Sunday, July 11, 2010

Perdebatan Sengit mengenai Pengakuan Pendapatan

PERDEBATAN SENGIT MENGENAI PENGAKUAN PENDAPATAN

Oleh Ersa Tri Wahyuni
Dosen Akuntansi Internasional Universitas Padjajaran

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia bulan Oktober 2009

Pada bulan desember 2008, IASB mengeluarkan sebuah discussion paper (DP) yang sangat kontroversial mengenai pengakuan pendapatan. Komentar terhadap DP tersebut ditutup pada tanggal 19 juni 2009. Sampai 13 juli 2009, IASB menerima 211 tanggapan dari beberapa negara diseluruh dunia. Pandangan dan model dalam DP tersebut begitu kontroversialnya, sehingga sampai hari ini pun topik tersebut masih terus didiskusikan oleh para penyusun standar di berbagai konferensi. Tujuan dari DP tersebut adalah untuk membuat satu definisi pengakuan pendapatan yang dapat berlaku untuk semua transaksi pada semua industry. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa karena US GAAP memiliki lebih dari 100 standar dengan petunjuk pengakuan pendapatan yang berbeda-beda. Standar-standar industri spesifik tersebut dapat mengakibatkan pengakuan pendapatan yang berbeda untuk transaksi yang serupa. Sementara dalam IFRS sendiri, dua standar yang mengatur tentang pengakuan pendapatan adalah IAS 18 Revenue dan IAS 11 Construction Contracts. Kedua standar ini juga memiliki beberapa inkonsistensi dan petunjuk yang kurang memadai mengenai transaksi yang berkaitan dengan komponen majemuk.

Bagaimana sebenarnya model pengakuan pendapatan yang diusulkan oleh DP tersebut sehingga mampu menghebohkan dunia praktek akuntansi international?

Proposal model pengakuan pendapatan IASB
IASB mengusulkan bahwa model pengakuan pendapatan berdasarkan kenaikan posisi neto entitas terhadap kontrak dengan pelanggan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendapatan hanya diakui apabila terdapat peningkatan aset atau pengurangan laibilitas entitas. Hal ini terjadi ketika entitas menunaikan tuntas kewajiban yang terdapat dalam kontrak. Kata ”kontrak” sendiri tidak harus kontrak tertulis, suatu transaksi jual beli sederhana pun seyogyanya menimbulkan kontrak antara pembeli dan penjual. Kesimpulannya pendapatan tidak dapat diakui apabila tidak terdapat peningkatan asset atau pengurangan laibilitas pada suatu entitas.
Untuk kasus penerimaan atas barang, entitas baru dapat mengakui pendapatan apabila pelanggan memiliki kontrol terhadap barang tersebut. Biasanya, hal tersebut terjadi ketika pelanggan memiliki barang tersebut secara fisik. Sedangkan pada kasus, pengakuan pendapatan atas jasa, DP menjelaskan entitas hanya daapat mengakui apabila pelanggan sudah menerima jasa yang dijanjikan seluruhnya.

