is passionate for IFRS Convergence in Indonesia. She is an accounting lecturer of Universitas Padjajaran, Bandung, teaching mostly financial accounting and international accounting courses. She is one of the author for the best seller accounting text book"Principles of Accounting: Indonesia Adaptation". She also an active writer in newspapers and "Akuntan Indonesia" magazine. Currently Ersa is pursuing PhD in Manchester Business School, UK.
Sunday, July 11, 2010
IASB Harus Lebih Fleksibel dalam Mendefinisikan Adopsi IFRS.
Laporan dari IFRS Regional Policy Forum, Singapura 11-12 Mei 2010
Seruan Indonesia di Forum Internasional: IASB Harus Lebih Fleksibel dalam Mendefinisikan Adopsi IFRS.
Oleh: Ersa Tri Wahyuni
Tulisan ini telah dimuat di majalah Akuntan Indonesia edisi Juni 2010
Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI menyerukan kepada jajaran IASB bahwa sudah saatnya IASB mempertimbangkan definisi yang lebih fleksibel untuk kata “IFRS Adoption” yang selama ini didefinisikan oleh IASB sebagai translasi kata per kata dari IFRS tanpa mengurangi apapun.
“Apabila standar Indonesia lebih ketat misalnya dengan mengurangi pilihan yang tersedia dalam IFRS, apakah dengan demikian maka Indonesia dikatakan tidak taat penuh terhadap IFRS?” demikian salah satu pertanyaan yang dilontarkan Rosita dalam forum bergengsi IFRS Regional Policy Forum pada 11-12 Mei lalu di Singapura. Pernyataan tersebut diamini oleh negara-negara lain yang juga menjadi panelis bersama Rosita di dalam diskusi panel hari kedua tersebut seperti Malaysia dan Selandia Baru
Regional Policy Forum adalah suatu forum di kawasan Asia dan Oceania yang diselenggarakan kurang lebih setiap 15 bulan sekali. Berbeda dengan AOSSG (Asian Oceania Standard Setter Group) yang baru dibentuk, Regional policy Forum bukan hanya berisi badan pembuat standar akuntansi tapi juga pihak-pihak regulator seperti pengawas pasar modal dan otoritas perpajakan. ASC (Accounting Standard Council of Singapore) yang menjadi tuan rumah pertemuan ini menegaskan bahwa pertemuan ini berbeda dengan AOSSG yang juga bertemu setiap tahun. IFRS Regional policy Forum diharapkan dapat menjadi ajang pengambilan keputusan strategis di antara para regulator dalam kawasan asia dan oceania.
Pertemuan ini digagas oleh Australia dan diselenggarakan pertama kali di Sydney pada tahun 2005 dan dilanjutkan di Tokyo dan Beijing, sehingga forum yang berlangsung di Hotel Mandari Orchard, Singapura tersebut adalah pertemuan yang ke empat kalinya. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari Australia, Brunei, China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Macau SAR, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat. Perwakilan dari Indonesia bukan hanya dari DSAK-IAI melainkan juga dari Bapepam, Bursa Efek Indonesia, Ditjen Pajak dan IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia). Sedangkan tema yang diusung dalam pertemuan kali ini adalah “Beyond the Global Crisis – Making Financial Reporting More Relevant to Stakeholders’ Needs”
Jajaran pengurus IASB (International Accounting Standards Board) dan juga perwakilan IASC Foundation hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah Ketua IASB Sir David Tweedie, Tatsumi Yamada anggota IASB asal Jepang, dan Direktur IASB International Activities Wayne Upton yang sehari sebelumnya, 11 Mei, menjadi pembicara dalam seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh IAI. Para pembicara yang memberikan pemaparan juga bukan hanya berasal dari lembaga penyusun standar akuntansi seperti IASB dan DSAK namun juga dari IMF, Australian Tax Office, dan seorang Dr.Robert Glauber, akademisi dari Harvard Law School.
Sir. David Tweedie, ketua IASB yang akan habis masa kepemimpinannya tahun depan memuji negara-negara di dalam kawasan Asia yang berkomitmen tinggi untuk konvergensi terhadap IFRS walaupun tersendat berbagai macam kendala. Suasana pertemuan yang konstruktif dan efektif juga dirasakan berbeda dengan pertemuan-pertemuan serupa di Eropa dengan nuansa politik yang lebih kental. David Tweedie dalam pidato yang kurang lebih satu jam memberikan informasi terkini mengenai perkembangan IFRS yang sedang dalam perubahan dalam dua tahun ke depan. “Diperkirakan akan ada kurang lebih sembilan IFRS baru yang akan terbit sampai tahun 2010-2011.”
IFRS yang masih terus berubah juga dikeluhkan oleh Indonesia dan beberapa negara Asia lain yang sedang dalam proses konvergensi. Di dalam pidatonya Rosita Uli Sinaga memberikan komentar yang mengundang senyum banyak peserta, “Kemarin kami ditanya kapan perusahaan di Indonesia akan dapat menampilkan unreserved statement of IFRS full compliance, jawaban saya adalah pertanyaan lagi kapan IFRS akan lebih stabil. Karena cukup sulit bagi kami mengejar target yang terus bergerak. Seperti IAS 32 dan 39 tentang Instrumen Keuangan yang baru berlaku di Indonesia tahun ini, kemudian IASB mengeluarkan IFRS 9.” Tak lupa ketua DSAK-IAI juga menjabarkan proses konvergensi IFRS yang sedang berjalan di Indonesia. Selain ketua DSAK-IAI, Ludovicus Sensi juga menjadi pembicara dalam diskusi panel bersama Australia, Malaysia dan Singapura yang membahas tantangan Auditor dalam menghadapi krisis keuangan dan konvergensi IFRS.
Kegiatan ini didukung penuh oleh Kementrian Keuangan Singapura. Bahkan Menteri Keuangan Kedua Singapura, Ms.Lim Hwee Hua menjamu makan malam semua peserta dan juga memberikan pidato nya di hari kedua pada tanggal 12 Mei. Regional policy forum selanjutnya kemungkinan besar akan diselenggarakan di Indonesia atau di Malaysia.
Keterangan foto: Foto Delegasi Indonesia di dalam IFRS Regional Policy Forum
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment