Friday, December 23, 2011

Menuju DSAK-IAI Yang lebih Transparan dan Percaya Diri dalam Gelombang Konvergensi IFRS

Oleh Ersa Tri Wahyuni*
Tulisan ini dimuat dalam kolom Opini majalan Akuntan Indonesia edisi Ulang Tahun, 23 Desember 2011.


Sore itu tanggal 22 Desember 2009, di Graha Akuntan, Sindaglaya Menteng, wajah-wajah tegang DSAK dan tim teknis tengah berdiskusi di dalam rapat pleno DSAK yang sangat penting. Agenda rapat hari itu sangat padat. Bulan Desember 2009, DSAK melaksanakan rapat hampir setiap minggu. Agenda rapat hari itu adalah mengesahkan beberapa PSAK yang telah tutup masa komentarnya. Rapat tanggal 22 Desember 2009 terasa lebih menegangkan karena esoknya tanggal 23 Desember 2009, DSAK-IAI akan mengadakan public hearing istimewa. Public Hearing dilaksanakan di tempat yang lebih extravagant daripada biasanya yakni di Hotel Ritz Carlton karena akan dilanjutkan dengan perayaan HUT IAI ke 52. Tepat setahun setelah dicanangkannya Konvergensi IFRS pada HUT IAI 23 Desember 2008, Ketua DSAK-IAI harus tampil percaya diri memaparkan perkembangan proses konvergensi IFRS.

Tanggal 23 Desember 2009 adalah hari yang penting karena pada hari itu dilaksanakan exposure draft empat PSAK dan pengesahan 19 produk DSAK (enam produk diantaranya disahkan dalam rapat 22 Desember 2009) yang terdiri dari 10 PSAK, 5 ISAK dan 4 PPSAK. Roda konvergensi IFRS di Indonesia mulai bergulir kencang, membuat banyak orang tercengang dan terengah-engah mempelajari begitu banyak PSAK baru yang disahkan pada akhir tahun 2009.


Cerita dari Dapur Konvergensi IFRS.

Selama periode konvergensi IFRS, Juli 2009-Maret 2010 adalah periode DSAK-IAI paling sibuk. Konsinyering hampir dilakukan setiap bulan, ditambah rapat tim kecil dan pleno di Graha Akuntan Sindanglaya. Konsinyerng DSAK-IAI biasanya dimulai dari jum’at siang dengan rapat tim kecil. Kemudian rapat pleno jum’at malam atau sabtu pagi hingga sabtu malam. Bila agenda belum selesai rapat pleno dilanjutkan hari minggu pagi. Setelah beberapa kali rapat konsinyering selama tiga hari dua malam, saya mendapatkan protes dari beberapa anggota DSAK. “Ersa, kapan aku ketemu anak nih kalau setiap weekend rapat terus?” akhirnya kebijakan konsinyering berubah hanya dua hari satu malam saja. Selama tahun 2010, rapat DSAK masih tetap padat dengan total 17 kali rapat DSAK pada tahun 2010 diluar rapat dengan pemerintah, regulator dan industri.

Menu cemilan favorit ketua DSAK ketika rapat DSAK di Graha Akuntan IAI adalah martabak dan pempek. Anggota DSAK lainnya, Setiono Miharjo biasanya akan lebih bergairah rapat bila menu makan malam dapat DSAK adalah sate kambing, apalagi bila konsinyering DSAK dilakukan di Puncak, Bogor maka sate kambing menjadi menu wajib. Buah-buahan, keripik dan kacang telor biasanya menjadi cemilan favorit sambil berdiskusi hingga tengah malam.

Rapat DSAK biasanya dimulai dengan mengesahan agenda rapat DSAK dan disusul dengan revisi dan pengesahan notulen rapat DSAK sebelumnya. Ketua DSAK-IAI memimpin rapat, yang digantikan oleh wakil ketua DSAK-IAI bila ketua berhalangan. Bila ketua dan wakil ketua berhalangan, pimpinan rapat digantikan oleh anggota DSAK yang lain. Irsan Gunawan, salah satu anggota DSAK yang paling senior, beberapa kali diberi kepercayaan memimpin rapat DSAK-IAI, juga Ludovicus Sensi Wondabio juga beberapa kali memimpin rapat dengan sangat efisien.

Rapat DSAK bisa berlangsung berjam-jam bila sedang membahas hal-hal pelik. Beberapa anggota DSAK yang “early bird” biasanya akan mulai mengantuk bila diskusi sudah melewati pukul 10 malam. Sebagian dari mereka akan menyenggol sikut saya, “Sa, ingetin Bu Rosita tuh, diskusinya cepetan jangan lama-lama, udah malam nih”. Sementara sebagian anggota DSAK yang “night owl”, semakin malam diskusinya akan semakin garang. Pernah pada suatu rapat di salah satu hotel di Jakarta, saya harus mengingatkan ketua DSAK bahwa rapat sebaiknya dihentikan karena sudah jam 2 pagi, beberapa anggota DSAK-IAI bernafas lega, demikian juga beberapa staff teknis IAI yang sudah mempersiapkan berkas rapat sejak pagi hari memandang saya dengan ucapan terima kasih. Namun ternyata ketua DSAK-IAI dan beberapa anggota DSAK masih melanjutkan diskusi sampai pukul 3 pagi sambil menghabiskan kacang yang tersisa.

Beberapa masalah pelik didiskusikan dalam beberapa kali rapat. Voting terkadang tidak bisa dihindari. Misalnya adalah voting mengenai judul PSAK 7 apakah tetap mengunakan istilah “Pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa” atau menggunakan istiilah “pihak berelasi”. Masing-masing pihak telah memberikan argumennya dan diskusi hangat dilakukan. Akhirnya “pihak berelasi” dipilih dan menang tiga suara dalam voting rapat DSAK 22 Mei 2010.

Dedikasi, kerja keras dan team work DSAK untuk mensukseskan program konvergensi IFRS sangat saya banggakan. Setelah dicemooh world bank dalam laporannya bahwa IAI telah gagal berulang kali mencapai target konvergensi IFRS , maka DSAK-IAI dan tim teknis manajemen purnawaktu IAI bertekad sekuat tenaga untuk mencapai target konvergensi tahun 2012. Bila akuntan di Indonesia terengah-engah mengikuti proses perkembangan PSAK dan DSAK-IAI merasa lelah dalam masa-masa brutal konvergensi IFRS, bayangkan betapa exhausted tim teknis bekerja untuk memenuhi harapan banyak pihak. Staf baru bertambah, beberapa mahasiswa magang dipekerjakan, ijin cuti staf ditolak, setiap sabtu dan minggu kantor IAI ramai seperti hari kerja biasa, komputer dan printer ditambah, dan bekerja sampai tengah malam mereview exposure draft dan PSAK yang akan naik cetak adalah hal yang lumrah.


Transparansi dan Tata Kelola DSAK-IAI

Seiring dengan meningkatnya profil DSAK-IAI dalam masa konvergensi IFRS, maka transparansi dan tata kelola DSAK-IAI menjadi sorotan banyak pihak. Sudah menjadi tradisi dalam IAI, calon anggota DSAK tidak melamar untuk menjadi anggota DSAK-IAI, tapi dilamar untuk oleh DPN-IAI. Hal ini untuk menghindari social climber atau profession climber, mereka yang hanya mengincar jabatan anggota DSAK-IAI untuk kepentingan politik pribadi. Sepanjang sepengetahuan saya, IAI belum pernah mengiklankan posisi kosong DSAK-IAI di media masa nasional.

Hal ini menuai kritik banyak pihak yang mempertanyakan transparansi dalam pengangkatan anggota DSAK-IAI. Hal ini juga membuat calon kandidat anggota DSAK-IAI yang sebenarnya mimiliki niat tulus dan siap untuk bekerja keras tidak bisa “menembus” jejaring dalam kepengurusan IAI untuk dapat dinominasikan menjadi anggota DSAK-IAI. Karena beberapa anggota IAI “diminta” dan bukan mengajukan diri, terkadang hal ini membuat aktivitas DSAK-IAI tidak menjadi prioritas utama mereka. Apalagi menjadi anggota DSAK-IAI adalah pekerjaan sukarela dimana para anggota DSAK-IAI tidak mendapatkan manfaat keuangan secara langsung dalam menjalankan perannya.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk meragukan dedikasi DSAK-IAI untuk bekerja keras menyusun standar akuntansi, namun dapat dipahami bahwa motivasi dan passion setiap anggota DSAK dalam bekerja untuk DSAK-IAI tidaklah sama. Bagi anggota DSAK-IAI yang berprofesi akuntan publik, menjadi anggota DSAK-IAI tentunya berpotensi meningkatkan profil dan pendapatan dari jasa konsultasi, namun bagi mereka yang tidak bisa secara langsung menikmati intangible benefit status DSAK-IAI, maka rapat-rapat DSAK yang panjang dan melelahkan harus bersaing dengan agenda kerja mereka lainnya yang menjadi tanggungjawab utama. Beberapa anggota DSAK-IAI yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan, terkadang tidak bisa menghindar dari rapat bersama atasannya sehingga harus absen dari rapat DSAK-IAI. Atau anggota DSAK-IAI yang mewakili penyusun laporan keuangan dari perusahaan, terkadang hanya bisa rapat setelah jam kerja sehingga jarang bisa bergabung rapat-rapat dengan regulator dan industri yang biasanya dilakukan pada jam kerja.

Jumlah anggota DSAK-IAI yang membengkak menjadi 18 orang pada tahun 2010 juga menimbulkan pertanyaan bahkan oleh anggota DSAK sendiri. Salah seorang anggota DSAK misalnya ketika sarapan disela-sela konsinyering bertanya kepada saya “Mbak Ersa kok bisa anggota DSAK biasanya 12 orang tiba-tiba jadi 18 orang? Memag AD/ART IAI nya berubah atau gimana? Kok kayaknya mudah sekali DPN-IAI menambah dan mengurangkan anggota DSAK?” Bertambahnya anggota DSAK seperti pisau bermata dua. Mungkin bertambahnya anggota DSAK dibutuhkan di masa-masa konvergensi IFRS yang sangat sibuk ini, namun dilain pihak semakin banyak anggota DSAK-IAI semakin sulit mengambil keputusan.

Di masa depan ada baiknya pemilihan anggota DSAK-IAI dilakukan secara lebih transparan. IAI dapat melakukan komite seleksi yang mewakili beberapa stakeholder dan lowongan menjadi anggota DSAK-IAI diiklankan secara terbuka. Mereka yang berminat menjadi anggota DSAK-IAI mungkin bisa diminta menuliskan esai singkat tentang mengapa mereka yang harus terpilih. Interview bisa dilakukan untuk lebih meyakinkan komite seleksi mengenai kesungguhan dan motivasi kandidat. Komite seleksi juga bisa melakukan background check terhadap para kandidat apakah ada cacat moral yang pernah dilakukan. Tidak perlu sampai meminta para akuntan voting lewat sms seperti pemilihan Indonesian Idol, namun ada baiknya setiap ada anggota DSAK baru maka IAI merilis berita pers atau pemberitahuan kepada anggotanya dan masyarakat secara luas yang juga memuat profil anggota DSAK tersebut.

Bandingkan dengan pemilihan anggota IASB, dimana kekosongan posisi sudah diiklankan satu tahun sebelumnya. Di dalam website IASB ada profil setiap anggota IASB lengkap dengan fotonya. Sedangkan di Indonesia, bila ingin mengetahui nama-nama anggota DSAK, seseorang harus membuka buku PSAK. Di dalam website IAI juga tidak dimuat nama-nama dan profil anggota DSAK-IAI. Mengingat produk DSAK-IAI adalah kebijakan publik yang dapat mempengaruhi perekonomian negara, sudah saatnya DSAK-IAI mendekat kepada konstituennya.

Sampai hari ini, rapat DSAK-IAI masih tertutup terhadap pihak lain yang ingin menjadi pengamat. Notulen rapat DSAK-IAI juga bukan dokumen publik dan hanya disirkulasikan terbatas di dalam organisasi IAI. Hal ini membuat DSAK-IAI seakan-akan sekelompok elit yang tidak terjamah masyarakat. Beberapa peneliti dari Universitas yang meminta ijin untuk menjadi pengamat dalam rapat DSAK-IAI harus menelan pil pahit karena tidak diijinkan mengikuti rapat DSAK-IAI. Bayangkan dengan rapat-rapat IASB yang membuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin hadir sebagai pengamat rapat, bahkan terkadang juga rapat IASB disebarluaskan dengan webcast.

Salah satu alasan mengapa rapat DSAK-IAI masih tertutup adalah masalah sensitivitas informasi. Banyak hal yang didiskusikan dalam rapat DSAK adalah hal-hal prematur yang mungkin belum saatnya diketahui publik. Suatu standar PSAK yang didiskusikan hari ini, mungkin baru akan berlaku efektif 2 atau 3 tahun kemudian. Keputusan DSAK juga bisa berubah tergantung dengan perubahan IFRS dan iklim bisnis di Indonesia. Namun bukankah hal tersebut juga terjadi di IASB? Beberapa exposure draft IFRS disempurnakan dan dilakukan re-exposure draft. Mereka yang mengikuti perkembangan IASB juga memahami betapa IASB sering berubah pikiran dalam rapat-rapatnya.

Bila ingin profesi akuntan di Indonesia mempelajari PSAK dengan lebih cepat, sudah saatnya DSAK-IAI lebih membuka diri. DSAK-IAI tidak bisa mengeluh bahwa akuntan di Indonesia sangat lamban mempelajari IFRS sementara di lain pihak menutup akses bagi mereka yang ingin bersama-sama DSAK mempelajari IFRS dalam rapat DSAK-IAI. Bila belum nyaman menerima pengamat dalam rapat DSAK, setidaknya notulen rapat DSAK dijadikan dokumen publik yang dapat diakses siapa saja. Jangan sampai terdapat kesan di masyarakat bahwa ketertutupan ini memang disengaja oleh IAI agar ilmu mengenai IFRS memang hanya di kuasai oleh orang-orang terbatas dan setiap orang yang ingin mempelajari IFRS hanya dapat melakukannya dengan mengikuti training yang dibandrol mahal.


Jabatan Politik atau Jabatan Teknis?

Aktivitas lobby terhadap dewan standar akuntansi berlaku pada setiap negara dan jurisdiksi. IASB mendapatkan lobby yang kuat dari uni Eropa, negara-negara G20 dan belakangan juga dari Asia-Oceania sehingga mempengaruhi standar yang mereka buat. Melihat beratnya kegiatan politik yang harus dijalani oleh IASB untuk meyakinkan banyak negara dalam mengadopsi IFRS, tak heran kalau IFRS Foundation memilih seorang “politikus” untuk menjadi ketua IASB menggantikan Sir David Tweedie. Semua orang yang membaca profil Hans Hoogervorst (ketua IASB per Juli 2011) dapat segera menduga bahwa Hans diangkat bukan karena kemampuan teknik akuntansinya, dan dugaan tersebut akan semakin kuat bila mendengar pidato-pidato Hans di forum resmi IASB yang jarang menyentuh level teknis akuntansi . Untuk lebih menyeimbangkan teknikal akuntansi pimpinan IASB, diangkatlah Ian Mackintosh yang memiliki kompetensi teknikal akuntansi tinggi sebagai wakil ketua IASB.

Tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi anggota DSAK, apalagi ketua DSAK memiliki implikasi politis yang kuat. Setiap keputusan yang diambil terkait PSAK baru dapat membawa akibat katastropik kepada perusahaan maupun industri. Bila akibatnya sangat signifikan bagi perekonomian negara, DSAK tentunya harus mengambil keputusan dengan sangat hati-hati dan berkonsultasi dengan DKSAK, DPN-IAI, pemerintah dan industri. Masih segar dalam ingatan betapa alotnya lobby industry perbankan terhadap PSAK 50 dan PSAK 55 di akhir 2008 sehingga masa efektif dua PSAK tersebut diundur menjadi tahun 2010. Namun sampai akhir 2009, DSAK-IAI masih saja dilobby untuk kembali memundurkan masa efektif PSAK 50 dan PSAK 55.

Ketua DSAK-IAI secara tradisional selalu dipegang oleh mereka yang sangat ahli di bidang teknikal akuntansi. Dua ketua DSAK terakhir misalnya, Jusuf Wibisana dan Rosita Uli Sinaga, bukan hanya keduanya adalah chairman dan partner di kantor akuntan publik ternama, tapi keduanya juga dosen akuntansi di Universitas negeri bergengsi. Kemampuan teknikal akuntansi keduanya tidak diragukan lagi. Dan kemampuan teknis akutansi akan selalu menjadi pertimbangan utama DPN-IAI dalam memilih ketua DSAK.

Namun dalam dua tahun terakhir, peran politis DSAK-IAI semakin meningkat. Anggota dan Ketua DSAK-IAI diundang menjadi pembicara dalam forum-forum internasional IASB, bahkan dalam kegiatan IFRS Policy Forum bulan Mei lalu di Bali, ketua DSAK mendapat sorotan internasional. Tiba-tiba saja konvergensi IFRS dan standar akuntansi menjadi sexy dan berhasil meyakinkan dewan Redaksi berbagai media untuk menjadi berita. Permintaan wawancara media terhadap ketua DSAK-IAI mengalir meminta penjelasan. Belum lagi undangan rapat dari regulator dan pemerintah mengalir setiap hari. Sangat sulit mendapatkan wartawan yang paham mengenai istilah teknis akuntansi sehingga penjelasan terhadap wartawan perlu bahasa yang mampu dipahami oleh masyarakat. Frustasi sayapun terkadang memuncak bila membaca berita-berita tentang konvergensi IFRS yang tidak akurat akibat ketidaktahuan wartawan.

Hal kecil saja misalnya, harian sebesar KOMPAS dapat gagal mengeja Deloitte (salah satu Big Four Firm) menjadi D’Loyd (Perusahaan pelayaran), dan hal ini terjadi dua kali di KOMPAS (Salah satunya dalam berita “Monopoli Audit segera Berakhir” 13 Desember 2012). “sejak kapan perusahaan pelayaran menjadi kantor akuntan? Atau Deloitte mulai beli kapal layar?” candaan kami di IAI kala itu. Bila hal kecil saja dapat salah dan dilakukan oleh media sereputasi Kompas, bagaimana kita bisa mengharapkan akurasi berita-berita lainnya seputar standar akuntansi di Kompas, apalagi di harian lain?

Oleh sebab itulah dibutuhkan ketua DSAK-IAI yang memiliki public relation skill yang baik. Yang gemar bertemu dengan wartawan dan mampu menjawab pertanyaan jebakan khas wartawan dengan cerdas. Juga harus sabar mengedukasi wartawan agar mereka mampu mengedukasi masyarakat dengan benar. Belum lagi kemampuan berdiksusi di forum-forum internasional juga kemampuan berdiplomasi menjawab pertanyaan-pertanyaan lembaga internasional seputar kesiapan Indonesia mengadopsi IFRS. Sejak dua tahun terakhir nama Indonesia selalu terselip dalam pidato-pidato ketua IASB di seluruh dunia sebagai negara penting pengadopsi IFRS.

Tentunya tidak perlu gegabah berpikir bahwa lobbying skills menjadi kemampuan utama seorang ketua DSAK diatas kemampuan teknis akuntansinya, namun selayaknya DPN-IAI mengingatkan siapapun yang akan diangkat menjadi ketua DSAK bahwa peran politis ketua DSAK-IAI di forum nasional dan internasional sangat berbeda dengan 5-10 tahun yang lalu. Kemampuan lobby dan diplomasi selayaknya mendapatkan bobot tambahan dalam menyeleksi ketua DSAK-IAI. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan ini cukup sulit ditemui pada sebagian besar akuntan yang memiliki stereotype konservatif, pemalu, kutu buku, geeky, dan menghindari spotlight. Seorang akuntan publik pernah berseloroh kepada saya, “oleh sebab itulah Mbak Ersa jarang sekali akuntan publik yang duduk di DPR atau menjadi public figure. Tidak seperti pengacara atau dokter. Memang DNA akuntan itu berbeda.”

Rosita Uli Sinaga telah meningkatkan brand image DSAK-IAI dengan sesekali melayani Tanya jawab wartawan dan lugas menjawab mereka dalam konferensi press. Keaktifan IAI dalam dua tahun terakhir merilis berita pers seputar aktivitas DSAK-IAI dan mengutip banyak ucapan ketua DSAK-IAI, juga meningkatkan pemberitaan ketua DSAK-IAI secara signifikan. Mungkin fakta bawa ketua DSAK-IAI saat ini adalah wanita yang memang secara alamiah “lebih luwes” daripada laki-laki, telah membuat media exposure DSAK-IAI meningkat. Sejak Komite Prinsip Akuntansi Indonesia dibentuk tahun 1974 yang menjadi cikal bakal DSAK-IAI, baru mulai Juli 2009 DSAK-IAI dipimpin oleh seorang wanita.

Antusiasme Rosita terhadap penyusunan standar akuntansi telah dimulai sejak beliau mahasiswa tingkat akhir tahun 1990an ketika membantu Komite PAI menerjemahkan IAS yang diadopsi dalam SAK 1994 sehingga cukup sulit membayangkan ada orang lain yang lebih passionate daripada Rosita dalam hal konvergensi IFRS. Passion is contagious, antusiasme seperti ini dengan mudah menular dan bisa dilihat dari kegiatan public hearing IAI yang selalu penuh. Bukan hanya ketua DSAK-IAI, namun juga anggota DSAK-IAI lainnya seperti keramahan Irsan Gunawan dan kerendahan hati wakil ketua DSAK-IAI, Roy Iman Wirahardja juga telah membantu citra DSAK-IAI menjadi lebih hangat, bersahabat dan accessible.

Simpulan

Dalam menaklukan gelombang konvergensi IFRS, DSAK-IAI perlu menjadi lebih low profile terhadap konstituennya di Indonesia dengan lebih membuka diri dan meningkatkan transparansi. Namun DSAK-IAI juga harus high profile dan percaya diri dalam aktivitas Internasional. Hal ini harus ditunjang oleh tenaga-tenaga teknis dalam manajemen purnawaktu IAI yang kompeten dan berdedikasi tinggi. Bila DSAK-IAI akan memutuskan untuk lebih membuka diri, maka Manajemen IAI harus mampu membantu DSAK-IAI menjadi lebih profesional dan transparan.

IAI adalah organisasi profesi yang profesional dan sangat disegani baik oleh industri, pemerintah maupun lembaga profesi lainnya. DSAK dan DSAS IAI adalah elemen terpenting yang menjadikan IAI organisasi yang berpengaruh di ranah kebijakan publik. Saya yakin para pengurus IAI dan pihak manajemen IAI akan terus berupaya agar dewan standar yang terhormat ini mendapatkan dukungan sumberdaya terbaik untuk dapat terus meningkatkan fungsi dan martabatnya. Dirgahayu IAI. Maju terus Akuntan Indonesia!

*****


*Penulis adalah Direktur Teknis IAI periode Juli 2009-Agustus 2011. Saat ini Ersa sedang menempuh program S3 Akuntansi pada Manchester Business School, University of Manchester, Inggris.

Saturday, September 17, 2011

IASB Menjamin IFRS Bersifat Global dan Tidak Memihak

Liputan dari World Standard Setters Conference, London, 15-16 September 2011



Ketua IASB Hans Hoogervorst membuka konferensi penyusun standar akuntansi dunia hari Kamis, 15 September 2011 di London. World Standard Setters Conference (WSS) adalah perhelatan tahunan yang diselenggarakan oleh IASB (International Accounting Standard Board) untuk menampung masukan dari penyusun standar akuntansi dari semua negara. Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 150 peserta yang terdiri atas penyusun standar akuntansi dari 59 negara.

Dalam sambutannya, ketua IASB yang baru mulai menjabat menggantikan Sir David Tweedie Juli lalu, Hans Hoogervorst mengatakan bahwa IASB menjamin bahwa proses penyusunan IFRS (International Financial Reporting Standards) tidak akan memihak pada jurisdiksi atau negara tertentu. Walaupun kantor IASB berada di London, namun masukan yang diterima oleh IASB datang dari seluruh penjuru dunia. Jaminan yang diberikan Hans tentunya menenangkan negara-negara Asia yang selama ini banyak beranggapan bahwa IASB lebih banyak dipengaruhi oleh Eropa dan Amerika Serikat. “Dengan ancaman krisis ekonomi di Eropa akibat dari krisis keuangan Yunani, kerjasama yang bersifat internasional sangat dibutuhkan. Penyusunan IFRS bukanlah suatu proses menara gading yang tidak mendengarkan masukan internasional, sehingga konferensi seperti ini sangat penting untuk IASB” demikian ungkap Hans Hoogervost dalam sambutannya.

Hans juga memberikan apresiasinya kepada negara-negara Asia yang mulai terlibat dalam penyusunan IFRS seperti Malaysia yang membuat riset mengenai Akuntansi Agrikultur dan Korea yang membantu IASB dalam riset mengenai transaksi mata uang asing. Riset yang dilakukan oleh Malaysia dan Korea membuat kedua topik tersebut diperhatikan oleh IASB dan masuk ke dalam “Agenda Consultation 2011” yang dikeluarkan IASB Juli lalu dan membuka komentar masukan sampai 30 November 2011.

Kegiatan WSS akan berlangsung dua hari yakni Kamis dan Jum’at dan akan mendiskusikan banyak topik seputar perkembangan IFRS di masa depan. Indonesia diwakili oleh Rosita Uli Sinaga, ketua DSAK-IAI (Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia) dan Ersa Tri Wahyuni, technical advisor IAI. Konferensi kali ini sangat penting dan menarik karena IASB baru saja memiliki ketua baru yang dapat mengubah fokus IASB dalam menentukan agenda kerjanya di masa depan. Di dalam sambutannya, ketua IASB juga menyebutkan beberapa negara yang sedang dalam proses konvergensi IFRS termasuk Indonesia.

“Semenjak Indonesia menjadi tuan rumah IFRS Forum di Bali, Indonesia lebih menjadi perhatian IASB dibandingkan sebelumnya. Hal ini tentunya sangat baik karena meningkatkan exposure Indonesia di di dunia internasional” ungkap Rosita Uli Sinaga merujuk pada suksesnya kegiatan IFRS Regional Policy Forum di Bali pada Mei 2011 yang dihadiri oleh 300 peserta dari 20 negara termasuk ketua dan anggota IASB.

Dalam kongferensi tingkat dunia ini, perwakilan negara yang memiliki permasalahan implementasi IFRS berusaha untuk memberikan masukan kepada IASB agar topik yang diusung oleh negara tersebut menjadi agenda kerja IASB dalam tiga tahun ke depan. Negara-negara di Asia dan Oceania yang bergabung dalam AOSSG (Asian Oceanian Standard Setters Group) berusaha membuat masukan atas nama grup negara sehingga lebih kuat dan akan lebih diperhatikan. AOSSG melakukan diskusi tertutup dengan IASB sehari sebelumnya tanggal 14 September untuk membahas masukan-masukan dan concerns dari negara-negara di Asia dan Oceania terutama untuk standar-standar akuntansi baru IASB seperti instrumen keuangan, Sewa, Pendapatan, Kontrak Asuransi.

Kerjasama regional yang dilakukan oleh AOSSG dan dimulai sejak 2009 menjadi motivasi untuk regional lainnya memulai kerjasama serupa. Negara-negara di Afrika pada bulan Mei 2011 membentuk PAFA (Pan African Federation of Accountants) yang memiliki 37 anggota organisasi dari 34 negara. Sedangkan negara-negara di Amerika Selatan juga membentuk GLASS (Group of Latin-American Accounting Standard Setters) pada Juni 2011 yang memiliki anggota dari 12 negara. Ketua AOSSG, PAFA dan GLASS memberikan presentasi dalam sesi panel hari pertama dalam WSS dan membahas apa yang telah dan akan dilakukan oleh organisasi masing-masing.

“Indonesia sedang dalam masa konvergensi standar akuntansinya ke IFRS dengan target tahun 2012. Sangat penting bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam kegiatan internasional agar suara Indonesia dapat diperhatikan” ujar Rosita, ketua DSAK-IAI. Untuk konferensi kali ini Indonesia mengusulkan beberapa topik menjadi agenda IASB untuk tiga tahun ke depan yaitu standar akuntansi agrikultur, transaksi shari’ah, akuntansi untuk perusahaan tambang dan perminyakan juga akuntansi kombinasi bisnis untuk entitas sepengendali. Keempat topik tersebut sangat relevan untuk Indonesia yang merupakan negara agraris juga penghasil minyak dan tambang. (ETW)

Tuesday, August 23, 2011

Kontroversi Laporan Keuangan Interim


Oleh Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat di Majalah Akuntan Indonesia edisi Agustus 2011


PSAK 3 Laporan Keuangan Interim revisi 2010 telah disahkan oleh DSAK untuk berlaku tahun 2011. Kemunculannya sedikit terlambat dibandingkan dengan rangkaian PSAK-PSAK berbasis IFRS yang keluar sejak tahun 2009 untuk berlaku tahun 2011. Awalnya PSAK 3 ini memang tidak termasuk dalam golongan PSAK yang akan berlaku tahun 2011, namun setelah melihat perubahan PSAK 1 Penyajian Laporan Keuangan yang sangat signifikan maka akan sulit bagi perusahaan untuk membuat laporan keuangan interim 2011 menggunakan model penyajian laporan keuangan yang lama sedangkan laporan keuangan tahunan 2011 harus menggunakan model penyajian laporan keuangan yang baru. Bukankah aneh bila laporan keuanga interim sepanjang tahun 2011 tidak pernah menyajikan pendapatan komprehensif lain lalu kemudian tiba-tiba di akhir tahun 2011 pada laporan keuangan tahunan perusahaan menyajikan pendapatan komprehensif lain.

Oleh sebab itulah PSAK 3 Laporan Keuangan Interim dikeluarkan walaupun sedikit terlambat dibandingkan PSAK-PSAK lainnya yang berlaku 2011. Dengan adanya PSAK 3 yang baru maka laporan keuangan interim dengan laporan keuangan tahunan 2011 diharapkan menjadi lebih konsisten. PSAK 3 telah disahkan oleh DSAK-IAI pada tanggal 22 Oktober 2010 untuk berlaku 1 Januari 2011. Namun mengingat entitas sebenarnya baru membutuhkan PSAK 3 pada saat penyusunan laporan keuangan kuartal 1 tahun 2011 yakni pada Bulan Maret, dianggap waktu yang ada cukup memadai bagi entitas untuk memahami PSAK 3 ini. Apalagi exposure draft dari PSAK 3 ini sudah dipaparkan dalam public hearing tanggal 27 April 2010.

Apa yang berbeda dengan PSAK 3 Sebelumnya?

Definisi periode interim dalam PSAK 3 yang baru menjadi lebih “principle based” yakni Periode pelaporan keuangan yang lebih pendek daripada satu tahun buku penuh. Dengan difinisi ini makan PSAK 3 mencakup laporan keuangan bulanan, kuartalan maupun tengah tahunan. PSAK 3 juga Tidak mengatur entitas mana yang disyaratkan untuk menerbitkan laporan keuangan interim, seberapa sering, atau berapa lama setelah akhir suatu periode interim.

Mengikuti perubahan penyajian dalam PSAK 1 Penyajian Laporan Keuangan, maka laporan keuanagn interim juga menyajikan laporan laba rugi komprehensif. Entitas memiliki pilihan apakah akan menyajikan laporan keuangan secara lengkap atau secara ringkas. Apabila entitas menyajikan secara lengkap maka format laporan keuangan akan serupa dengan laporan keuangan tahunan. Sesuai dengan PSAK 1, entitas juga perlu mengungkapkan kepatuhan terhadap SAK yang berarti entitas mematuhi semua persyaratan di dalam SAK.


Kotraversi Laporan Keuangan Interim

Beberapa hal menjadi perhatian dan diskusi baik di antara penyusun laporan keuangan maupun di kalangan penyusun standar akuntansi. Pertanyaan pertama terkait dengan laporan keuangan komprehensif. Dalam PSAK 3 sebelumnya apabila perusahaan menyusun laporan keuangan interim untuk kuartal ke-3, maka laporan laba rugi disusun dari awal tahun sampai September. Namun dengan PSAK 3 yang baru, tambahan dari itu, perusahaan juga harus menyusun laporan keuangan komprehensif periode Juli-September. Sedangkan apabila entitas memang hanya diwajibkan membuat laporan keuangan enam bulanan, tentunya PSAK 3 hanya mewajibkan membuat laba rugi komprehensif dari Januari sampai Juni.

Praktik yang ada saat ini untuk perusahaan publik, Bapepam LK meminta laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan, namun tidak meminta laporan kuartalan. Sedangkan Bursa Efek Indonesia meminta laporan keuangan tahunan, laporan keuangan tengah tahunan, dan juga laporan keuangan kuartal 1 dan kuartal 3. Entitas kemudian menjadi bingung apakah laporan keuangan tengah tahunan yang diminta oleh Bursa Efek Indonesia berarti adalah laporan keuangan kuartal 2 atau laporan keuangan tengah tahunan? Apabila dianggap sebagai laporan keuangan kuartal 2 maka entitas juga harus melaporkan laba rugi periode April-Juni. Apakah dengan demikian entitas membuat dua laporan, yang ditujukan ke Bapepam LK dan satu lagi yang ditujukan kepada Bursa Efek Indonesia?

Apakah sebenarnya tujuan dari menyajikan dua jenis informasi laba rugi? Ketika memang laporan keuangan kuartalan tersedia bagi investor, selain informasi kinerja perusahaan sejak awal tahun, investor juga ingin mengetahui bagaimana kinerja perusahaan sejak laporan keuangan kuartal sebelumnya. Untuk negara yang empat musim, maka melihat siklus per kuartal dibanding dengan kuartal sebelumnya dapat menjadi signifikan dalam mengambil keputusan. Industri fashion dan retail misalnya memiliki siklus sesuai musim, oleh sebab itu “Spring Collection” atau “Summer Collection biasanya lebih dinanti pemerhati mode dibandingkan “Winter Collection”.

Namun apakah investor di Indonesia, sebagai negara tropis, membutuhkan kinerja per kuartalan? Atau memang investor di Indonesia lebih membutuhkan informasi sejak awal tahun sampai tanggal kuartalan untuk memprediksi profit di akhir tahun? Apakah investor di Indonesia membutuhkan informasi Juli-September untuk kuartal 3 atau sebenarnya lebih membutuhkan informasi Januari-September?

Berbeda dengan di Amerika misalnya dimana puncak belanja masyarakat umumnya adalah waktu thanksgiving dan natal yang terjadi di Bulan November dan Desember, di Indonesia umumnya kita sangat maklum bahwa bulan Ramadhan dan Lebaran adalah puncak konsumsi dan belanja masyarakat. Apakah relevan untuk mengambil keputusan berdasarkan kinerja laporan keuangan kuartalan tahun ini dan tahun sebelumnya, terutama bila lebaran sebenarnya terus bergeser 11 hari?

Interepretasi dari praktik saat ini di Indonesia beragam. Beberapa orang berpendapat untuk laporan keuangan kuartal 3 yang diminta Bursa Efek Indonesia bisa saja dianggap bukan laporan keuangan kuartalan bila judulnya adalah “Laporan Keuangan Januari-September”. Dengan demikian perusahaan tidak perlu menyajikan laporan laba rugi Juni-September. Pendapat kedua, apapun judul laporannya, bila laporan keuangan tengah tahunan tersedia untuk publik maka laporan keuangan September harus menyajikan juga kinerja Juni-September.

Peraturan Bapepam LK VS Bank Indonesia

Belum lagi beberapa pedoman akuntansi yang dibuat oleh regulator belum direvisi sesuai dengan PSAK 1 dan PSAK 3. Jadilah entitas tambah kebingungan. Perbankan misalnya mengeluh bahwa Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia untuk laporan keuangan interim 2011 belum meminta sesuai format PSAK 1. Apakah lalu untuk bank-bank yang publik mereka harus menyerahkan laporan keuangan yang berbeda untuk Bapepam LK dan untuk Bank Indonesia?

Hal ini dilakukan oleh Bank-Bank yang publik. BTPN dan BCA misalnya menerbitkan laporan keuangan dua versi, satu versi Bapepam LK dan satu lagi versi Bank Indonesia. Hal ini tentunya sangat membingungkan publik selain juga menjadi tidak efisien karena perbankan harus iklan di Koran nasional dua kali.


Walaupun terlambat akhirnya Bank Indonesia menerbitkan surat kepada seluruh bank tertatanggal 27 Juli yang diharapkan mampu menjadi jawaban. Bank Indonesia mewajibkan bank mempublikasikan pula laporan keuangan komprehensif. Untuk laporan posisi keuangan (Neraca) Bank juga diminta membuat periode perbandingan selama tiga periode yakni 30 Juni 2011, 31 Desember 2010 dan 30 Juni 2010. Hal ini sebagai langkah kompromi atas persyaratan PSAK 3 dimana laporan posisi keuangan dibandingkan dengan periode akhir tahun sebelumnya (31 Desember 2010) bukan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (31 Juni 2010).

Namun tak urung surat BI ini datang terlambat dan tidak bisa mencegah bank yang mungkin sudah mengirimkan file publikasinya ke koran-koran nasional. Sehingga koran nasional yang terbit setelah tanggal 27 Juli 2011 banyak memuat LKTT perbankan tanpa revisi yang diminta surat BI. Terbit pertanyaan berikutnya, bagaimana bank yang sudah terlanjur mempublikasikan LKTT? Apakah masih perlu menerbitkan LKTT revisian?


Perubahan Kebijakan Akuntansi diantara waktu Interim.

Kontroversi berikutnya adalah mengenai perubahan kebijakan akuntansi di antara waktu interim. Apabila perusahaan melakukan perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela (berarti perubahannya bersifat retrospektif), dalam PSAK 3 dikatakan maka perusahaan juga harus menyajikan kembali laporan keuangan interim sebelumnya yang diterbitkan pada periode tahun tersebut dan juga setiap tahun buku lalu yang akan disajikan kembali dalam laporan keuangan tahunan sesuai dengan PSAK 25, kecuali hal ini tidak praktis. Sebagai ilustrasi bila perusahaan membuat perubahan kebijakan sukarela pada bulan agustus 2011, apakah berarti ketika membuat laporan keuangan interim kuartal 3, perusahaan juga harus menyajikan kembali laporan interim kuartal 2 dan kuartal 1 tahun 2011 juga laporan interim kuartal 3,2 dan 1 tahun 2010?


Dampak PSAK 3 terhadap Sistem Informasi Perusahaan

Pun bila seandainya entitas memang diwajibkan membuat laporan keuangan sesuai dengan PSAK 3, hal ini tidak bisa dianggap dari sudut pandang kesiapan sistem informasi perusahaan. Untuk memotret kinerja keuangan antar waktu kuartal (misal Maret-Juni) bukan berarti perusahaan mengurangkan angka-angka bulan Juni dengan angka-angka bulan Maret. Sistem informasi perusahaan harus mampu untuk membuat cut off yang jelas per periode kuartalan untuk mampu menyusun laporan laba rugi kuartalan.

Di dalam PSAK 3 jelas dilarang untuk berusaha melakukan smoothing pendapatan maupun smoothing biaya. Pendapatan yang diterima secara musiman, berulang, atau berkala dalam suatu tahun buku tidak boleh diantisipasi oleh entitas atau ditangguhkan pada tanggal interim, jika antisipasi atau penangguhan tidak akan sesuai pada akhir tahun buku. Beberapa entitas yang secara rutin memang memiliki pendapatan di waktu siklus tertentu (semisal bulan Desember) maka diakui sesuai dengan terjadinya.Keputusan materialitas pengakuan dan pengungkapan didasarkan pada data keuangan interim, sehingga ketergantungan terhadap estimasi menjadi lebih besar dibandingkan laporan keuangan tahunan. Hal ini tentunya perlu ditunjang oleh sistem informasi yang memadai.



Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, bukan pendapat resmi Ikatan Akuntan Indonesia.

Friday, August 19, 2011

Kualitas Riset Akuntansi di Indonesia Meningkat Laporan dari Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh



Oleh Ersa Tri Wahyuni
Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia versi Agustus 2011

Kuantitas dan kualitas riset akuntansi yang dikirimkan oleh dosen-dosen dan periset Indonesia ke Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh (SNA XIV) meningkat. Demikian diungkapkan oleh Dr. Setiono Miharjo, ketua Dewan Seleksi SNA XIV kepada Akuntan Indonesia setelah pengumuman Best Paper Award pada penutupan SNA XIV 22 Juli lalu.

Simposium Nasional Akuntansi adalah symposium bergengsi yang telah bertahun-tahun menjadi tolok ukur kualitas riset akuntansi di Indonesia. “SNA kali ini menjaring 372 riset yang masuk. Jumlah ini meningkat drastis dari SNA 13 sebelumnya yang dilaksanakan di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto yang menarik 260 riset. Bahkan jumlah riset yang masuk kali ini paling tinggi dibandingkan SNA-SNA sebelumnya. Bukan hanya kuantitasnya meningkat tapi juga kualitasnya jauh lebih baik,” jelas Setiono lagi. Dari 372 riset yang terjaring, dewan seleksi memutuskan 83 riset berhasil memenuhi kriteria dan dipresentasikan di dalam kegiatan SNA ini. Kemudian dipilihlah 3 riset paper terbaik yang mendapatkan anugerah Best Paper Award (2) dan The Most Promising Paper (1). Tahun ini panitia memutuskan menambah kategori “The Most Promising Paper” sebagai penghargaan bagi riset yang paling menjanjikan untuk dipublikasikan dalam jurnal riset internasional. Lihat box 1 untuk rincian informasi riset terbaik.

SNA XIV kali ini diselenggarakan di Universitas Syiah Kuala, kota Banda Aceh dimulai dari 21 Juli 2011 sampai 23 Juli 2011 yang diakhiri dengan kunjungan wisata ke Pulau Sabang. Sebanyak 420 akuntan akademisi dari seluruh Indonesia berkumpul di tanah rencong dengan delegasi terbesar berasal dari Unievrsitas Udayana, Bali sebanyak 22 orang dan disusul dengan delegasi dari Unieversitas Lambung Mangkurat Banjarmasin sebanyak 17 orang. Kegiatan SNA kali ini mengambil tema Green Accounting: Peran Akuntan dalam Mewujudkan Bisnis yang Sustainable.

Acara Pembukaan

Acara pembukaan diawali dengan tarian Ranup Lam Puan yang dibawakan oleh tujuh mahasiswi fakultas ekonomi dengan baju tradisional aceh. Para penari membawa nampan berisi gulungan sirih yang kemudian ditawari kepada para tamu-tamu undangan. Sekapur sirih adalah persembahan tuan rumah kepada tamu yang lazim disuguhkan dalam tradisi melayu.

Dalam sambutan Ketua DPN IAI Prof. Mardiasmo, yang diwakili oleh anggota DPN Dr.Khomsyiah mengucapkan selamat atas pemilihan topic symposium yang sangat sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. “Dan apakah ada tempat lain yang lebih tepat untuk mengusung tema ini selain Aceh yang memang sudah terkenal dengan sumber daya alamnya yang kaya sekaligus bagian penting dari hutan dunia?” demikian kata Dr.Khomsyiah yang membacakan sambutan tertulis ketua DPN-IAI.

Terlebih tema SNA kali ini juga sejalan dengan konsep Pemerintah Aceh tentang “Aceh Green” yng dideklarasikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, bersama dengan Gubernur Papua dan Gubernur Amazon di Brazil pada 12 Desember 2007 untuk menyelamatkan paru-paru dunia yakni hutan-hutan di Aceh, Papua dan Brazil. Pemerintah Aceh juga dengan sangat berani memberlakukan moratorium penebangan kayu sejak Juni 2007 demi untuk menyelamatkan hutan sumatera yang 80% berada dalam wilayah Aceh.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar yang juga sedang mencalonkan diri menjadi Gubernur Aceh dalam Pilkada mendatang mengatakan bahwa pelestarian lingkungan sudah menjadi tradisi dalam tanah Aceh sejak jaman kerajaan berabad silam. “Pada masa kerajaan Aceh dulu, perusak lingkungan hukumannya adalah hukuman mati.” Ungkap Wakil Gubernur.

Acara pembukaan SNA XIV Aceh ditutup dengan pemberian Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan SAK-ETAP kepada perwakilan-perwakilan SMK di Propinsi Aceh. Penyerahan buku SAK ini adalah bentuk kepedulian IAI kepada perkembangan pendidikan akuntansi di Indonesia dan merupakan salah satu aktivitas CSR IAI.


Sesi Presentasi Riset-Riset Akuntansi

Setelah acara pembukaan, SNA menyuguhkan tiga sesi presentasi 83 riset akuntansi. Dalam setiap sesi terdapat sembilan kelas presentasi yang berlangsung secara paralel sesuai dengan bidang kajian. Secara golongan besar, riset-riset tersebut digolongkan menjadi riset kuantitatif atau riset kualitatif. Kemudian setiap golongan dibagi lagi menjadi beberapa bidang kajian seperti Akuntansi Manajemen dan Keperilakukan, Akuntansi Keuangan dan Pasar Modal, Akuntansi Syari’ah, Akuntansi Sektor Publik, Corporate Governance, Pendidikan Akuntansi, Perpajakan dan Sistem Informasi, Auditing dan Etika Profesi.

Banyaknya kelas paralel yang berlangsung tak urung membuat beberapa peserta kebingungan dalam memilih, “Aduh semuanya bagus-bagus, milih yang mana ya?” gumam salah satu peserta dari Bandung di depan beberapa kelas presentasi. Tak pelak riset paper yang menarik dan unik kebanjiran peserta sementara ada kelas paralel yang hanya berisi sekitar sepuluh peserta. Tujuan dari presentasi riset adalah untuk mendapatkan masukan dan perbaikan sebelum riset tersebut dipublikasikan ke jurnal penelitian baik nasional maupun internasional.

Beberapa pemakalah baru pertama kali ini menjadi pemakalah di dalam SNA. Tentunya ini adalah hal yang membanggakan. Sebut saja Syaiful Anas, Dosen Universitas Padjadjaran yang mempresentasikan papernya tentang experimen balance scorecard. “Senang bisa diterima risetnya di SNA dan bangga. Walaupun lelah karena baru terbang tadi pagi dari Jakarta dan presentasi sore ini juga, tapi tidak terasa.” Ujar Syaiful Anas yang menulis riset berdua dengan Mahfud Sholihin dari Universitas Gadjah Mada.

Kebangaan yang sama juga dirasakan oleh Ika Merdekawati mahasiswa S1 dari Bakrie University yang mempresentasikan papernya mengenai ketepatan pelaporan keuangan di pasar modal Indonesia. “Saya awalnya gugup karena satu panel dengan Doktor dari UI apalagi saya baru pertama kali ini presentasi riset di simposium. Ini hasil riset dari skripsi S1 saya. Tapi saya senang dan bangga bahwa riset saya berhasil menembus SNA “ ujar Ika yang menulis dan mempresentasikan risetnya dalam bahasa inggris.

Terselip diantara peserta yang rata-rata akademisi adalah dua orang dari perwakilan perusahaan. Dini dan Hera adalah staf akuntansi dari Garuda Maintenance Facility (GMF) yang hadir menjadi peserta SNA kali ini. “Kami mendapatkan undangan di kantor dan kami pikir bagus juga untuk tahu perkembangan riset akuntansi terbaru. Apalagi dalam masa konvergensi IFRS, perusahaan kami juga harus mengadopsi PSAK-PSAK terbaru.” demikian ungkap Dini yang awalnya cukup terkejut karena jarang perwakilan dari perusahaan yang mengikuti kegiatan SNA.


Banjarmasin, kota tujuan SNA Berikutnya

Pada hari terakhir SNA, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin menyampaikan niatnya untuk menjadi tuan rumah SNA berikutnya tahun 2012. Niat ini disambut baik oleh para peserta SNA. “Wah asyik ke Banjarmasin bisa sekalian beli oleh-oleh batu permata dan makan soto Banjar.” Bisik salah satu ibu-ibu dosen dari Jakarta. Sebagian peserta juga menanyakan akses penerbangan ke Banjarmasin.

SNA setiap tahun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya dan ini menjadi ajang reuni bagi para dosen akuntansi di Indonesia. Selain mendiskusikan riset-riset akuntansi, para peserta juga biasanya bersemangat untuk mencicipi kuliner setempat. Seperti SNA di aceh kali ini, peserta dimanjakan oleh ragam menu khas Aceh yang disuguhkan panitia dalam coffee breaks dan makan siang. Sebutlah kopi aceh yang tersohor dan kue timphan dari tepung ketan dan srikaya yang legit manis. Pada malam hari, para peserta secara berkelompok juga mencari kesempatan untuk menikmati duren sumatera yang terkenal reputasinya juga mie kepiting yang selalu menjadi buah bibir.

Setiap tuan rumah biasanya akan berusaha menjamu para peserta SNA dengan sebaik-baiknya. Para peserta SNA XIV dijamu makan malam oleh Walikota Banda Aceh pada malam pertama dan oleh Gubernur Aceh pada hari kedua. Selain menu-menu khas Aceh yang memanjakan lidah, peserta juga diajak menikmati tarian-tarian khas Aceh yang menerbitkan decak kagum. “Kalau saya harus menari tarian Aceh, mungkin saya harus minum paramex besoknya “ seloroh Muhammad Nasir, ketua IAI KAPd setelah melihat tari Rapa’i Geleng yang dibawakan dengan kompak oleh 15 pemuda Aceh. Tarian ini banyak melakukan gerakan menggelengkan kepala dengan cepat sesuai dengan irama rebana yang rancak.

Persahabatan yang dijalin selama SNA dan pengalaman mengunjungi kota-kota di Nusantara sekaligus menikmati stimulus intelektual, membuat para peserta SNA selalu rindu untuk kembali menghadiri SNA.

Sampai bertemu di Banjarmasin pada SNA XV tahun 2012 !

*** Best Paper Award SNA 14 Aceh****


Best Paper Award untuk Qualitative Research : Rekonstruksi Konsep Akuntabilitas Organisasi Gereja: (Studi Etnografi Kritis Inkulturatif pada Gereja Katolik di Tana Toraja) oleh Fransiskus Randa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Makassar

Best Paper Award untuk Quantitative Research: Accounting Fundamentals and Variations of Stock Price: Forward Looking Information Inducement oleh Sumiyana Gadjah Mada University

The Most Promising Research: Disaggregating the Control Devices of Family-Based Governance: the Case of Indonesia oleh Muhammad Agung Prabowo Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret

*******************************

Pertemuan Emerging Economies Group di Beijing: Negara Ekonomi Berkembang Menghadapi Kendala dalam Menerapkan Standar Nilai Wajar


Aucky Pratama & Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Agustus 2011


Pada bulan April 2009 G20 mendesak International Accounting Standards Board (IASB) selaku perumus standar akuntansi yang berlaku secara global (International Financial Accounting Standards – IFRS) untuk mengikut sertakan negara-negara ekonomi berkembang dalam proses perumusan standar akuntansi. Diharapkan suara dari negara-negara tersebut dapat terwakilkan dalam IFRS sebagai standar akuntansi yang akan diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia. IASB mengambil langkah konkrit dengan membentuk Emerging Economies Group (EEG), dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari negara-negara ekonomi berkembang terkait dengan proyek pengembangan IFRS.
Sebagai hasil diskusi awal yang dilakukan oleh Mr. Wayne Upton selaku IASB Director of International Activities dan perwakilan dari Kementrian Keuangan China, pengukuran nilai wajar ditetapkan sebagai topik awal diskusi EEG. Diharapkan EEG dapat memberikan masukan khususnya terkait aplikasi dan penerapan pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang, dan diharapkan dapat mencetuskan suatu panduan implementasi yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan. Isu ini terkait dengan salah satu proyek diskusi IASB yang saat ini sedang berjalan, yaitu IFRS 13 Fair Value Measurement.
Tujuan utama dari IFRS 13 adalah untuk memberikan penjelasan atas definisi nilai wajar (fair value) dan bagaimana ketentuan pengukurannya, dan juga pengungkapan yang diperlukan atas pengukuran tersebut. Latar belakang dari standar ini adalah adanya variasi pengukuran nilai wajar di IFRS yang saat ini berlaku, yang satu sama lainnya tidak konsisten. Ini juga merupakan proyek yang dicanangkan oleh IASB dalam rangka meningkatkan konvergensi antara IFRS dengan US GAAP. Setelah melalui proses perumusan yang panjang, disertai dengan diskusi-diskusi dan permintaan tanggapan IASB menerbitkan versi final dari IFRS 13 pada tanggal 12 Mei 2011.
Sebagai perumus standar akuntansi global IASB tentunya perlu untuk mempertimbangkan masukan-masukan dari negara-negara yang mengadopsi atau terkonvergensi dengan IFRS. Salah satu komponen yang selama ini dirasakan kurang dalam memberikan masukan adalah negara-negara ekonomi berkembang yang menerapkan IFRS sebagai standar akuntansinya. Secara umum karakteristik utama dari negara-negara “emerging economies” tersebut adalah:
1. Kontrol pasar yang relatif ketat;
2. Pasar yang berkembang dengan infrastruktur pasar yang masih belum memadai, dan varietas perdagangan yang terbatas;
3. Adanya pasar yang tidak aktif; dan
4. Peserta pasar yang relatif belum mutakhir
Sebagai bagian dari persiapan pertemuan EEG yang pertama yang akan diadakan di Beijing, China pada bulan Mei telah mempersiapkan sebuah draft laporan yang terkait dengan penerapan standar akuntansi pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang. Draft ini secara khusus mendiskusikan isu-isu yang umumnya dialami oleh negara-negara ekonomi berkembang dalam pengukuran nilai wajar, diantaranya:
1. Identifikasi transaksi yang tidak umum (not orderly)
2. Properti investasi yang diukur pada nilai wajar
3. Aset biolojik penghasil produk agrikultur (bearer biological asset)
4. Instrument ekuitas di pasar non-publik
5. Nilai wajar berdasarkan harga bid dan ask
6. Nilai wajar instrument ekuitas yang dibatasi penjualannya
7. Aplikasi kuotasi harga (quoted price) dari pihak ketiga
8. Aset tidak menghasilkan (non-performing assets) yang dikuasai perusahaan manajemen aset
9. Penyesuaian risiko kredit atas instrumen keuangan
10. Obligasi dengan opsi melekat
Isu-isu inilah yang dianggap paling umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang dalam draft EEG yang telah disiapkan. Umumnya negara-negara berkembang memiliki kendala dalam menerapkan IFRS 13 ini akibat dari karakteristik pasar Negara ekonomi berkembang yang belum matang. Diharapkan masukan-masukan dari negara-negara tersebut dapat dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing pada tanggal 26 Juli 2011 . Dan nantinya akan disampaikan kepada IASB sebagai bagian dari masukan yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan isu-isu yang terkait dengan IFRS 13 Fair Value Measurement.
Dalam diskusi IAI dengan Ir. Rengganis Kartomo, MSc., MAPPI (Cert.) dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) secara umum dapat disetujui bahwa memang isu-isu yang disampaikan dalam draft laporan EEG umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Ada beberapa perbedaan antara rekomendasi yang disampaikan dalam draft laporan EEG mengenai nilai wajar dengan praktik yang umum terjadi di Indonesia, diantaranya mengenai pengukuran nilai wajar aset biolojik penghasil dan instrument ekuitas yang di perdagangkan di pasar non-publik. Menurut Rengganis, perbedaan-perbedaan ini secara umum tidak terlalu signifikan dan hanya disebabkan oleh kondisi dan infrastruktur perekonomian di Indonesian yang berbeda dengan beberapa negara yang juga ikut serta dalam EEG. Selain isu-isu yang telah diangkat dalam draft, Rengganis dalam diskusinya dengan IAI juga menyetujui bahwa konsep nilai wajar dalam konteks aset takberwujud perlu untuk dimasukkan sebagai isu yang perlu dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut berpartisipasi dalam EEG perlu untuk ikut serta dalam memberikan masukan dan tanggapan yang nantinya akan disampaikan ke IASB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI dan Rengganis Kartomo sebagai Ketua Dewan Standar Penilai Indonesia dari MAPPI. EEG Working groups bukan hanya membicarakan mengenai fair value, namun juga issue-issue lainnya akan didiskusikan dalam pertemuan yang secara rutin akan dilakukan secara berkala. Rosita Uli Sinaga sebagai Ketua DSAK-IAI menjadi anggota tetap EEG Working Group yang akan rutin menghadiri pertemuan secara berkala. Sementara setiap anggota delegasi diijinkan membawa satu orang ahli yang menguasai topik bahasan yang akan dibahas. Pada pertemuan Juli di Beijing, topik yang akan dibahas adalah kendala dalam menerapkan Fair Value sehingga Rengganis menjadi mitra yang cocok dalam mendamping Rosita di dalam kegiatan tersebut.

Menurut Rosita keaktifan Indonesia di dalam forum-forum Internasional seperti ini tak lepas dari peran strategis Indonesia di dalam perekonomian dunia. Ini juga menunjukkan peran nyata Indonesia dan khususnya Ikatan Akuntan Indonesia dalam perkembangan IFRS sebagai standar akuntansi global.

Sunday, July 10, 2011

Konvergensi IFRS: Sebuah Tantangan yang Mengancam Kelangsungan Industri Real Estat di Indonesia?

Oleh

Aucky Pratama
Ersa Tri Wahyuni
Divisi Teknis – Ikatan Akuntan Indonesia
(tulisan adalah opini penulis bukan pandangan resmi Ikatan Akuntan Indonesia)

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Juli 2011


Pernahkah anda melihat pembangunan apartemen yang berhenti di tengah jalan? Pernahkah anda mendengar kisah pilu konsumen yang sudah terlanjur membayar uang muka dan terpaksa gigit jari karena merasa ditipu oleh pengembang yang tidak dapat menyerahkan properti idaman yang telah dijanjikan? Perlindungan konsumen dalam suatu transaksi properti atau real estat di Indonesia masih relatif lemah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Sudah menjadi suatu praktik yang umum di Indonesia bagi pengembang untuk menjual properti hanya bermodalkan gambar belaka (sell-then-build), walaupun saat ini sudah ada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mewajibkan pengembang untuk menyerahkan segala hal yang telah dijanjikan dalam brosur pemasaran.

Dari gambaran di atas, dapat dilihat bagaimana lemahnya posisi konsumen dalam perjanjian jual beli real estat di Indonesia. Bagaimana posisi PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat sebagai standar akuntansi yang terkait erat dengan isu ini? Bagaimana pula dengan wacana penerapan IFRIC 15 Agreements for the Construction of Real Estate di Indonesia, terutama kaitannya dengan praktik bisnis yang selama ini terjadi di industri real estat kita.

IFRIC 15, STANDAR AKUNTANSI GLOBAL BERCITA RASA INTERNASIONAL

Tahun 2011 menjadi tahun yang sangat penting bagi perkembangan proses konvergensi IFRS di Indonesia. Dalam waktu kurang dari enam bulan seluruh persiapan kita dalam menyongsong perubahan ini diharapkan akan selesai. Ini akan menjadi suatu pembuktian bagi Indonesia dalam keikutsertaan kita di forum dunia. DIharapkan pada 1 Januari 2012 nanti kita sudah bisa menyatakan keberhasilan kita untuk konvergen dengan IFRS sebagai standar akuntansi global.

Sebagai bagian dari proses konvergensi ini, IFRIC 15 merupakan salah satu Interpretasi yang akan kita adopsi. ED ISAK 21: Perjanjian Konstruksi Real Estat telah diterbitkan dan di public hearing kan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Interpretasi ini bertujuan untuk memberikan panduan terkait dengan pengakuan pendapatan dalam aktivitas konstruksi real estat. Latar belakang utama dari lahirnya Interpretasi ini adalah adanya perbedaan perlakuan terkait pengakuan pendapatan (dan beban) dari aktivitas konstruksi/penjualan (pengembangan) real estat. Interpretasi ini merupakan gambaran sempurna dari peran IFRS sebagai suatu standar akuntansi global yang menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada.

IFRIC 15 adalah salah satu dari beberapa produk IFRS yang penerapannya banyak mendapat resistensi dari pelaku di industri real estat. Biang keladi dari pertentangan ini adalah konsep pengalihan kendali serta risiko signifikan dan manfaat kepemilikan dalam pengakuan pendapatan, yang terhitung tidak mudah untuk diterapkan dalam praktik industri yang saat ini berjalan. Konsep ini menginginkan adanya pengalihan dari pengembang ke konsumen sebelum pendapatan dapat diakui. Jika hal ini tidak terjadi, maka secara esensi pendapatan belum dapat diakui oleh pengembang.

Sebagai ilustrasi, bayangkan posisi anda sebagai konsumen dalam transaksi jual beli properti. Setiap cicilan yang anda bayarkan seharusnya merupakan gambaran dari bagian properti yang telah menjadi milik anda. Dengan kata lain, saat anda membayar agunan apartemen anda yang berada di lantai 20 padahal konstruksi baru berjalan sampai di lantai 10 anda telah memegang segala risiko dan manfaat kepemilikan dari apartemen anda tersebut. Secara akuntansi, ini lah yang seharusnya terjadi jika pengembang ingin mengakui pendapatan setiap anda membayarkan cicilan anda. Apakah hal ini mungkin untuk diterapkan dalam praktik industri real estat kita di Indonesia?

Wajar apabila Interpretasi ini menjadi momok bagi industri real estat kita yang telah terbiasa dengan standar akuntansi yang mendukung praktik yang berjalan. Bayangkan bagaimana kalang kabutnya perusahaan property apabila pendapatannya sekarang hanya dapat diakui nanti pada saat konsumen telah mendapatkan properti yang telah dibelinya. Bagi perusahaan real estat yang jangka waktu proyeknya antara tiga sampai empat tahun ini dapat berujunglaporan keuangan merugi di tahun-tahun awal dan tiba tiba profit besar di tahun akhir. Hal ini bisa menyulitkan perusahaan real estat yang berusaha mendapatkan modal kerja ke perbankan. Para investor yang kurang paham juga dapat memangkas nilai saham perusahaan real estat ketika melihat perusahaan membukukan rugi. ,. Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) melalui komunikasinya dengan IAI pun telah mengangkat hal ini dalam tanggapannya. Agar perusahaan real estat dapat secara riil membukukan pendapatan dari cicilan pelanggan maka harus ada transfer risiko dan imbalan secara berkesinambungan kepada pelanggan (continous transfer of risk and reward)

Dibalik seluruh carut marut yang terjadi, perlu dipertimbangkan bahwa esensi yang ingin dicapai oleh Interpretasi ini sejalan dengan semangat konvergensi IFRS. Secara obyektif pun perlu kita lihat kalau Interpretasi ini sesungguhnya mendukung penyajian informasi laporan keuangan yang lebih akurat dan menggambarkan keadaan yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pendapatan yang diakui oleh pengembang saat konsumen membayarkan kewajibannya sesungguhnya tidak mencerminkan risiko signifikan atas bagian dari unit dalam pengembangan yang masih berada di tangan pengembang. Apabila memang risk and reward belum berpindah ke tangan pelanggan, apakah wajar bila Pengembang membukukan laba?

PENERAPAN DI NEGARA TETANGGA

Untuk memperluas wawasan kita mungkin perlu untuk melihat bagaimana negara tetangga kita, terutama Singapura dan Malaysia, dalam menyikapi Interpretasi ini. Terlebih lagi, mereka telah terlebih dahulu mengambil sikap dalam penerapan Interpretasi ini.

Dalam even seminar IAI yang diadakan di Bali sebagai rangkaian dari acara 5th IFRS Regional Policy Forum pada bulan Mei 2011 lalu perwakilan dari kedua negara tetangga kita memberikan gambaran mengenai hal ini. Singapura diwakili oleh Ms. Goh Suat Cheng (Technical Head, ASC Singapore) sementara Ms. Tan Bee Leng mewakili Malaysia. Keduanya sepakat bahwa Intrepretasi ini patut untuk diadopsi, guna memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya dari suatu transaksi real estat. Intrepretasi ini telah berlaku efektif 1 Januari 2011 lalu di SIngapura, dan akan berlaku efektif pada 1 Januari 2012 di Malaysia.

Dari penjelasan keduanya dapat dilihat kalau Singapura dan Malaysia sebagai suatu negara lebih siap dalam menerapkan Interpretasi ini, terutama dari segi infrastruktur legal sehingga persyaratan dalam IFRIC 15 dalam terpenuhi. Singapura juga misalnya memiliki semacam mekanisme penjaminan dibawah suatu lembaga independen yang akan memastikan bahwa perusahaan real estat hanya bisa menarik uang cicilan pelanggan sesuai dengan persentase penyelesaian proyek.

Jelas bahwa dengan adanya infrastuktur pendukung tersebut posisi konsumen menjadi lebih kuat dan terlindungi. Apakah kita memiliki infrastuktur yang memiliki karakteristik seperti ini? Jika tidak, apakah mungkin bagi Indonesia untuk membuat infrastuktur seperti ini? Apakah mungkin bagi suatu standar akuntansi untuk dapat menjadi katalis perubahan dalam praktik industri real estat yang berjalan di Indonesia?
Keputusan kedua negara tetangga ini menggambarkan komitmen mereka atas konvergensi dan adopsi IFRS yang telah dicanangkan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Keberatan dan pertentangan adalah bagian dari penerapan suatu standar global yang tidak dengan secara spesifik mempertimbangkan keunikan dan perbedaan yang ada di setiap yurisdiksi. Akan menjadi suatu kerugian kalau Indonesia tidak dapat menyatakan keberhasilannya dalam mempertahankan komitmen ini.

LANGKAH KE DEPAN

Mereka yang mendukung adopsi IFRIC 15 berpendapat bahwa interpretasi ini diharapkan dapat memperbaiki lingkungan bisnis real estat di Indonesia dan lebih melindungi konsumen. Penerapan IFRIC 15 juga akan membuat laporan keuangan lebih transparan dan relevan. Mereka yang keberatan dengan adopsi standar ini berpendapat bahwa industri real estat adalah industri strategis yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Apakah penerapan IFRIC 15 akan membuat industri ini menjadi tidak menarik bagi para investor?

DSAK-IAI dalam rapat pleno 18 Mei 2011 telah mensahkah ISAK 21 yang merupakan adopsi dari IFRIC 15 dan berlaku efektif 2013. Semoga waktu yang cukup panjang akan mampu membuat industri real estat Indonesia berbenah dan mempersiapkan diri.

Farewell David Tweedie: Ksatria IFRS Dari Skotlandia Mengakhiri Masa Tugasnya




Oleh: Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Juli 2011

Sir David Tweedie, ketua International Accounting Standard Board (IASB) akan mengakhiri masa tugasnya selama 20 tahun di lembaga itu pada akhir Juni 2011. IASB telah menunjuk ketua baru, Hans Hoogervorst yang akan mulai bekerja tanggal 1 juli 2011.

IFRS Regional policy Forum yang dilaksanakan di Bali 23-24 Mei 2011 adalah perjalanan terakhir ke Asia oleh Sir David Tweedie. Dua anggota IASB lainnya Warren McGregor dan Tatsumi Yamada yang juga menghadiri IFRS Regional Policy Forum juga akan mengakhiri masa tugasanya di IASB akhir juni ini.

Sir David Tweedie mulai aktif dalam pengembangan standar akuntansi internasional sejak tahun 1990 sebagai ketua IASC (pendahulu IASB) dan ketua pertama yang bekerja secara full time untuk menyusunan standar akuntansi internasional. Ketika IASC berubah menjadi IASB pada tahun 2000, Sir David Tweedie kembali diangkat menjadi ketuanya dan terus menjabat sampai tahun 2011 ini. Hal ini berarti selama 20 tahun Sir David telah mendedikasikan dirinya untuk satu tujuan yakni menciptakan satu set standar akuntansi yang berlaku global.

Menamatkan Bachelor of Commerce dari Universitas Edinburg dan juga PhD dari Universitas yang sama pada tahun 1969, Sir David Tweedie juga merupakan Scottish Chartered Accountant. Pergulatan David Tweedie di dunia standard setters dan asosiasi profesi akuntan dimulai jauh sebelum itu. Sejak tahun 1978, David menjadi direktur teknis Institute of Chartered Accountants of Scotland. Pada tahun 1982 beliau menjadi partner teknikal dari Kantor Akuntan Thomson McLintock& Co yang kemudian melakukan merjer pada tahun 1987 menjadi KPMG Peat Marwick McLintock.

Pada tahun 1984, David Tweedie dianugerahkan gelar “Ksatria” oleh kerajaan Inggris atas dedikasinya terhadap dunia profesi akuntan dan berhak menyandang gelar “Sir” di depan namanya. Pendekar IFRS dari Skotlandia ini sangat humoris. Dalam setiap pidatonya di depan forum-forum penyusun standar, dengan logat skotlandia yang masih kental, beliau selalu menyelipkan humor-humor yang kerap mengundang tawa.

Ikatan Akuntan Indonesia tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat perjalanan terakhir Ksatria Skotlandia ini menjadi perjalanan yang paling berkesan dalam karirnya. Pada gala dinner acara IFRS Regional policy Forum, ditemani dengan semilir angin pantai Kuta, IAI menganugerahkan patung ukir Garuda Wisnu Kencana kepada Sir David Tweedie. Patung Bali yang diukir sangat rumit dengan tingkat kesulitan tinggi ini diserahkan oleh Rosita Uli Sinaga, Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Dengan sumringah Sir David Tweedie menerima patung tersebut dan mengaku merasa terharu dengan perhatian yang diberikan oleh IAI.

Selain penyerahan cindera mata, gala dinner berlangsung meriah dengan para penari yang menyajikan tari-tarian Bali dan juga tarian nusantara lainnya. Gala dinner yang dijamu oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dilangsungkan di bibir pantai kuta yang malam itu cerah menampilkan bintang-bintangnya yang mempesona. Semilir debur ombak menambah kenikmatan makan malam dengan menu khas Indonesia. Para peserta IFRS Regional policy Forum yang berasal dari 21 negara memuji suasana kebudayaan Indonesia yang sangat berkesan malam itu.


Sekilas Mengenai Ketua IASB yang Baru

Ketua IASB yang akan bertugas dari 1 Juli 2011 berasal dari negeri kincir angin, Belanda. Hans Hoogervorst sebelumnya menjabat sebagai ketua Netherland Authority for the Financial Markets dan juga ketua dari IOSCO Technical Committee.

Sejak tahun 1998-2007 beliau beberapa kali menjabat sebagai pejabat publik dalam pemerintahan negeri Belanda seperti Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Kesejahteraan dan Olah Raga, dan Menteri Sosial. Hoogervorst juga berpengalaman di dunia bisnis terutama perbankan dimana ia bekerja selama tiga tahun di National Bank of Washington di Amerika Serikat.

Hoogervorst memiliki dua gelar master yakni Master Degree in Modern History dari University of Amsterdam dan juga Master of Art jurusan hubungan internasional dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat.

Tuesday, May 24, 2011

Vice President Boediono Calling Regulators to Support IFRS Convergence in Indonesia

Bali, 23 May 2011

“The convergence of Indonesian Accounting Standard with International accounting standard is not an easy pathway. IFRS Convergence is not just an accounting issue, but the main purpose of the IFRS convergence is to improve the quality and transparency of financial statements of companies in Indonesia.” Stated Boediono in his keynote speech on 5th IFRS Regional Policy Forum.
“I am glad that the IFRS convergence is also supported by other regulators such as Bapepam-LK, Bank Indonesia, and Ministry of State Owned Enterprises which require companies under their supervision to use IFRS-based GAAP. Hopefully, this support can also be followed by other regulators, so that business people in Indonesia can enjoy the synergies of these regulators.” added Boediono again to call other Indonesian regulators to support the initiative of the Indonesian Institute of Accountants in completing the IFRS convergence.
Vice President Boediono officially opened the 5th IFRS Regional Policy Forum today in Kuta Bali, a strategic event where 300 people from 21 countries will gather for two days in discussing the challenges and opportunities of IFRS Adoption in Asia-Oceania Region.

Also attended the event are Indonesian Vice Finance Minister, Dr. Any Ratnawati, Bali Governor, I Made Mangku Pastika, and Government Officials from Ministry of Finance, Bank Indonesia, Supreme Audit, and the chairman of the International Accounting Standard Board.

Indonesian Institute of Accountants (IAI) has the honor to host of The 5th IFRS Regional Policy Forum 2011 held in Bali, Indonesia, from 23 to 24 May 2011. IFRS Convergence is a global phenomenon where more countries in the world adopt the international financial reporting standards. Indonesia, as one of G20 member countries are also subject to the agreement of G20 countries to comply with IFRS. Indonesian Financial Accounting Standards Board of Indonesian Institute of Accountants (DSAK-IAI) has started this convergence process since 2009 and was determined to finish it in 2012. However, successful implementation of IFRS in a country need a strong support from capital markets regulators, tax authorities and other regulators. Therefore, it is important to discuss how are the strategies and the impact of IFRS convergence for the adopting countries

"This event is very important and strategic for Indonesia because we could explain the world how the development of IFRS convergence in Indonesia. This event was organized by the IAI, but we receive great support from the Government of Indonesia. It will also convey the message to the world that our government strongly supports the ongoing convergence of IFRS." Said Prof. Mardiasmo, Chairman of National Board of Indonesian Institute of Accountants (IAI), which also will give a speech at this event.
"IFRS Regional Policy Forum is the only international event which will be attended not only by the standards setters but also by the regulators and government officials from 21 countries." Ito Warsito as the Chairman of Steering Organizing Committee of this event adds.
This event is an annual event in the Asia-Oceania for the accounting standards setters, policy makers, regulators and governments to jointly discuss wide issues about the role of each stakeholders in financial reporting and how financial reporting have an impact on policy making and IFRS implementation. The 5th IFRS Regional Policy Forum received an overwhelming response from participants throughout the Asia-Oceania and will be attended by more than 300 participants from 21 countries which is representative of the constituent body of accounting standards, the central bank, money market regulator, the regulator of taxation, government and stock exchanges. 21 countries will attend on this Forum are Australia, New Zealand, Malaysia, Japan, China, Hong Kong, Singapore, Korea, Pakistan, Cambodia, India, Indonesia, Philippines, Britain, America, Iraq, Macau, Myanmar, Brunei Darussalam, Thailand and Maldives.
"This international event will be presenting 33 speakers and moderators from 16 countries. This is an international event that is very rare in Indonesia. Of course, we feel very honored to host such an important event. Chairman and member of the International Accounting Standards Board (IASB) also will be present at this event so that Indonesian concerns can be heard by them and also by the international forums. Hopefully our voice may affect the development of IFRS." Rosita Uli Sinaga, Chairman DSAK-IAI which has been actively represented Indonesia in international forums for the standard setters.
IFRS Regional Policy Forum in Indonesia is a the fifth event, previously IFRS Regional Policy Forum were held in several countries, Australia in 2005, 2007 in Japan, 2009 in China, Singapore was the host in 2010. IFRS Regional Policy Forum current theme is "Towards One Global Standards: The Challenges and Opportunities of IFRS Adoption in the Asia-Oceania Region"
Some interesting topics to be discussed include how is role of local accounting standards board in jurisdiction adopting IFRS. Will the IFRS Adoption reduce the role of accounting standard compiler in each State or even enhance their role as partners IASB? Indonesia, Japan, India, Korea and also IASB Chairman, Sir David Tweedie, will be the panelists in this session. Other sessions are no less interesting discussing the role of capital market regulators to the success of IFRS convergence. Representatives of the capital market regulator from India, Indonesia, Malaysia and Japan will be the panelists to discuss this matter.
At the end of this event will be made a communiqué that strengthen the commitment of IFRS convergence in 21 countries of Asia-Oceania region.
This two-day event will be followed also by a seminar on 25-26 May which presents speakers from Indonesia and abroad.

Kini Saatnya Asia Berperan Besar dalam Penyusunan Standar Akuntansi Dunia

Bali, 24 Mei 2011


“Di masa lalu Eropa dan Amerika lebih berpengaruh dalam penyusunan IFRS, tapi saat ini dan yang mendatang, Asia akan lebih berpengaruh. IASB akan lebih mendengarkan masukan-masukan dan issue dari Asia dalam penyusunan standar akuntansi internasional” demikian ujar Ketua Standar Akuntansi Internasional (IASB), Sir David Tweedie dalam forum akuntansi dunia, IFRS Regional Policy Forum yang berlangsung di Bali 23-24 Mei 2011.
Ikatan Akuntan Indonesia mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum akuntansi internasional ini yang diselenggarakan untuk kelima kalinya. Acara ini dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Boediono pada tanggal 23 Mei 2011 dan dihadiri 300 peserta dari 21 negara. Peserta kegiatan ini datang dari Australia, New Zealand, Malaysia, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Korea, Pakistan, Kamboja, India, Indonesia, Filipina, Inggris, Amerika, Irak, Makau, Myanmar, Brunei Darussalam, Thailand dan Maldives.
Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan dalam wilayah Asia-Oceania bagi penyusun standar akuntansi keuangan, pembuat kebijakan, regulator dan pemerintah untuk bersama-sama berdiskusi mengenai isu-isu yang lebih luas tentang peran masing-masing pihak dalam pelaporan keuangan dan bagaimana pelaporan keuangan mempunyai dampak terhadap pembuatan kebijakan dan implementasinya.
Konvergensi IFRS dilaksanakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sejak tahun 2008 dengan target tahun 2012. “Pada 1 Januari 2012 standar akuntansi Indonesia akan kurang lebih sama dengan IFRS. Sampai bulan Mei 2011, hanya ada 2 standar IFRS dari total 37 standar IFRS yang belum disahkan oleh DSAK-IAI untuk diadopsi. Kita akan mengusahakan menyelesaikannya pada semester kedua tahun 2011. Kita optimis bahwa target konvergensi IFRS 2012 akan tercapai.” tegas Rosita.
“Konvergensi IFRS di Indonesia didukung penuh oleh Pemerintah, khususnya Kementrian BUMN. Untuk semua BUMN baik besar maupun kecil harus menggunakan PSAK yang berbasis IFRS. Ini sangat penting apabila nantinya BUMN berniat untuk mencari investor asing, karena investor asing biasanya melihat dulu apakah perusahaan menggunakan IFRS sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Telkom secara sukarela telah menerapkan IFRS lebih dini, namun ini tentunya membutuhkan persiapan yang matang bagi BUMN lainnya yang akan mengadopsi IFRS.” demikian ujar Gatot Trihargo, Asdep Industri Strategis dan Manufaktur 2 dari Kementerian BUMN yang menjadi salah satu panelis bersama dengan Australia dan Singapura.
Terkait dengan isu perpajakan, Syarifudin Alsyah, Direktur Peraturan Perpajakan, Ditjen Pajak Kemenkeu, menegaskan bahwa Direktorat Jendral Pajak memahami proses konvergensi IFRS yang sedang berlangsung di Indonesia dan juga sudah memetakan perbedaan peraturan pajak dengan PSAK berbasis IFRS. “Namun sayangnya selama UU Perpajakan belum diubah, sedikit sulit untuk mengakomodir perubahan PSAK, kecuali tidak diatur dalam UU Perpajakan maka kita mengusahakan agar peraturan perpajakan dapat disesuaikan dengan perubahan PSAK” tambahnya dalam salah satu sesi panel.
Dr. Etty Retno Wuldandari, Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Bapepam LK juga menegaskan bahwa Bapepam LK sangat mendukung proses adopsi IFRS ke dalam PSAK dan BAPEPAM LK juga secara terus menerus melakukan koordinasi dan sosialisasi IFRS kepada para emiten. Dukungan terhadap IFRS juga disuarakan oleh regulator Negara lain seperti Jepang, Malaysia dan India yang menjadi panelis bersama Etty Retno Wulandari. Walaupun setiap Negara memiliki tantangan-tantangan dalam melakukan konvergensi IFRS, namun semua peserta forum memahami pentingnya satu standar akuntansi internasional untuk menjawab tantangan perekonomian dan bisnis yang semakin global.
Konvergensi IFRS juga banyak memberikan tantangan dan peluang bagi profesi akuntan dan profesi auditor di seluruh dunia. Hal ini ditegaskan oleh perwakilan profesi akuntan dari Singapura, India, Filipina, Hong Kong. “Konvergensi IFRS dan adopsi standar auditing internasional akan membuat para akuntan dan auditor dapat bergerak secara lebih global karena bahasa yang digunakan sudah sama di seluruh dunia.” Ujar Jim Sylph, Direktur Eksekutif Federasi Akuntan Internasional (IFAC) yang juga menjadi salah satu panelis.
Dalam forum ini juga ditegaskan bahwa peran dari penyusun standar akuntansi lokal seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) akan semakin penting dalam menyuarakan isu-isu lokal di forum internasional dan menjadi mitra dalam penyusunan standar akuntansi internasional. “DSAK-IAI akan terus berperan aktif di forum-forum regional agar suara Indonesia dapat didengar oleh Negara tetangga dengan isu yang sama sehingga kepentingan yang kita suarakan ke IASB bukan hanya kepentingan Indonesia namun menjadi kepentingan regional. Selama ini kita telah menjalin hubungan baik dengan Malaysia, Singapore dan Australia dalam menyuarakan isu-isu lokal yang serupa.” ungkap Rosita Uli Sinaga, ketua DSAK-IAI. Rosita juga menambahkan bahwa konvergensi IFRS akan meningkatkan transparansi laporan keuangan di Indonesia dan menjadi salah satu media untuk mengurangi kecurangan laporan keuangan di Indonesia.
“Ikatan Akuntan Indonesia akan terus menjadi ujung tombak dalam proses konvergensi IFRS. Tahun 2012 sebagai tahun target tahun konvergensi IFRS di Indonesia sehingga kegiatan internasional ini sangat tepat untuk dilaksanakan di Indonesia.” Ujar Prof. Dr. Mardiasmo, Ketua IAI.

Sunday, May 22, 2011

“21 Countries Gather In Bali Discussing Strategies and Impact of International Accounting Standards (IFRS) Convergence”


IFRS Convergence is a global phenomenon where more countries in the world adopt the international financial reporting standards. Indonesia, as one of G20 member countries are also subject to the agreement of G20 countries to comply with IFRS. Indonesian Financial Accounting Standards Board of Indonesian Institute of Accountants (DSAK-IAI) has started this convergence process since 2009 and was determined to finish it in 2012. However, successful implementation of IFRS in a country need a strong support from capital markets regulators, tax authorities and other regulators. Therefore, it is important to discuss how are the strategies and the impact of IFRS convergence for the adopting countries
Indonesian Institute of Accountants (IAI) has the honor to host of The 5th IFRS Regional Policy Forum 2011 held in Bali, Indonesia, from 23 to 24 May 2011. This event will be opened by the Vice President of the Republic of Indonesia, Prof. Dr. Boediono and attended by 300 participants from 21 countries.
"This event is very important and strategic for Indonesia because we could explain the world how the development of IFRS convergence in Indonesia. This event was organized by the IAI, but we receive great support from the Government of Indonesia. It will also convey the message to the world that our government strongly supports the ongoing convergence of IFRS." Said Prof. Mardiasmo, Chairman of National Board of Indonesian Institute of Accountants (IAI), which also will give a speech at this event.
"IFRS Regional Policy Forum is the only international event which will be attended not only by the standards setters but also by the regulators and government officials from 21 countries." Ito Warsito as the Chairman of Steering Organizing Committee of this event adds.
This event is an annual event in the Asia-Oceania for the accounting standards setters, policy makers, regulators and governments to jointly discuss wide issues about the role of each stakeholders in financial reporting and how financial reporting have an impact on policy making and IFRS implementation. The 5th IFRS Regional Policy Forum received an overwhelming response from participants throughout the Asia-Oceania and will be attended by more than 300 participants from 21 countries which is representative of the constituent body of accounting standards, the central bank, money market regulator, the regulator of taxation, government and stock exchanges. 21 countries will attend on this Forum are Australia, New Zealand, Malaysia, Japan, China, Hong Kong, Singapore, Korea, Pakistan, Cambodia, India, Indonesia, Philippines, Britain, America, Iraq, Macau, Myanmar, Brunei Darussalam, Thailand and Maldives.
"This international event will be presenting 33 speakers and moderators from 16 countries. This is an international event that is very rare in Indonesia. Of course, we feel very honored to host such an important event. Chairman and member of the International Accounting Standards Board (IASB) also will be present at this event so that Indonesian concerns can be heard by them and also by the international forums. Hopefully our voice may affect the development of IFRS." Rosita Uli Sinaga, Chairman DSAK-IAI which has been actively represented Indonesia in international forums for the standard setters.
IFRS Regional Policy Forum in Indonesia is a the fifth event, previously IFRS Regional Policy Forum were held in several countries, Australia in 2005, 2007 in Japan, 2009 in China, Singapore was the host in 2010. IFRS Regional Policy Forum current theme is "Towards One Global Standards: The Challenges and Opportunities of IFRS Adoption in the Asia-Oceania Region"
Some interesting topics to be discussed include how is role of local accounting standards board in jurisdiction adopting IFRS. Will the IFRS Adoption reduce the role of accounting standard compiler in each State or even enhance their role as partners IASB? Indonesia, Japan, India, Korea and also IASB Chairman, Sir David Tweedie, will be the panelists in this session. Other sessions are no less interesting discussing the role of capital market regulators to the success of IFRS convergence. Representatives of the capital market regulator from India, Indonesia, Malaysia and Japan will be the panelists to discuss this matter.
At the end of this event will be made a communiqué that strengthen the commitment of IFRS convergence in 21 countries of Asia-Oceania region.

This two-day event will be followed also by a seminar on 25-26 May which presents speakers from Indonesia and abroad.

Friday, April 22, 2011

Setelah Perbankan, Giliran Perusahan Pertambangan terkenda dampak konvergensi IFRS.

Tulisan ini dimuat dalam Majalah Akuntan Indonesia versi April 2011


Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK-IAI) kembali melakukan pemaparan public (public hearing) exposure draft standar akuntansi baru yang mengadopsi standar akuntansi internasional (IFRS). Kegiatan Public Hearing dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Maret dan dihadiri oleh kurang lebih 150 peserta yang terutama datang dari industri pertambangan. Tujuan dari public hearing ini adalah untuk meminta masukan dari masyarakat terhadap standar akuntansi baru yang akan diluncurkan dan kemungkinan besar akan berlaku di Indonesia pada tahun 2012.

Rangkaian PSAK baru yang diluncurkan pada hari tak lepas dari rangkaian konvergensi IFRS yang ditargetkan untuk selesai pada tahun 2012. Dua standar baru yang mengatur industri pertambangan dan tiga interpretasi terkait dengan sewa diluncurkan exposure draftnya pada hari ini. Juga terdapat pencabutan PSAK 39: Akuntansi Kerjasama Operasi.

Perhatian peserta public hearing terfokus pada dua PSAK baru yang mengatur industri pertambangan. Pada saat ini standar akuntansi yang berlaku untuk industry ini adalah PSAK 29: Akuntansi Minyak dan Gas Bumi dan juga PSAK 33: Akuntansi Pertambangan Umum. Dengan terbitnya PSAK baru, DSAK-IAI berencana untuk menerbitkan PSAK baru yang mengadopsi IFRS 6 yakni PSAK 64: Eksplorasi dan Evaluasi Sumber Daya Mineral. ED PSAK 64 juga otomatis mencabut PSAK 29. Sedangkan PSAK 33 direvisi secara signifikan di dalam ED PSAK 33 Revisi 2010. Untuk menghindari duplikasi maka hal-hal yang sudah diatur dalam PSAK 64 dikeluarkan dari PSAK 33.

Dalam public hearing, beberapa peserta aktif mengajukan pertanyaan terkait dengan PSAK-PSAK yang dibahas. Desy dari PT. Antam Tbk menyinggung tentang update perkembangan 18/2008 mengenai reklamasi yaitu apakah penyetoran jaminan akan berdampak pada penghitungan kewajiban. Merliyana Syamsul, salah satu anggota DSAK kemudian menanggapi bahwa kewajiban nanti didanakan sesuai dengan persyaratan PSAK lain yang berlaku.

Dudi Kurniawan, salah satu praktisi akuntan publik bertanya mengenai pilihan kebijakan akuntansi. Beliau menangkap bahwa PSAK tidak lagi memperkenankan pilihan antara full cost atau succesful effort. Jika dibatasi akan menghambat perusahaan pertambangan menengah kecil yang banyak menggunakan succesful effort.

Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dudi Kurniawan, menurut Merliyana Syamsul, salah satu anggota DSAK sebenarnya pengertian yang dimaksud lebih kepada pilihan kebijakan akuntansi jika tidak ada pengaturan yang mengatur secara spesifik (hirarki PSAK 25). Niat dari DSAK adalah membatasi manajemen dalam memilih kebijakan akuntansinya (dengan mengacu ke batasan yang ada dalam PSAK 25), antara full cost dan succesful effort keduanya masih diperbolehkan asal patuh terhadap PSAK 25.

Lebih lanjut DSAK menambahkan bahwa salah satu perbedaan antara ED PSAK 64 dan IFRS 6 adalah menghilangkan “kelonggaran” dalam IFRS 6 yang mengijinkan entitas menggunakan kebijakan yg saat ini diterapkan dan mengabaikan hirarki dalam PSAK 25. Merliyana mengatakan bahwa Dewan akan melihat kembali apabila kalimat yang digunakan dalam PSAK dapat menimbulkan kesalahpahaman.


Tanggapan berikutnya diajukan oleh Helmy seorang praktisi dan akademisi. Tanggapan yang diberikan tentang Revisi PSAK yang diharapkan tidak bertentangan dengan stakeholders. Karena pada praktiknya revisi tidak sesuai dengan praktik yang diterapkan terutama di institusi pemerintahan. Menanggapi hal ini anggota DSAK, Merliyana Syamsul mengatakan bahwa dalam due process adopsi PSAK Dewan telah mengadakan dengar pendapat dengan perwakilan dari Pemerintah, industri, dan asosiasi. Dengan diadakannya dengar pendapat ini diharapkan bahwa revisi PSAK tidak akan bertentangan dengan stakeholders.


Ada beberapa saran mengenai ED PSAK 33 dan ED ISAK 24 yang akan menjadi masukan berharga bagi DSAK. Bapak Arif dari Bursa Efek Indonesia mengusulkan bahwa judul ED PSAK 33 perlu ditinjau kembali, mengingat lingkupnya yang kini lebih sempit. Sedangkan untuk contoh kasus ISAK 24 sebaiknya diberikan diagram agar lebih mudah dimengerti.

Masih ada pertanyaan-pertanyaan lain dari peserta yang kurang jelas mengenai isi PSAK, ISAK dan PPSAK yang dibahas pada hari itu dan semuanya dijawab oleh DSAK. Public hearing pada hari tersebut ditutup pada pukul 16.00 WIB. Dengan adanya public hearing ini, diharapkan DSAK dapat membuat PSAK yang benar-benar sesuai dengan aspirasi maupun permasalahan yang dihadapi para pengusaha pertambangan di Indonesia saat ini sehingga pada akhirnya selain sesuai dengan standard IFRS, PSAK pun masih tetap relevan dengan kondisi perusahaan pertambangan di Indonesia. PSAK 33 masih dipertahankan walaupun tidak berbasis IFRS karena DSAK memandang IFRS 6 tidak cukup komprehensif untuk mencakup keseluruhan aktivitas pertambangan di Indonesia.

Pencabutan PSAK 39 Akuntansi Kerjasama Operasi akan memaksa entitas untuk meninjau kembali perjanjian KSO yang dimiliki dan memutuskan apakah perjanjian KSO tersebut dapat di-reklasifikasi sesuai dengan PSAK-PSAK yang ada seperti PSAK 15 Investasi Pada Entitas Asosiasi dan PSAK 12 Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama atau Standar mengenai Instrumen Keuangan (PSAK 50/55). Pencabutan PSAK 39 ini berlaku prospektif.

Exposure Draft yang dipaparkan dalam public hearing dapat diunduh dari situs web IAI yakni www.iaiglobal.or.id. Komentar tertulis atas Exposure Draft tersebut dapat dikirimkan melalui email ke dsak@iaiglobal.or.id. Semua PSAK baru ini sedianya akan mulai berlaku 1 Januari 2012. (Ersa Tri Wahyuni, Niken, Fefe)

Thursday, March 03, 2011

Persyaratan Akuntansi untuk Akuisisi Lebih Rumit di tahun 2011

By: Ersa Tri Wahyuni

tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Februari 2011


Perusahaan Anda berniat untuk melakukan akuisisi pada tahun 2011? Perhatikan bahwa standar akuntansi mengenai akuisisi telah berubah. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No 22 tentang kombinasi bisnis yang diterbitkan oleh IAI pada tahun 2010 lalu akan berlaku mulai 1 januari 2011. Hadirnya tiga serangkai standar akuntansi yang saling terkait yakni PSAK 22 Kombinasi Bisnis, PSAK 19 Aset Takberwujud dan PSAK 48 Penurunan Nilai Aset adalah merupakan rangkaian dari rencana konvergensi standar akuntansi Indonesia menuju standar akuntansi internasional (IFRS). Beberapa perubahan cukup signifikan dan penting untuk mendapatkan perhatian anda.


Hilangnya metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest)

Didalam PSAK 22 (Revisi 2010) metode akuntansi untuk akuisisi hanya satu yakni metode pembelian (purchase method) sedangkan metode penyatuan kepemilikan yang sebelumnya masih dijinkan oleh PSAK 22 (Reformat 2007) tidak lagi diperbolehkan. Walaupun pada praktik bisnis di Indonesia saat ini rata-rata akuisisi memang menggunakan metode pembelian namun metode penyatuan kepemilikan masih menjadi pilihan oleh beberapa perusahaan. Salah satu alasannya adalah metode penyatuan kepemilikan lebih murah dan lebih sederhana dimana net aset perusahaan yang diakuisisi tidak harus lebih dinilai ulang sesuai dengan nilai wajarnya dan digabungkan sesuai dengan nilai bukunya.

Hilangnya metode penyatuan kepemilikan ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah metode ini juga akan dihilangkan untuk restrukturisasi entitas sepengendali yang diatur dalam PSAK 38? Hal ini sangat menarik karena PSAK 38 ini sering digunakan oleh para konglomerat di Indonesia di mana mereka membeli perusahaan yang kurang baik kondisinya, kemudian disehatkan untuk kemudian dijual kepada perusahaan di dalam grup tersebut yang biasanya merupakan perusahaan publik. Perusahaan publik dapat melakukan right issue, menggunakan dana masyarakat, guna membiayai akuisisi tersebut. Sang konglomerat mendapatkan untung dari marjin penjualan namun tetap dapat mengendalikan perusahaannya karena masih berada dalam satu grup.