Polemik
Model yang diusulkan oleh DP keluaran IASB tersebut menimbulkan polemik di dunia praktek bisnis. Pertama banyak orang meragukan apakah satu model pengakuan pendapatan dapat berlaku untuk semua industri dan transaksi bisnis yang semakin kompleks. Kedua selama ini dunia praktik mengakui pendapatan menggunakan risk and reward model dimana apabila risk and reward secara signifikan telah berpindah kepada pembeli maka pendapatan dapat diakui. Model kontrol yang diusulkan DP berpotensi menimbulkan polemik untuk transaksi jasa dan barang sesuai pesanan semisal bangunan gedung. Contohnya mungkin saja jasa yang diberikan tidak meningkatkan aset pelanggan tetapi habis dikonsumsi seperti jasa konsultan atau jasa audit. Praktek bisnis yang terjadi saat ini adalah perusahaan konsultan mengakui pendapatan bahkan sebelum jasa konsultan diberikan apabila didalam kontrak tertera bahwa uang muka yang diterima tidak dapat dikembalikan. Dengan model control pendapatan hanya bisa diakui ketika seluruh jasa telah diselesaikan, itupun dengan syarat bahwa jasa telah terdeliver seluruhnya berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Hilangnya percentage of completion model
Model yang diusulkan oleh DP juga berpotensi untuk menghilangkan model pengakuan pendapatan yang sudah dipakai luas di dunia praktek bisnis kontruksi yakni model persentase penyelesaian kontrak. Hal ini karena dalam model tersebut dijelaskan bahwa pendapatan diakui ketika pelanggan memiliki kontrol terhadap aset. Sementara dalam kontrak konstruksi jangka panjang, kontrol terhadap aset baru dapat ditransfer pada masa akhir kontrak. Apabila model ini diterapkan justru hal tersebut akan mendistorsi laporan keuangan karena tiba-tiba diakui pendapatan yaang besar di akhir periode kontrak (misalnya di tahun ketiga). Sementara aktivitas entitas di tahun pertama dan kedua tidak terefleksikan dalam laporan keuangan. Apakah pelaporan pendapatan seperti ini akan relevan bagi pengguna laporan?

Compliance cost yang tinggi
Hampir semua responden dari industri telekomunikasi memiliki keberatan mengenai potensi biaya implementasi dari model yang diusulkan. Hal ini karena mereka memiliki basis pelanggan yang besar sehingga dibutuhkan sistem IT yang canggih untuk dapat menghitung nilai bersih dari kenaikan asset maupun penurunan laibilitas untuk setiap kontrak individual.
Perusahaan asuransi juga banyak yang tidak setuju dengan pendekatan pengukuran yang diusulkan dalam DP tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendapatan dapat diakui ketika di awal saat kontrak disepakati. Hal ini untuk menutup biaya-biaya akusisi kontrak seperti biaya komisi agen asuransi. Sementara berdasarkan model dalam DP tersebut, biaya tersebut harus dibebankan.

Usulan-usulan dan kontraversi lainnya
Beberapa responden, terutama yang berasal dari Eropa, mengusulkan beberapa model pengakuan pendapatan lain seperti misalnya pendapatan berbasis aktivitas. Pada model ini pendapatan diakui secara berkelanjutan sepanjang masa kontrak. Masukan lainnya juga adalah memasukkan risk and reward model didalam kriteria pengakuan pendapatan sehingga pengakuan pendapatan tidak hanya berdasarkan definisi kontrol. Definisi kontrol dapat berpotensi menimbulkan silang pendapat terhadap definisi menurut hukum (transfer title kepemilikan) dan definisi kontrol menurut akuntansi. Banyak juga responden yang berpendapat bahwa IASB tidak dapat menerbitkan standar mengenai pendapatan tanpa menyediakan petunjuk pengakuan beban, hal ini terkait dengan industri konstruksi misalnya, yang lebih fokus pada pengakuan profit daripada pengakuan pendapatan.

Terlepas dari semua pro dan kontra atas model yang diusulkan oleh DP tersebut, memang menjadi tantangan yang berat bagi IASB untuk dapat mengusulkan suatu model akuntansi apapun yang dapat berlaku pada semua transaksi bisnis di seluruh negara, terlebih untuk pengakuan pendapatan. Pengakuan pendapatan adalah hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Tak heran begitu banyak masukan dan kontraversi terhadap DP yang sebenarnya baru merupakan pandangan awal (preliminary views) terhadap pengakuan pendapatan. Pastilah akan lebih seru lagi apabila IASB memutuskan untuk mengeluarkan eksposure draft baru mengenai pengakuan pendapatan. Kita tunggu saja kelanjutan kontraversi dari model pengakuan pendapatan ini.

No comments: