "wah mungkin Pak Arif bisa melawan kanker yang dideritanya ya. Wajahnya terlihat cerah." Saat itu baru saya tahu beliau memiliki kanker, tapi saya juga tidak tahu kanker apa. Beliau sangat rendah hati, ketika saya minta untuk makan siang di ruangan VIP bersama pembicara yang lain, beliau menolak halus, "nggak pa-pa mbak, saya ikutan ngantri aja di sini." katanya sambil mengantri makan siang bersama peserta lainnya.

Kemudian beberapa kali kita bertemu dalam aneka kesempatan tapi tidak sempat ngobrol banyak. Terakhir pertemuan saya dengan beliau adalah tanggal 1 September 2010, hari Rabu pagi pada saat rapat regulator forum di Bapepam, hanya 6 hari sebelum kepergian Beliau menghadap sang Khalik. Beliau datang sebagai ketua tim implementasi IFRS BUMN. Dengan lantang beliau memaparkan langkah-langkah yang seharusnya diambil regulator dalam menghadapi konvergensi IFRS ini. Beliau juga menegaskan pentingnya Regulator untuk merevisi peraturan-peraturannya agar tidak membuat bingung perusahaan, terutama peraturan yang bertabrakan dengan IFRS yang sudah diadopsi IAI dan akan segera berlaku efektif.

Saya sungguh terkejut mendengar berita kematian beliau kemarin malam. Apalagi ketika bertemu di Bapepam beliau tampak sehat.

Selamat Jalan Pak Arif Arryman.... Salut untuk perjuangan Bapak dan semangat Bapak dalam rangka konvergensi IFRS di Indonesia. Setelah kepulangan beliau banyak diberitakan di media internet, saya baru sadar ternyata ulang tahun saya sama dengan beliau yakni 3 Februari.

Semua perjuangan Bapak pastinya akan meninggalkan buah yang manis di kemudian hari. Rest in Peace DR. Arif Arryman.


Bandung, 8 September 2010.

Friday, September 03, 2010

Public Hearing DSAK-IAI 30 Agustus 2010

Masih dalam rangkaian konvergensi IFRS 2012, DSAK-IAI kembali melakukan public hearing yang keempat kalinya pada tahun 2010. Public hearing yang dilaksanakan di Financial Hall, Graha Niaga ini memaparkan 3 buah exposure draft dan 2 interpetasi. Semua exposure draft yang dikeluarkan akan berlaku efektif pada tahun 2012 dan semuanya merupakan adopsi dari standar akuntansi internasional IFRS.

Daftar exposure draft Public Hearing 30 Agustus

ED PSAK 46 (revisi 2010): Pajak Penghasilan
ED PSAK 61: Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah
ED PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
ED ISAK 18: Bantuan Pemerintah-Tidak Ada Relasi Spesifik dengan Aktivitas Operasi
ED ISAK 20: Pajak Penghasilan-Perubahan dalam Status Pajak Entitas Para Pemegang Sahamnya.


Public hearing dihadiri kurang lebih 200 peserta dari berbagai lapisan masyarakat. Anggota DSAK yang hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Jumadi, Budi Susanto, Setiyono Miharjo, Liauw She Jin, Sylvia Veronica dan Saptoto Agustomo. Acara dimulai pada pukul 1 siang oleh moderator yakni Sylvia Veronica, anggota DSAK perwakilan akademisi dari Universitas Indonesia. Pemaparan pertama adalah mengenak ED PSAK 61 Hibah Pemerintah yang dijelaskan oleh Pak Setiyono Miharjo dan langsung mendapatkan tanggapan dari para peserta yang hadir.

Husein dari BPKP misalnya menanyakan bagaimana kalau Pemerintah menerima hibah dari organisasi asing kemudian disalurkan ke pemerintah daerah dan kemudian oleh pemerintah daerah disalurkan kembali dan seterusnya. DSAK menjawab bahwa standar akuntansi ini hanya akan berlaku untuk entitas komersial dan bukan entitas pemerintah yang memiliki pengaturan berbeda sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Akbar dari PT. MRT juga menanyakan bagaimana bila yang dihibahkan adalah hak pengelolaan, bukan asetnya, bagaimana mencatat hak ini di dalam laporan keuangan. DSAK menjawab bahwa hal tersebut harus dilihat substansinya karena dapat saja nantinya menggunakan PSAK atau ISAK lain seperti ISAK 16 Perjanjian Konsesi Jasa. Namun masukan dari PT.MRT akan menjadi perhatian DSAK dan mungkin akan dilakukan diskusi selanjutnya setelah kegiatan public hearing.

Akuntansi untuk hibah pemerintah ini memang standar baru yang sebelumnya belum pernah ada sehingga mampu menarik perhatian para peserta public hearing. Begitu juga dengan ED PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi yang juga merupakan suatu standar baru yang belum pernah ada sebelumnya di dalam PSAK. ED PSAK 63 menjelaskan bagaimana perusahaan melakukan pencatatan akuntansi dalam keadaan perekonomian yang hiperinflasi. “Semoga PSAK ini tidak perlu digunakan di Indonesia karena kita tidak mengharapkan Indonesia mengalami hiperinflasi seperti di Zimbabwe misalnya.” ujar Jumadi, anggota DSAK yang memaparkan ED PSAK ini.

ED PSAK 61 Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah menjelaskan kapan dan bagaimana suatu entitas dapat mengakui hibah atau bantuan pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya datang dari Hartono, anggota Majelis Kehormatan IAI mengenai apakah hibah langsung dapat diakui sebagai modal dan dapat dibebaskan dari Pajak. Tomi dari PT. Surveyor Indonesia menanyakan apakah hibah dapat diakui sebagai piutang dan Eko dari BPKP menanyakan mengenai biaya-biaya yang timbul dari mendapatkan hibah apakah dapat dikapitalisasi atau harus segera dibebankan. Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan lugas oleh anggota DSAK.

Pemaparan mengenai ED PSAK 46 Pajak Penghasilan juga mampu menarik perhatian. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh anggota DSAK kepada peserta public hearing ditanggapi dengan hangat. Suhartati dari KAP Suhartati dan rekan menanggapi bahwa pengaturan mengenai pajak final sebaiknya tetap ada dalam PSAK 46. Tanggapan juga muncul dari perwakilan Direktorat Jendral Pajak dan juga dari PT. Surveyor Indonesia.

Public hearing selesai pada pukul 15.30 dengan tanggapan terakhir dari salah satu peserta bahwa DSAK sebaiknya membuat buku panduan PSAK dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. “Bahasa PSAK sangat sulit untuk dicerna dan mohon juga banyak memberikan contoh-contoh yang relevan” demikian masukannya yang nampaknya disetujui oleh beberapa peserta lain yang hadir. Setelah kegiatan public hearing selesai, acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama pengurus IAI beserta Dewan Standar (baik DSAK dan DSAS) juga tim implementasi IFRS.

Semua exposure draft yang dibagikan dalam kegiatan public hearing kali ini dapat diunduh dari situs web IAI secara gratis dan komentar publik dinantikan sampai tanggal 30 Oktober 2010. Rangkaian public hearing tahun 2010 belumlah selesai karena DSAK berencana akan membuat satu atau dua public hearing lagi sebelum penghujung tahun 2010 untuk menuntaskan program kerja DSAK konvergensi IFRS tahun 2012.

Sunday, July 11, 2010

Konvergensi IFRS: Mari Menimba Pengalaman dari Singapura


Konvergensi IFRS: Mari Menimba Pengalaman dari Singapura

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi February 2010

Indonesia yang sudah menetapkan target tahun konvergensi 2012 sebenarnya tidak sendirian di dalam proses konvergensi ini. Banyak negara yang saat ini juga sedang melakukan proses konvergensi IFRS terutama di Asia seperti Malaysia, Jepang dan Singapura. Untuk penerapan IAS 32 dan IAS 39 (PSAK 50/55) mengenai instrumen keuangan misalnya, Malaysia juga menerapkannya mulai tahun 2010 ini sama dengan Indonesia. Singapura sudah menerapkan kedua standar rumit ini sejak tahun 2005.

Tentunya adalah hal yang baik apabila Indonesia menimba pengalaman dari negara lain yang sudah terlebih dulu menerapkan IAS 32/39 terutama untuk mempelajari tantangan-tantangan yang dihadapi para pengguna standar di tahun-tahun awal penerapannya. Untuk itu, Ikatan Akuntan Indonesia berinisiatif untuk mengadakan diskusi dengan Accounting Standard Council Singapura (ASC) juga dengan stakeholders lainnya di Singapura yakni ACRA (Accounting and Corporate Regulatory Authority), patner-partner banking dari Big Four Accounting Firm, dan DBS (bank besar di ASIA berpusat di Singapura).

Inisiatif ini disambut hangat oleh ASC dan ACRA yang kemudian mengatur agar diskusi ini dapat terlaksana. Akhirnya pada tanggal 15 Januari 2010, bertempat di Singapore Management University, diskusi bilateral tersebut terlaksana selama satu hari penuh, sejak pukul 9 pagi sampai 5.30 sore. Selain anggota DSAK-IAI, delegasi dari Indonesia dengan total jumlah 17 orang juga terdiri perwakilan dari Bapepam, Bank Indonesia, tim implementasi IFRS-IAI, IAPI, juga bank-bank BUMN yaitu BRI, Mandiri, BTN, dan BNI.

Kondisi tahun ini di Indonesia serupa dengan kondisi tahun 2005 di Singapura di mana pada saat itu adalah tahun pertama IAS 32/39 berlaku efektif di negara tersebut. Pada saat ini DSAK banyak menerima masukan mengenai ketidaksiapan perbankan dan industri keuangan lainnya dalam menerapkan PSAK 50/55 ini. Oleh sebab itulah diskusi ini menjadi sangat penting karena Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman Singapura.


Persiapan Matang Penerapan IAS 32/39

Perusahaan perbankan di Singapura rata-rata mempersiapkan diri sejak setahun sebelum diberlakukannya standar tersebut. DBS misalnya memiliki tim khusus yang bekerja untuk konvergensi IAS 32/39 sejak tahun 2004. Tim ini bekerja sangat intensif dan rapi mempersiapkan proses konvergensi ini dengan kalendar waktu perencanaan yang matang. DBS tidak membeli sistem IT baru terkait dengan berlakunya standar baru tersebut melainkan melakukan modifikasi atas sistem IT yang saat itu mereka miliki.

“Kami tidak bisa membeli sistem IT baru karena pada tahun 2004 sangat sedikit vendor IT yang sudah memahami IAS 32/39. Literatur dan studi mengenai standar ini juga sangat terbatas. Semua orang di dalam tim harus bekerja keras memahami standar yang rumit ini. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini dimana sudah banyak sarana-sarana untuk mempelajari IAS 32/39. ” demikian papar Judi Ng, perwakilan dari DBS yang melakukan presentasi pada hari itu. DBS mengakui bahwa salah satu faktor penting kesuksessan tim konvergensi di DBS adalah dukungan penuh dari top management bank tersebut. “menurut kami sangat sulit untuk meraih sukses di dalam konvergensi ini bila top management tidak mendukung anda dari awal. IAS 32/39 bukan hanya issue akuntansi tapi standar ini turut merubah proses bisnis perusahaan. Hal ini yang harus dipahami oleh top management “ jelas Judi. Pendapat Judi ini diamini oleh berberapa wakil bank BUMN. Salah satu perwakilan wakil bank BUMN berbisik kepada penulis, “ini dia nih yang susah di Indonesia. Direksi masih berpikiran ini hanyalah issue accounting. Malah ada salah satu direksi bank BUMN yang masih mengira PSAK 50/55 berlakunya 2012 dan bukan tahun ini. Karena selama ini dia hanya tahu konvergensi IFRS yang dicanangkan IAI adalah tahun 2012. “

DBS juga tidak menapik peran auditor dan konsultan dari Big Four Accounting firm yang sudah mendukung tim konvergensi tersebut. “Saat itu yang memahami IAS 32/39 belumlah banyak, oleh sebab itu kami berusaha mendapatkan semua bantuan yang bisa kami dapatkan.” jelas Judi. Tim konvergensi IFRS yang dibentuk DBS terdiri dari perwakilan-perwakilan semua unit bisnis DBS, dan tim ini juga membua technical consultation desk sebagai muara bertanya bagi staff DBS lain yang memiliki kesulitan ketika menerapkan IAS 32/39 ini.


Perkembangan Konvergensi IFRS di Singapura

Dari semua pengaturan di dalam IAS 32/39, Singapura memilih untuk tidak mengadopsi mengenai pengaturan mengenai collective loan impairment. Sementara pengaturan collective loan impairment inilah yang sebenarnya cukup berat untuk diterapkan oleh para preparers di Indonesia. “Bank di Singapura kan hanya sedikit, nasabahnya juga sedikit, coba bandingkan dengan bank-bank di Indonesia yang nasabahnya puluhan juta.” keluh salah satu bankir BUMN yang menghadiri diskusi tersebut.

Opini audit untuk bank-bank di Singapura pada tahun 2005 juga rata-rata mendapatkan Clean Opinion dengan paragraf penjelasan mengenai tidak diterapkannya persyaratan collective loan impairment, namun paragraf penjelasan tersebut berlaku untuk semua perusahaan. Struktur sifat kredit di Singapura juga sedikit berbeda dengan di Indonesia di mana rata-rata kredit yang dikeluarkan bank adalah kartu kredit sehingga proporsi collective loan sendiri tidak terlalu besar dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan.

Saat ini IASB sudah mengeluarkan IFRS 9 tentang Financial Instrument yang juga menjadi bahan pembicaraan hangat di Indonesia. Dengan hadirnya IFRS 9 banyak yang menyarankan kepada DSAK agar penerapan PSAK 50/55 sebaiknya ditunda karena menunggu sekalian adopsi IFRS 9 yang disinyalir lebih simple daripada IAS 39. Hal ini disanggah oleh salah satu pembicara dari salah satu Big Four di Singapura bahwa IFRS 9 tidak menjamin menjadikan IAS 39 lebih sederhana. IFRS 9 hanya mengatur sebagian kecil saja yakni Financial Asset dan tidak mengatur mengenai financial liabilities. Juga dengan masih berjalannya proses konvergensi IASB dan FASB di masa depan masih akan keluar lagi standar-standar lainnya mengenai instrumen keuangan. Saat ini IFRS 9 berlaku efektif tahun 2013.

Secara keseluruhan konvergensi IFRS di Singapura berjalan dengan baik. Salah satu alasan adalah full support dari Ministry of Finance Singapura yang memberikan dana kepada ASC sehingga mereka dapat memiliki tim teknis yang kuat. Hal tersebut diakui oleh Euleen Goh, ketua ASC saat ini. Banyak penasehat di Divisi Teknis ASC yang juga merupakan secondment dari KAP Big Four negara tersebut yang “dipinjamkan” selama setahun atau dua tahun bekerja untuk ASC. ASC Singapura saat ini memiliki 16 anggota yang merupakan perwakilan dari beberapa stakeholders seperti kantor akuntan publik, pemerintah, akademisi dan juga dari perusahaan besar seperti Temasek. Sama halnya dengan DSAK-IAI, anggota ASC juga volunteer dan mereka tidak dibayar secara profesional sebagai anggota ASC. Singapura juga menargetkan tahun 2012 menjadi tahun target konvergensi penuh IFRS.

Tantangan konvergensi IFRS di indonesia dapat dikatakan lebih berat karena IFRS harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sementara kalau di Singapura tetap menggunakan bahasa inggris. Selain itu sejak dahulu Singapura memang menggunakan standar akuntansi keluaran IASB walaupun banyak juga mengembangkan beberapa standar sendiri yang berbeda dengan IASB (seperti standar untuk charity organisation). Hal ini cukup berbeda dengan Indonesia di mana banyak standar akuntansi yang berbasis US GAAP dengan pendekatan rule based yang kemudian berganti haluan mengikuti IASB.

Satu lagi yang menjadi kesimpulan penting dalam diskusi dua negara tersebut adalah kesepakatan untuk menjalin kerjasama dan komunikasi lebih erat lagi sehingga kedua negara dapat turut berperan lebih aktif dalam pengembangan standar akuntansi internasional. “Kita harus bekerjasama di dalam satu region, terutama apabila kita berkeberatan suatu standar IFRS akan dikeluarkan, agar suara kita ke IASB menjadi lebih kuat.” demikian ungkap Euleen Goh yang juga diamini oleh Rosita Uli Sinaga, ketua DSAK-IAI yang turut hadir dalam diskusi tersebut. (Ersa Tri Wahyuni)


Keterangan foto: Delegasi Indonesia sedang serius mendengarkan pemaparan ASC Singapore

IASB Harus Lebih Fleksibel dalam Mendefinisikan Adopsi IFRS.


Laporan dari IFRS Regional Policy Forum, Singapura 11-12 Mei 2010

Seruan Indonesia di Forum Internasional: IASB Harus Lebih Fleksibel dalam Mendefinisikan Adopsi IFRS.

Oleh: Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini telah dimuat di majalah Akuntan Indonesia edisi Juni 2010


Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI menyerukan kepada jajaran IASB bahwa sudah saatnya IASB mempertimbangkan definisi yang lebih fleksibel untuk kata “IFRS Adoption” yang selama ini didefinisikan oleh IASB sebagai translasi kata per kata dari IFRS tanpa mengurangi apapun.

“Apabila standar Indonesia lebih ketat misalnya dengan mengurangi pilihan yang tersedia dalam IFRS, apakah dengan demikian maka Indonesia dikatakan tidak taat penuh terhadap IFRS?” demikian salah satu pertanyaan yang dilontarkan Rosita dalam forum bergengsi IFRS Regional Policy Forum pada 11-12 Mei lalu di Singapura. Pernyataan tersebut diamini oleh negara-negara lain yang juga menjadi panelis bersama Rosita di dalam diskusi panel hari kedua tersebut seperti Malaysia dan Selandia Baru

Regional Policy Forum adalah suatu forum di kawasan Asia dan Oceania yang diselenggarakan kurang lebih setiap 15 bulan sekali. Berbeda dengan AOSSG (Asian Oceania Standard Setter Group) yang baru dibentuk, Regional policy Forum bukan hanya berisi badan pembuat standar akuntansi tapi juga pihak-pihak regulator seperti pengawas pasar modal dan otoritas perpajakan. ASC (Accounting Standard Council of Singapore) yang menjadi tuan rumah pertemuan ini menegaskan bahwa pertemuan ini berbeda dengan AOSSG yang juga bertemu setiap tahun. IFRS Regional policy Forum diharapkan dapat menjadi ajang pengambilan keputusan strategis di antara para regulator dalam kawasan asia dan oceania.

Pertemuan ini digagas oleh Australia dan diselenggarakan pertama kali di Sydney pada tahun 2005 dan dilanjutkan di Tokyo dan Beijing, sehingga forum yang berlangsung di Hotel Mandari Orchard, Singapura tersebut adalah pertemuan yang ke empat kalinya. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari Australia, Brunei, China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Macau SAR, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat. Perwakilan dari Indonesia bukan hanya dari DSAK-IAI melainkan juga dari Bapepam, Bursa Efek Indonesia, Ditjen Pajak dan IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia). Sedangkan tema yang diusung dalam pertemuan kali ini adalah “Beyond the Global Crisis – Making Financial Reporting More Relevant to Stakeholders’ Needs”

Jajaran pengurus IASB (International Accounting Standards Board) dan juga perwakilan IASC Foundation hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah Ketua IASB Sir David Tweedie, Tatsumi Yamada anggota IASB asal Jepang, dan Direktur IASB International Activities Wayne Upton yang sehari sebelumnya, 11 Mei, menjadi pembicara dalam seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh IAI. Para pembicara yang memberikan pemaparan juga bukan hanya berasal dari lembaga penyusun standar akuntansi seperti IASB dan DSAK namun juga dari IMF, Australian Tax Office, dan seorang Dr.Robert Glauber, akademisi dari Harvard Law School.

Sir. David Tweedie, ketua IASB yang akan habis masa kepemimpinannya tahun depan memuji negara-negara di dalam kawasan Asia yang berkomitmen tinggi untuk konvergensi terhadap IFRS walaupun tersendat berbagai macam kendala. Suasana pertemuan yang konstruktif dan efektif juga dirasakan berbeda dengan pertemuan-pertemuan serupa di Eropa dengan nuansa politik yang lebih kental. David Tweedie dalam pidato yang kurang lebih satu jam memberikan informasi terkini mengenai perkembangan IFRS yang sedang dalam perubahan dalam dua tahun ke depan. “Diperkirakan akan ada kurang lebih sembilan IFRS baru yang akan terbit sampai tahun 2010-2011.”

IFRS yang masih terus berubah juga dikeluhkan oleh Indonesia dan beberapa negara Asia lain yang sedang dalam proses konvergensi. Di dalam pidatonya Rosita Uli Sinaga memberikan komentar yang mengundang senyum banyak peserta, “Kemarin kami ditanya kapan perusahaan di Indonesia akan dapat menampilkan unreserved statement of IFRS full compliance, jawaban saya adalah pertanyaan lagi kapan IFRS akan lebih stabil. Karena cukup sulit bagi kami mengejar target yang terus bergerak. Seperti IAS 32 dan 39 tentang Instrumen Keuangan yang baru berlaku di Indonesia tahun ini, kemudian IASB mengeluarkan IFRS 9.” Tak lupa ketua DSAK-IAI juga menjabarkan proses konvergensi IFRS yang sedang berjalan di Indonesia. Selain ketua DSAK-IAI, Ludovicus Sensi juga menjadi pembicara dalam diskusi panel bersama Australia, Malaysia dan Singapura yang membahas tantangan Auditor dalam menghadapi krisis keuangan dan konvergensi IFRS.

Kegiatan ini didukung penuh oleh Kementrian Keuangan Singapura. Bahkan Menteri Keuangan Kedua Singapura, Ms.Lim Hwee Hua menjamu makan malam semua peserta dan juga memberikan pidato nya di hari kedua pada tanggal 12 Mei. Regional policy forum selanjutnya kemungkinan besar akan diselenggarakan di Indonesia atau di Malaysia.

Keterangan foto: Foto Delegasi Indonesia di dalam IFRS Regional Policy Forum

Perdebatan Sengit mengenai Pengakuan Pendapatan

PERDEBATAN SENGIT MENGENAI PENGAKUAN PENDAPATAN

Oleh Ersa Tri Wahyuni
Dosen Akuntansi Internasional Universitas Padjajaran

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia bulan Oktober 2009

Pada bulan desember 2008, IASB mengeluarkan sebuah discussion paper (DP) yang sangat kontroversial mengenai pengakuan pendapatan. Komentar terhadap DP tersebut ditutup pada tanggal 19 juni 2009. Sampai 13 juli 2009, IASB menerima 211 tanggapan dari beberapa negara diseluruh dunia. Pandangan dan model dalam DP tersebut begitu kontroversialnya, sehingga sampai hari ini pun topik tersebut masih terus didiskusikan oleh para penyusun standar di berbagai konferensi. Tujuan dari DP tersebut adalah untuk membuat satu definisi pengakuan pendapatan yang dapat berlaku untuk semua transaksi pada semua industry. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa karena US GAAP memiliki lebih dari 100 standar dengan petunjuk pengakuan pendapatan yang berbeda-beda. Standar-standar industri spesifik tersebut dapat mengakibatkan pengakuan pendapatan yang berbeda untuk transaksi yang serupa. Sementara dalam IFRS sendiri, dua standar yang mengatur tentang pengakuan pendapatan adalah IAS 18 Revenue dan IAS 11 Construction Contracts. Kedua standar ini juga memiliki beberapa inkonsistensi dan petunjuk yang kurang memadai mengenai transaksi yang berkaitan dengan komponen majemuk.

Bagaimana sebenarnya model pengakuan pendapatan yang diusulkan oleh DP tersebut sehingga mampu menghebohkan dunia praktek akuntansi international?

Proposal model pengakuan pendapatan IASB
IASB mengusulkan bahwa model pengakuan pendapatan berdasarkan kenaikan posisi neto entitas terhadap kontrak dengan pelanggan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendapatan hanya diakui apabila terdapat peningkatan aset atau pengurangan laibilitas entitas. Hal ini terjadi ketika entitas menunaikan tuntas kewajiban yang terdapat dalam kontrak. Kata ”kontrak” sendiri tidak harus kontrak tertulis, suatu transaksi jual beli sederhana pun seyogyanya menimbulkan kontrak antara pembeli dan penjual. Kesimpulannya pendapatan tidak dapat diakui apabila tidak terdapat peningkatan asset atau pengurangan laibilitas pada suatu entitas.
Untuk kasus penerimaan atas barang, entitas baru dapat mengakui pendapatan apabila pelanggan memiliki kontrol terhadap barang tersebut. Biasanya, hal tersebut terjadi ketika pelanggan memiliki barang tersebut secara fisik. Sedangkan pada kasus, pengakuan pendapatan atas jasa, DP menjelaskan entitas hanya daapat mengakui apabila pelanggan sudah menerima jasa yang dijanjikan seluruhnya.

Polemik
Model yang diusulkan oleh DP keluaran IASB tersebut menimbulkan polemik di dunia praktek bisnis. Pertama banyak orang meragukan apakah satu model pengakuan pendapatan dapat berlaku untuk semua industri dan transaksi bisnis yang semakin kompleks. Kedua selama ini dunia praktik mengakui pendapatan menggunakan risk and reward model dimana apabila risk and reward secara signifikan telah berpindah kepada pembeli maka pendapatan dapat diakui. Model kontrol yang diusulkan DP berpotensi menimbulkan polemik untuk transaksi jasa dan barang sesuai pesanan semisal bangunan gedung. Contohnya mungkin saja jasa yang diberikan tidak meningkatkan aset pelanggan tetapi habis dikonsumsi seperti jasa konsultan atau jasa audit. Praktek bisnis yang terjadi saat ini adalah perusahaan konsultan mengakui pendapatan bahkan sebelum jasa konsultan diberikan apabila didalam kontrak tertera bahwa uang muka yang diterima tidak dapat dikembalikan. Dengan model control pendapatan hanya bisa diakui ketika seluruh jasa telah diselesaikan, itupun dengan syarat bahwa jasa telah terdeliver seluruhnya berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Hilangnya percentage of completion model
Model yang diusulkan oleh DP juga berpotensi untuk menghilangkan model pengakuan pendapatan yang sudah dipakai luas di dunia praktek bisnis kontruksi yakni model persentase penyelesaian kontrak. Hal ini karena dalam model tersebut dijelaskan bahwa pendapatan diakui ketika pelanggan memiliki kontrol terhadap aset. Sementara dalam kontrak konstruksi jangka panjang, kontrol terhadap aset baru dapat ditransfer pada masa akhir kontrak. Apabila model ini diterapkan justru hal tersebut akan mendistorsi laporan keuangan karena tiba-tiba diakui pendapatan yaang besar di akhir periode kontrak (misalnya di tahun ketiga). Sementara aktivitas entitas di tahun pertama dan kedua tidak terefleksikan dalam laporan keuangan. Apakah pelaporan pendapatan seperti ini akan relevan bagi pengguna laporan?

Compliance cost yang tinggi
Hampir semua responden dari industri telekomunikasi memiliki keberatan mengenai potensi biaya implementasi dari model yang diusulkan. Hal ini karena mereka memiliki basis pelanggan yang besar sehingga dibutuhkan sistem IT yang canggih untuk dapat menghitung nilai bersih dari kenaikan asset maupun penurunan laibilitas untuk setiap kontrak individual.
Perusahaan asuransi juga banyak yang tidak setuju dengan pendekatan pengukuran yang diusulkan dalam DP tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendapatan dapat diakui ketika di awal saat kontrak disepakati. Hal ini untuk menutup biaya-biaya akusisi kontrak seperti biaya komisi agen asuransi. Sementara berdasarkan model dalam DP tersebut, biaya tersebut harus dibebankan.

Usulan-usulan dan kontraversi lainnya
Beberapa responden, terutama yang berasal dari Eropa, mengusulkan beberapa model pengakuan pendapatan lain seperti misalnya pendapatan berbasis aktivitas. Pada model ini pendapatan diakui secara berkelanjutan sepanjang masa kontrak. Masukan lainnya juga adalah memasukkan risk and reward model didalam kriteria pengakuan pendapatan sehingga pengakuan pendapatan tidak hanya berdasarkan definisi kontrol. Definisi kontrol dapat berpotensi menimbulkan silang pendapat terhadap definisi menurut hukum (transfer title kepemilikan) dan definisi kontrol menurut akuntansi. Banyak juga responden yang berpendapat bahwa IASB tidak dapat menerbitkan standar mengenai pendapatan tanpa menyediakan petunjuk pengakuan beban, hal ini terkait dengan industri konstruksi misalnya, yang lebih fokus pada pengakuan profit daripada pengakuan pendapatan.

Terlepas dari semua pro dan kontra atas model yang diusulkan oleh DP tersebut, memang menjadi tantangan yang berat bagi IASB untuk dapat mengusulkan suatu model akuntansi apapun yang dapat berlaku pada semua transaksi bisnis di seluruh negara, terlebih untuk pengakuan pendapatan. Pengakuan pendapatan adalah hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Tak heran begitu banyak masukan dan kontraversi terhadap DP yang sebenarnya baru merupakan pandangan awal (preliminary views) terhadap pengakuan pendapatan. Pastilah akan lebih seru lagi apabila IASB memutuskan untuk mengeluarkan eksposure draft baru mengenai pengakuan pendapatan. Kita tunggu saja kelanjutan kontraversi dari model pengakuan pendapatan ini.

Konvergensi IFRS dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Akuntansi di Indonesia

Konvergensi IFRS 2012 dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Akuntansi di Indonesia

Ersa Tri Wahyuni
(Dosen Akuntansi UNPAD)

Tulisan ini dimuat di dalam Economics and Business Review (EBAR) edisi February 2010.


Abstrak

Roda konvergensi IFRS sedang bergulir kencang. Mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan standar akuntansi dalam dua tahun ke depan niscaya akan terlindas dan tertinggal oleh roda konvergensi tersebut. Tantangan besar menghadang dunia pendidikan akuntansi Indonesia untuk memastikan bahwa akuntan akademisi mampu mengikuti perkembangan standar akuntansi yang sangat cepat.

Tulisan ini menjelaskan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan akuntansi di Indonesia dalam menghadapi konvergensi IFRS. Secara spesifik, tulisan ini juga mengajak para dosen akuntansi untuk mulai merubah proses pengajaran akuntansi keuangan menjadi principle-based sesuai dengan IFRS. Pada bagian akhir tulisan ini, penulis memberikan beberapa alternatif solusi bagi pendidikan tinggi Akuntansi agar tidak tertinggal di dalam perubahan.

*****


DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) berniat kuat untuk menyelesaikan program konvergensi IFRS pada tahun 2012. Dengan menggunakan proses konvergensi secara bertahap, pada tahun 2009 DSAK sudah mengesahkan 11 PSAK baru yang keseluruhannya diadopsi dari IFRS, 4 ISAK baru yang diadopsi dari IFRIC maupun SIC dan merevisi satu ISAK yang lama, 5 pernyataan pencabutan (PPSAK) yang mencabut kurang lebih 9 PSAK dan 1 ISAK yang tidak sesuai dengan IFRS. Beberapa PSAK dan ISAK sedang dipersiapkan untuk dikeluarkan pada tahun 2010. Peluncuran 19 produk baru DSAK secara sekaligus berlangsung meriah pada tanggal 23 Desember 2009 lalu bertepatan dengan public hearing 4 exposure draft PSAK baru. (lihat Lampiran 1 untuk informasi lebih detail mengenai hal ini)

Selain pernyataan pencabutan yang rata-rata berlaku pada 1 Januari 2010, hampir seluruh Pernyataan yang dikeluarkan (PSAK dan ISAK) berlaku mulai 1 Januari 2011. Masyarakat diharapkan mampu menelaah dan mempelajarinya selama setahun ini sebelum Pernyataan tersebut berlaku efektif. Pertanyaan besarnya adalah apakah dunia pendidikan akuntansi di Indonesia siap untuk merespon perubahan ini?

Saat ini terdapat kebutuhan yang sangat besar di dunia profesi maupun perusahaan atas sumber daya manusia yang memahami IFRS. Beberapa perusahaan di Indonesia sudah harus membuat laporan berbasis IFRS untuk dikirimkan ke induk perusahaan yang sudah lebih dulu mengadopsi IFRS. Beberapa perbincangan penulis dengan para auditor, saat ini terdapat kekurangan yang cukup akut atas akuntan yang mengerti IFRS, terutama yang mampu menerjemahkan laporan keuangan berbasis PSAK menjadi laporan keuangan berbasis IFRS.

Sementara dunia pendidikan tinggi akuntansi juga mengeluh sulitnya mencari para akuntan maupun auditor professional yang memahami IFRS namun bersedia berbagi ilmu mengajar di kampus. Keluhan ini sangat nyata terdengar terutama untuk pendidikan tinggi di luar pulau Jawa. Selain kekurangan sumber daya pengajar, fasilitas pengajaran lain yang berbasis IFRS juga sangat minim. Buku-buku teks yang berbasis IFRS sulit untuk didapat; bilapun ada, selalu berbahasa Inggris dan mahal harganya. IFRS sendiri sebagai standar tidak bisa diunduh secara gratis. Studi kasus aplikasi IFRS di Indonesia hampir mustahil tersedia untuk publik. Seminar maupun workshop mengenai IFRS yang dilaksanakan oleh IAI maupun kantor akuntan publik besar relatif mahal, jarang dilakukan dan biasanya tidak diciptakan khusus untuk akuntan akademisi melainkan untuk pembuat atau pemeriksa laporan keuangan.

Ketua DSAK dalam beberapa kesempatan berbicara di depan publik, senantiasa mengingatkan pentingnya dunia pendidikan tinggi akuntansi untuk keep updated mengenai perubahan yang sedang terjadi dan mulai mengajarkan IFRS kepada para mahasiswanya. Dunia pendidikan tinggi pun sebenarnya memahami bahwa mereka harus melakukan sesuatu untuk menyesuaikan diri. Namun kemudian terbentur dengan pertanyaan klasik. Harus dimulai dari mana? Apakah cukup dengan mengirimkan para dosen ke seminar-seminar IFRS? Apakah cukup dengan workshop penyusunan kurikulum bersama yang berbasis IFRS? Apalah artinya kurikulum maupun SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang nyata-nyata mengharuskan IFRS namun dosen tidak memiliki pengetahuan memadai maupun akses terhadap materi-materi pengajaran berbasis IFRS?


Ajarkan Principle Based dan Bukan Rule Based

Standar Akuntansi IFRS memiliki pendekatan berbasis prinsip (principle based). Sehingga standar-standar Akuntansi IFRS mengatur prinsip-prinisp utamanya. IFRS misalnya tidak memiliki standar-standar yang spesifik untuk industri. Kalaupun ada standar mengenai kontrak asuransi ( IFRS 4 Insurance Contract), standar tersebut tidak mengatur entitas asuransi tapi mengatur entitas apapun yang memiliki kontrak asuransi.

Sedangkan standar yang berbasis pengaturan (rule based) lebih detil dan compleks juga memiliki standar-standar berbasis industri. Misalnya adalah standar mengenai pengakuan pendapatan. Di IFRS pengakuan pendapatan hanya diatur pada dua standar yakni IAS 18 Revenue dan IAS 11 Construction Contracts. Sementara Standar Akuntansi di US misalnya memiliki sekitar 100 standar yang didalamnya berisi pengakuan pendapatan yang berbeda-beda pada tiap industi. Jadi dimungkinkan hasil yang berbeda untuk substansi ekonomi yang sama dalam industri yang berbeda (IASB, 2009).

Mendengar komentar dalam beberapa public hearing DSAK selama lima bulan terakhir maupun masukan tertulis atas exposure draft PSAK yang dikeluarkan sepanjang tahun 2009, jelas tertangkap kegamangan para akuntan menghadapi standar akuntansi yang menjadi lebih principle based. DSAK sepanjang tahun 2009 mencabut kurang lebih 9 PSAK yang berbasis industri yang tidak harmonis dengan IFRS dan rule based. Dampak dari pencabutan ini adalah kepanikan para pelaku di industri-industri terkait bahwa mereka harus mulai mempelajari seluruh PSAK secara komprehensif dan tidak bisa lagi hanya memahami standar akuntansi industrinya saja. Akhirnya banyak pihak yang meminta adanya buletin teknis, panduan implementasi atau pedoman akuntansi yang lebih detil.

Seiring dengan bergesernya arah pelaporan akuntansi global dari rule based menjadi principle based, bukankah aneh apabila pendidikan Akuntansi kita (terutama untuk S1) masih sangat rule based? Mahasiswa kita diajarkan Akuntansi yang berkutat mengenai transaksi, bagaimana menjurnalnya, dan bagaimana membuat laporan keuangan. Perdebatan mengenai principle based vs rule based biasanya hanya dibahas sekilas pada mata kuliah Teori Akuntansi ataupun Akuntansi Internasional yang rata-rata hanya berbobot 2 sks. Itu pun dalam tatanan teori dan tidak masuk ke dalam contoh aplikasinya. Akuntansi berbasis prinsip ini juga menjadi perhatian utama para akademisi di Amerika. Mary E Barth (2009) professor Standford University dan anggota IASB juga meminta akademisi di Amerika lebih memperhatikan pengajaran prinsip-prinsip utama Akuntansi.

Sebagai contoh, tengoklah para dosen yang mengajarkan mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan yang biasanya menggunakan buku Beams (2009). Mereka umumnya mengajarkan mahasiswa membukukan transaksi investasi menggunakan metode biaya (bila investasi yang dimiliki kepemilikan saham dibawah 20%), menggunakan metode ekuitas (untuk investasi sebesar 20%-50%), dan metode konsolidasi bila investasi di atas 50%. Kemudian mereka akan fokus bagaimana mengajarkan mahasiswa membuat laporan keuangan konsolidasi yang sangat rumit. Padahal di dalam IFRS keputusan mengonsolidasi anak perusahaan bergantung dengan adanya kontrol yang rambu-rambunya sangat principle based. Mungkin saja suatu perusahaan induk memiliki saham anak perusahaan 100% tapi tidak mengonsolidasi karena tidak memiliki kontrol terhadap anak perusahaan melainkan hanya memiliki pengaruh signifikan. Hal ini banyak contohnya pada perusahaan-perusahaan yang membuat laporan akuntansinya berbasis IFRS.

Penulis tidak mengatakan bahwa kemampuan teknis tidak penting, bahwa mahasiswa tidak perlu untuk menguasai bagaimana membuat consolidation worksheet yang rumit. Namun di awal-awal mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan, mahasiswa sebaiknya juga diberikan banyak latihan yang menggunakan professional judgement mereka. Berikan kondisi-kondisi sehingga mahasiswa harus berdiskusi apakah perusahaan memiliki kontrol terhadap anak perusahaan atau hanya memiliki pengaruh signifikan? Suatu studi kasus yang sama mungkin dapat menimbulkan jawaban yang berbeda. Pada akhirnya hal ini akan membuat mahasiswa merasa tidak nyaman karena terbiasa dengan jawaban benar atau salah. Mahasiswa akan belajar menjadi akuntan yang bukan hanya harus memahami hal-hal teknis, tetapi juga mesti memiliki professional judgement yang terasah baik.

Pada pertemuan awal mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan, mahasiswa biasanya dicekoki bagaimana menghitung goodwill, membuat jurnal baik dari sisi pengakuisisi maupun dari sisi acquiree. Jarang sekali mahasiswa diberikan kesempatan melakukan professional judgement untuk menentukan manakah yang menjadi acquirer di dalam suatu business combination. Pertanyaan ini di dalam dunia nyata sangat riil dan penting, terutama untuk business combination besar seperti penggabungan beberapa perusahaan (kasus Bank Mandiri misalnya yang merupakan gabungan dari beberapa bank). IFRS 3 Business Combination yang akan segera diadopsi DSAK secara eksplisit menyatakan bahwa dalam suatu kombinasi bisnis harus ditentukan mana pihak yang pengakuisisi (acquirer). Terkadang penentuan hal tersebut tidaklah mudah karena definisi pengakuisisi adalah yang memiliki kontrol, juga ada isu kapan control tersebut diperoleh oleh pengakuisisi.

Principle based versus rule based harusnya diterapkan dalam setiap mata kuliah secara konsisten dan berkelanjutan, khususnya mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah dan Akuntansi Keuangan Lanjutan. Misalnya dalam mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah, saat membahas aset tidak berwujud, fokus pengajaran adalah bagaimana menjurnal saat memperoleh aset, mengamortisasi tahunan dan melepaskan aset tidak berwujud. Biasanya periode amortisasi sudah diberikan selama 5, 10 atau 20 tahun.

Di dalam IAS 38, juga PSAK 19 (Revisi 2010 yang ED-nya sudah keluar), aset tidak berwujud tidak lagi memiliki maksimum umur manfaat. Perusahaan harus menilai berapa umur ekonomis aset tidak berwujud. Bahkan apabila perusahaan tidak bisa melihat batas akhir kapan manfaat ekonomis aset tidak berwujud tersebut berakhir, perusahaan dapat membuatnya menjadi aset tidak berwujud dengan umur manfaat tak terbatas. Aset tidak berwujud dengan umur manfaat tak terbatas diperlakukan sama seperti goodwill, yakni dikenai uji penurunan nilai setiap tahun dan tidak diamortisasi. Hal-hal tersebut penuh dengan professional judgement. Sementara mahasiswa jarang sekali diberikan studi kasus di mana mereka dapat melakukan latihan bagaimana menentukan umur ekonomis suatu aset tidak berwujud. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi umur ekonomis suatu aset tidak berwujud? Berapa tahun batasnya suatu aset tidak berwujud dikatakan memiliki umur manfaat tak terbatas? 30 tahun? 40 tahun?

Mahasiswa Akuntansi harus memiliki fondasi yang kuat mengenai teori-teori Akuntansi, juga prinsip-prinsip Akuntansi. Mahasiswa Akuntansi harus memahami bahwa Akuntansi bukan hanya bookkeeping. Seorang akuntan di masa depan harus memiliki professional judgement yang kuat. Dengan semakin majunya sistem teknologi informasi, proses bookkeeping juga semakin diambil oleh oleh komputer sehingga tantangan profesi akuntan di masa depan akan bergeser pula bukan lagi sebagai “tukang catat” transaksi perusahaan.

Ajari Mahasiswa Membuat Pengungkapan

Salah satu perbedaan besar antara IFRS dan PSAK kita adalah tingkat pengungkapan yang diminta IFRS sangat ekstensif. Namun sayangnya pada pendidikan akuntansi kita, biasanya mahasiswa diuji hanya sampai membuat laporan keuangan atau membuat jurnal. Jarang sekali cara membuat pengungkapan diajarkan atau ditanyakan dalam ujian suatu mata kuliah. Tak heran ketika mahasiswa lulus dan bekerja menjadi pembuat laporan keuangan (preparer), para akuntan kita tidak cakap dalam membuat pengungkapan laporan keuangan. Bukan rahasia lagi bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak yang menggantungkan diri kepada kantor akuntan publik atau konsultan dalam membuat catatan atas laporan keuangan (CALK).

Suatu penelitian yang dilakukan penulis mengenai pengungkapan goodwill pada perusahaan-perusahaan terdaftar di Indonesia menunjukkan bahwa sebesar 47,2% perusahaan yang memiliki goodwill dan mengamortisasi lebih dari 5 tahun tidak mengungkapkan alasannya mengapa lebih dari lima tahun sekalipun alasan tersebut secara eksplisit diminta oleh PSAK 22 (Wahyuni & Natasha, 2007). Semangat dari PSAK 22 sebenarnya mengatakan bahwa goodwill diamortisasi lima tahun namun boleh diamortisasi maksimum 20 tahun dengan mengungkapkan alasannya. Berdasarkan penelitian penulis, dari 62 perusahaan yang memiliki goodwill di laporan keuangannya, sebesar 29% yang mengamortisasi selama lima tahun. Selebihnya mengamortisasi lebih dari lima tahun dan lebih dari 40% mengamortisasi sebesar 20 tahun.

Itu baru penelitian yang melihat pengungkapan atas goodwill. Bagaimana apabila dibedah kesesuaian laporan keuangan dengan disclosure requirements yang diminta oleh PSAK. Khusus untuk goodwill, apabila IFRS 3 Business Combination jadi diadopsi pada tahun 2011 seperti rencana DSAK, maka persyaratan pengungkapan akan lebih berat lagi. Bila PSAK 22 saat ini hanya mensyaratkan empat hal yang diungkapkan untuk goodwill, maka IFRS 3 mensyaratkan sedikitnya sembilan hal yang perlu diungkapkan atas goodwill.

Beratnya pengungkapan yang diminta IFRS berlaku hampir untuk semua pos dan akun. Sudah saatnya ketika dosen mengajar tentang aset tetap misalnya, mereka tidak hanya berhenti bagaimana menjurnal saat memperoleh aset, mendepresiasi, melepaskan, dan menyajikan aset pada laporan keuangan. Namun, mereka juga mengajarkan bagaimana membuat Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) atas aset tetap sesuai dengan yang disyaratkan standar. Mestinya lebih banyak informasi yang dapat digali user dengan menilik CALK. Bukankah ironis jika sangat sedikit porsi ini yang dipelajari dalam pendidikan Akuntansi kita?


Langkah-langkah Solusi ke Depan

Penulis selalu menyarankan kepada pengelola jurusan agar mahasiswa akuntansi yang akan lulus pada tahun 2011 dan 2012 diajarkan Akuntansi Keuangan dengan menggunakan buku-buku berbasis IFRS. Buku-buku akuntansi dari Australia, UK, maupun Singapura rata-rata sudah mengacu ke IFRS. Apabila tidak memungkinkan, setidaknya universitas secara aktif memberitahukan pentingnya mahasiswa mempelajari IFRS dan sumber-sumber belajar di internet yang dapat diakses untuk studi mandiri mereka.

Tantangan terbesar pendidikan tinggi adalah minimnya sarana pengajaran yang berbasis IFRS seperti buku, studi kasus, dan lain-lain. Tantangan lainnya tak lain dan tak bukan adalah sumber daya manusia. Dosen-dosen akuntansi keuangan yang sudah bertahun-tahun menggunakan buku berbasis US GAAP, harus mau belajar lagi dan dengan niat tulus ikhlas memberikan para calon akuntan masa depan pengetahuan yang relevan. Banyak pengelola jurusan yang mengeluh kepada penulis sulitnya mendorong dosen-dosen ini untuk belajar lagi, sementara universitas tidak bisa serta-merta seenaknya mempekerjakan dosen-dosen baru karena ada kendala anggaran dan lain sebagainya. Sampai saat ini masih saja banyak dosen-dosen akuntansi yang belum mengetahui (atau tidak mau tahu) bahwa konvergensi IFRS sedang berjalan.

Sudah waktunya pendidikan tinggi akuntansi melakukan sinergi, bukan hanya sibuk saling mempersiapkan dirinya sendiri saja. Beberapa pendidikan tinggi dapat membuat studi kasus mengenai aplikasi IFRS pada perusahaan Indonesia dan hasilnya dapat digunakan bersama-sama. Hibah-hibah riset sudah saatnya dialokasikan untuk riset-riset yang dapat menunjang proses konvergensi IFRS ini, terutama mempersiapkan alat-alat pengajaran seperti buku teks, bank soal, slide presentasi dan sebagainya. Universitas besar yang memiliki sumber daya memadai di bidang IFRS, seharusnya dapat berbagi dan membantu universitas lain yang memiliki keterbatasan sumber daya.

Sudah selayaknya universitas besar seperti UI, Trisakti, atau UGM membuat IFRS Research and Knowledge Center, sebagai pusat pembelajaran IFRS yang gratis dan dapat diakses siapa saja. Jika universitas-universitas besar itu sudah memiliki IFRS center, inilah saatnya mereka menggandeng rekan-rekan dosen terutama yang di daerah untuk mempelajari IFRS bersama-sama. Betapa indahnya jika kita dapat bersama membuat kajian mengenai dampak adopsi IFRS di Indonesia, atau memberikan masukan dan komentar atas exposure draft PSAK yang dikeluarkan DSAK. Tentunya sangat menyedihkan hati ketika Ketua DSAK pada sambutannya dalam HUT IAI ke 52 bulan Desember lalu menyebutkan hanya ada nama dua universitas yang memberikan komentar atas exposure draft PSAK selama tahun 2009.

Sudah waktunya Dikti atau Departemen Keuangan memberikan hibah-hibah penelitian untuk menunjang konvergensi IFRS. Ikatan Akuntan Indonesia melalui IAI Kompartemen Akuntan Pendidik juga harus mampu mempercepat proses pembelajaran akademisi melalui penyelenggaraan training for trainers IFRS dengan berkelanjutan dan harga terjangkau.

Konvergensi IFRS adalah suatu keniscayaan. Pada tahun 2012 standar akuntansi di Indonesia akan kurang lebih sesuai dengan IFRS. Adalah hal yang serius bila pendidikan akuntansi di Indonesia tidak mampu mencetak lulusan akuntan dengan kompetensi yang memadai. Pada saat ini sudah terlalu deras arus akuntan dari Filipina (yang mengadopsi penuh IFRS sejak 2005) bekerja dalam industri profesi ini. Akankah akuntan Indonesia menjadi tamu dalam rumahnya sendiri?
*****


Daftar Pustaka


Beams, Anthony, Clement and Lowensohn, 2009, Advanced Financial Accounting, 10th edition, Pearson

IASB, 2009, Discussion Paper: Preliminary Views on Revenue Recognition in Contracts with Customers

IFRS, 2009, International Financial Reporting Standards, International Accounting Standard Board.

Mary E Barth, 2008, Global Financing Reporting: Implications for US Academics, The Accounting Review, Vol. 83/ Issue 5, American Accounting Association

Wahyuni & Natasha, 2008, The Evidence of Goodwill Disclosure at Indonesia’s Listed Company and Goodwill Relationship With Future Earnings, Binus University, Unpublished research.

Gempa Bumi Akuntansi Indonesia 2010

Gempa Bumi Akuntansi Indonesia 2010
Oleh Ersa tri Wahyuni
Diterbitkan Harian Bisnis Indonesia 23 Oktober 2009

Sebagai satu-satunya negara kawasan asia tenggara yang masuk ke dalam G20, kita boleh berbangga karena perekonomian Indonesia dianggap sangat penting bagi perekonomian dunia. Salah satu butir kesepakatan G20 adalah Program konvergensi standar akuntansi internasional (IFRS) ke dalam standar akuntansi local setiap negara. Siapkah Indonesia menjalankannya?
Tanggal 13 Oktober lalu, Ikatan Akuntan Indonesia melakukan public hearing untuk menerbitkan exposure draft 6 standar akuntansi baru, 4 interpretasi standard akuntansi dan 2 pernyataan pencabutan standard akuntansi. Kesan IAI melakukan “kejar tayang” menyelesaikan standar akuntansi yang sesuai dengan International Financial Standard Board (IFRS) menjadi tidak terelakan mengingat public hearing 12 produk sekaligus sedemikian belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah akuntansi Indonesia
Banyak pihak yang nampaknya ‘gregetan’ dengan proses konvergensi IFRS yang terkesan lamban. Target tahun konvergensi IFRS sendiri sudah beberapa kali dirubah oleh IAI (lebih tepatnya dimundurkan). Kendala-kendala teknis dalam menterjemahkan IFRS ke dalam bahasa Indonesia memang tidak dapat dipandang remeh karena keterbatasan bahasa Indonesia menangkap seluruh kata dalam bahasa inggris dengan makna yang sesuai terlebih istilah-istilah akuntansi dan keuangan. Namun benarkah konvergensi IFRS berjalan lamban karena faktor teknis semata?
Bagaimana dengan kesiapan profesi-profesi lainnya dalam proses konvergensi IFRS ini? Terutama profesi akuntan publik (auditor), penilai (appraiser dan business valuer), dosen-dosen akuntansi, juga para akuntan manajemen di dalam perusahaan yang akan membuat laporan keuangan, regulator (Bapepam dan BI) yang akan mewajibkan perusahaan menggunakan standar akuntansi berbasis IFRS ini. Percuma saja apabila DSAK mengeluarkan standar akuntansi yang berbasis IFRS namun para pemangku kepentingan tidak dapat memahami dan menerapkannya.
Banyak pihak yang belum menyadari bahwa standar akuntansi di Indonesia sedang mengalami perubahan besar-besaran.
Gempa Bumi Akuntansi tahun 2010
Contoh beratnya proses konvergensi IFRS di Indonesia mungkin bisa di lihat pada upaya DSAK untuk menerapkan PSAK 50 dan 55 mengenai instrument keuangan. Standarnya sendiri sudah terbit tahun 2008 untuk berlaku efektif 1 January 2009. Namun karena besarnya tekanan dari industri keuangan yang menyatakan ketidaksiapannya, pada akhir tahun 2008 standar akuntansi ini ditangguhkan penerapannya ke tahun 1 January 2010. Saat ini tahun 2009 hanya tersisa kurang lebih tiga bulan dan banyak pihak yang sebenarnya berharap-harap cemas agar PSAK 50 dan 55 ini diundur kembali penerapannya. Beberapa pihak mengeluh besarnya investasi di bidang system informasi dan IT yang harus dipikul perusahaan demi untuk mengikuti persyaratan yang diharuskan dalam PSAK 50 dan 55.
IFRS adalah standar yang kompleks, tidak hanya yang terkait dengan instrumen keuangan. Compliance cost bagi perusahaan tentunya tidak sedikit. Pertanyaan penting berikutnya adalah akankan semua compliance cost ini dibebankan kepada perusahaan? Mungkinkan pemerintah maupun regulator memberikan insentif ataupun keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang akan fully comply dengan PSAK 50 dan 55?
Bagi lembaga keuangan besar dengan system IT yang mutakhir mungkin tidak terlalu bermasalah, namun bagaiamana dengan bank-bank menengah dan kecil, perusahaan reksadana, dan semacamnya? Pertanyaan yang sama bisa juga diajukan kepada industri pemeriksa keuangan, kantor akuntan publik besar mungkin akan lebih siap, namun bagaimana dengan kantor akuntan menengah dan kecil? Mampukah para auditor menyatakan bahwa suatu perusahaan sudah sesuai atau tidak sesuai dengan persyaratan PSAK 50 dan 55? Apakah Bank Indonesia sebagai regulator juga sudah mempersiapkan para pengawas bank nya dengan pemahaman yang memadai mengenai penerapan PSAK 50 dan 55 ini? Tentunya sangat disayangkan apabila mayoritas bank di Indonesia akan mendapatkan opini audit “disclaimer” untuk laporan akuntansi 2010 karena gagal memenuhi persyaratan PSAK 50 dan 55.
Salah satu alasan pihak-pihak yang meminta penangguhan karena IASB (Dewan Standar Akuntansi International pembuat IFRS) baru saja menerbitkan exposure draft baru untuk merubah standar mengenai instrumen keuangan ini. Usulan yang baru diduga akan menyederhanakan standar sebelumnya yang sangat rumit. Mengapa DSAK tidak menangguhkan dan menunggu saja sampai standar akuntansi untuk instrumen keuangan ini stabil dan tidak berubah lagi. Mungkin ini dapat menjadi alasan yang cukup argumentatif. Bukankah konyol apabila perusahaan melakukan investasi IT besar-besaran demi mengikuti standar akuntansi yang rumit untuk kemudian dua atau tiga tahun kemudian standard akuntansi nya berubah menjadi lebih sederhana?
Tahun 2010 berpotensi terjadi gempa bumi akuntansi karena IAI nampaknya tidak akan mempan dibujuk untuk menangguhkan kembali tanggal efektif PSAK 50 dan 55 apapun alasannya. Penangguhan kembali PSAK 50 dan 55 juga berpotensi menimbulkan preseden buruk bahwa suatu standar akuntansi dapat dengan mudah ditangguhkan karena ketidaksiapan industri. Bila tidak dipaksa lalu bilamana dan kapan perusahaan akan siap?
Bayangkan dampak PSAK 50 dan 55 saja sudah demikian memberatkan para perusahaan, bagaimana dengan sekitar 20 an standar baru yang akan dikeluarkan IAI sampai tahun 2011? Sampai tahun 2012 gempa bumi akuntansi di Indonesia mungkin akan sering terjadi bersamaan dengan kerapnya public hearing yang akan dilakukan IAI. Siapkah dunia bisnis Indonesia?

Ersa Tri Wahyuni
Penulis adalah dosen akuntansi internasional Universitas Padjajaran Bandung.