DSAK-IAI nampaknya belum akan mencabut PSAK 38 yang dahulu referensinya dari US GAAP dan bukan diadopsi dari IFRS. Sehingga metode penyatuan kepemilikan masih menjadi pilihan metode akuntansi yang diijinkan untuk restrukturisasi entitas sepengendali. Saat ini restrukturisasi entitas sepengendali tidak termasuk dalam cakupan PSAK 22 (Revisi 2010). Namun mungkin hal tersebut tidak akan lama karena IFRS yang “principle based” tidak memiliki pengaturan mengenai hal ini dan pada intinya apabila esensi transaksinya sama seharusnya dicatat dengan metode yang sama. Apabila konvergensi IFRS akan dirampungkan pada tahun 2012, kemungkinan besar PSAK 38 juga akan dicabut.


Seluruh biaya Akuisisi dibebankan

Perbedaan cukup mencolok dari PSAK 22 yang baru adalah pembebanan biaya akuisisi. Pada PSAK 22 yang lama, biaya akuisisi seperti biaya penasihat hukum, jasa penilai, konsultan, akuntan diakuisi sebagai biaya perolehan (cost of acquisition). Sementara itu dalam PSAK 22 yang baru seluruh biaya akuisisi harus dibebankan pada saat biaya tersebut terjadi kecuali untuk satu hal. Khusus untuk biaya-biaya yang terkait dengan penerbitan efek hutang atau efek ekuitas yang dipakai untuk membiayai akuisisi, maka biaya-biaya tersebut diakui sebagai bagian dari harga perolehan efek sesuai dengan PSAK 55 (Revisi 2006).

Terkait dengan pembebanan biaya akuisisi hal ini berpotensi menurunkan laba perusahaan pada tahun terjadinya akuisisi. Sementara pada PSAK 22 (Reformat 2007) apabila biaya-biaya tersebut menjadi cost of acquisition maka biaya tersebut dapat bersembunyi di dalam goodwill yang kemudian diamortisasi selama maksimal 20 tahun sesuai dengan PSAK 19 (REVISI 2000). Sehingga dalam hal ini biaya tersebut bisa ditangguhkan pengakuannya, ingat bahwa goodwill adalah selisih antara biaya perolehan (yang didalamnya terdapat biaya akuisisi) dibandingkan nilai wajar aset neto aset perusahaan yang diakuisisi.


Goodwill tidak lagi diamortisasi

Goodwill yang muncul dari akuisisi berdasarkan PSAK 22 tidak lagi boleh diamortisasi melainkan harus dikenai uji penurunan nilai setiap tahun dengan cara pengujian yang dijelaskan dalam PSAK 48 (Revisi 2009). Di dalam standar akuntansi yang saat ini berlaku goodwill yang muncul dari akuisisi di amortisasi selama lima tahun atau maksimal 20 tahun dengan pertimbangan khusus. Namun pada tahun 2011 nanti goodwill tidak lagi boleh diamortisasi dan harus diuji penurunan nilai. Perlakukan serupa juga diterapkan untuk aset takberwujud dengan umur manfaat tak terbatas, konsep intangibles baru yang ditawarkan dalam PSAK 19 (Revisi 2009).

Cara bagaimana melakukan ujin penurunan nilai yang disyaratkan PSAK 48 (Revisi 2009) sangat rumit dan kompleks. Wajar, karena goodwill adalah the most intangible of all intangibles yang tentunya sulit diketahui nilai wajarnya. Sesuai dengan PSAK 22 (Revisi 2010) dan PSAK 48 (Revisi 2009) goodwill harus dialokasikan ke dalam UPK (unit penghasil kas – cash generating unit) terkecil di dalam perusahaan pengakuisisi yang mendapatkan dampak positif dari akuisisi tersebut. UPK tersebut kemudian diukur setiap tahun apakah terjadi penurunan nilai, apabila terjadi penurunan nilai, maka goodwill di dalam UPK tersebut diturunkan nilainya. UPK ini bisa berupa anak perusahaan, perusahaan cabang, suatu operasi perusahaan atau suatu grup aset yang memiliki arus kas masuk independen dari aset lainnya.

Misalnya perusahaan Andong mengakuisisi perusahaan Becak dan muncul goodwill sebesar Rp. 100. Untuk menguji penurunan nilai maka goodwill ini dialokasikan secara pro-rata ke lima perusahaan UPK di dalam grup A yang akan menikmati sinergi dari akuisisi tersebut (misanya UPK C,D,E,F,G). Misalnya UPK C mendapatkan alokasi goodwill sebesar Rp. 20. Pada akhir tahun UPK C mengalami indikasi penurunan nilai, yakni recoverable amount (jumlah terpulihkan) UPK C lebih kecil daripada nilai tercatatnya. Recoverable amount adalah jumlah mana yang lebih tinggi antara nilai wajar dikurangi biaya penjualan dan nilai pakai (value in use). Misalnya saja jumlah terpulihkan UPK C adalah Rp. 250 sedangkan nilai tercatatnya adalah Rp.100 maka terdapat penurunan nilai Rp.50. Maka goodwill yang ada di dalam UPK C tersebut diturunkan menjadi Nol dan sisa nya dibebankan ke aset-aset lainya.

Persyaratan ini sangat rumit dalam beberapa hal yakni mengidentifikasi UPK terkecil yang akan menikmati sinergi atas akuisisi tersebut tidaklah mudah. Sekalipun UPK dapat diidentifikasi dan goodwill dapat dialokasikan, menghitung jumlah terpulihkan dari UPK bukanlah hal yang mudah. Kerumitan lainnya kalau seandainya UPK tersebut dijual, maka goodwill yang telah dialokasikan harus ikut terjual. Perhatian contoh perusahaan Andong diatas, maka untuk goodwill dari satu kombinasi bisnis yang sama dipecah ke dalam lima UPK. Dapat saja goodwill di dalam UPK C turun nilainya tapi goodwill dalam UPK lainnya tetap ada, padahal mereka berasal dari goodwill dan akuisisi yang sama.

Dalam PSAK 48 (Revisi 2009) juga tidak mengijinkan pembalikan rugi penurunan nilai atas goodwill. Kembali ke cerita Perusahaan Andong di atas, apabila goodwill pada UPK C telah dihapus, namun seandainya tahun berikutnya UPK C naik nilainya, maka pembalikan tersebut hanya bisa dialokasikan ke aset-aset lainnya selain goodwill.


Implikasi Konvergensi IFRS terhadap Perusahaan

Bergulirnya konvergensi IFRS yang begitu cepat, semua stakeholders harus dapat segera menelaah dampak dari konvergensi ini terhadap transaksi-transaksi bisnis yang akan dihadapi. Terkait dengan akuisisi, tiga serangkai PSAK baru akan menambah kerumitan pencatatan akuntansi untuk akuisisi.

Dengan melarang amortisasi goodwill, dimungkinkan goodwill tidak turun nilainya karena uji penurunan nilai setiap tahun tidak harus membuat perusahaan membukukan kerugian penurunan nilai. Walaupun sudah diuji, dapat saja goodwill kemudian tidak turun nilainya (mungkin untuk jangka waktu lebih dari 20 tahun). Compliance Cost untuk PSAK 48 ini tentunya tidaklah sedikit, karena mulai tahun 2011 semua perusahaan yang memiliki goodwill harus melakukan uji penurunan nilai atas goodwill SETIAP TAHUN dan auditor harus membuktikan bahwa perusahaan memang telah mengalokasikan goodwill ke dalam UPK dan melakukan uji penurunan nilai dengan benar.

Saturday, February 19, 2011

2011 Tahun Genting untuk Profesi Akuntan dan Investor

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Januari 2011

Gelegar suara petasan dan gemerlap kembang api tahun baru telah berlalu. Hiruk pikuk aktivitas tutup buku akhir tahun telah berkurang. Di saat akuntan publik sedang mengalami masa sibuk memeriksa perusahaan klien, akuntan manajemen di dalam perusahaan dipusingkan dengan masalah lain. Pada tanggal 1 Januari 2011, 16 standar akuntansi baru yang diadopsi dari standar akuntansi internasional secara serentak akan berlaku untuk pertama kalinya. Belum pernah dalam sejarah bisnis di Indonesia 16 standar akuntansi baru harus diterapkan secara bersamaan.

Gelombang standar akuntansi baru yang sangat banyak ini merupakan dampak dari rencana konvergensi standar akuntansi internasional (IFRS) yang dicanangkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejak tahun 2008. Ditargetkan pada tahun 2012, Indonesia akan menerapkan kurang lebih 34 Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) baru yang mengadopsi IFRS. Beberapa standar sudah diterapkan sejak tahun 2008-2009 seperti misalnya PSAK 50 dan PSAK 55 tentang Instrumen keungan yang menghebohkan, 16 standar diterapkan tahun 2011 dan selebihnya tahun 2012.

Akuntan Manajemen Yang Paling Tidak Siap?

Profesi akuntan manajemen yang selama ini di Indonesia sering dipandang tak lebih dari juru catat, tahun ini dan tahun-tahun ke depan akan memegang peranan yang lebih strategis dalam hidup matinya perusahaan. Tahun 2011 adalah tahun genting untuk profesi akuntan terutama yang bekerja pada perusahaan. Akuntan manajemen yang sebelumnya sangat bergantung pada konsultan atau auditor eksternal untuk menjelaskan dampak penerapan standar akuntansi baru kali ini terpaksa harus melecut diri mempelajari dampak dari 16 standar akuntansi baru terhadap bottom line perusahaan. Karena sesungguhnya tidak ada yang lebih mengenal seluk beluk perusahaan dibandingkan para akuntan yang bekerja di dalam perusahaan tersebut. Sehingga sudah sepantasnya analisis dampak PSAK-PSAK baru dilakukan pihak internal dan bukan oleh pihak-pihak eksternal perusahaan. Namun pada kenyataannya, hanya segelintir perusahaan saja yang sudah memiliki IFRS Champion team internal yang solid, mayoritas perusahaan di Indonesia bahkan yang listed sekalipun masih nampak tertatih-tatih mengikuti perubahan regime akuntansi yang berstandar internasional ini.

Sebagai tahun transisi para akuntan manajemen harus melakukan analisis bagaimana dampak 16 standara akuntansi baru ini terhadap laporan keuangan 2010 dan tahun 2011 nanti. Walaupun standar-standar ini baru berlaku untuk laporan keuangan tahun 2011, namun karena laporan keuangan selalu disajikan dengan periode komparatif, maka seharusnya perusahaan juga sudah mulai melakukan proyeksi gambaran laporan keuangan tahun 2010 menggunakan aturan standar-standar baru. Sebelum RUPS dan dividen dari laba tahun 2010 dibagikan, seharusnya perusahaan sudah mengkaji apakah angka laba laporan keuangan 2010 akan serupa bila menggunakan standar-standar baru tersebut. Secara ekstrem bisa saja laba laporan keuangan 2010 akan dikoreksi secara material pada saat perusahaan membuat laporan keuangan 2011.

Sistem informasi akuntansi perusahaan juga seharusnya berbenah. Hal yang sepele saja, apabila perusahaan memiliki goodwill di dalam neraca, maka per 1 Januari 2011 amortisasi terhadap goodwill dihentikan. Persyaratan pengungkapan yang lebih berat pada laporan keuangan 2011 juga seharusnya mempengaruhi sistem informasi akuntansi perusahaan dalam menangkap informasi yang mungkin kelak akan dibutuhkan.

Bagi Investor: Hati-hati dengan Dampak Yang Semu

Laporan keuangan tahun 2011 menuntut perhatian lebih bagi para investor. Penelitian-penelitian pada negara-negara yang telah lebih dulu mengadopsi IFRS menunjukkan bahwa penerapan IFRS mempengaruhi keputusan-keputusan ekonomi yang diambil oleh manajemen perusahaan. Di Belanda misalnya penerapan IAS 32 (atau PSAK 50 di Indonesia) tahun 2005 membuat 71 % perusahaan yang mengeluarkan saham preferen melakukan buy back atau merubah spesifikasi sahamnya agar tetap bisa diklasifikasikan menjadi equity dan melindungi rasio keuangannya (De Jong, 2006). Atau di Hong Kong yang terkenal dengan industry propertinya, revaluation gain dari aset property berbanding positif dengan kompensasi tunai eksekutif perusahaan setelah IFRS diadopsi, padahal bila revaluasi hasilnya negative kompensasi tunai bagi eksekutif tidak berkurang (Tang 2009).

Angka-angka yang dihasilkan oleh akuntansi mempengaruhi bonus karyawan dan direksi. Hal ini tentunya harus diperhatikan oleh investor karena direksi perusahaan bisa saja mengusulkan bonus berdasarkan pehitungan laba akuntansi yang belum terealisasi. Dengan meningkatnya proporsi mengitungan nilai wajar pada standar akuntansi baru, dan juga penyajian comprehensive income di dalam laba rugi, investor dapat tertipu dengan kinerja perusahaan yang terlihat lebih baik.

Investor, manajer investasi dan analis pasar modal harus memacu dirinya mempelajari standar akuntansi baru yang akan menghasilkan laporan keuangan wajah baru pada tahun 2011. Bukan hanya format pelaporan dan istilah-istilahnya saja yang baru namun beberapa metode pengukuran juga berbeda. Laporan laba rugi menjadi laporan laba rugi komprehensif, kewajiban menjadi liabilitas, hak minoritas disajikan pada kelompok ekuitas adalah sedikit contoh format dan istilah baru yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk pengukuran banyak juga yang berbeda seperti misalnya aset takberwujud sekarang dapat diamortisasi lebih dari 20 tahun bahkan juga bisa tidak diamortisasi bila dirasakan manajamen memiliki umur manfaat tidak terbatas. Jadi untuk perusahaan yang rajin membeli merek milik perusahaan lain bisa jadi laba nya meningkat secara material karena pada tahun 2011 mereklasifikasi merek-merek tersebut menjadi aset takberwujud dengan umur manfaat tidak terbatas dan menghapus amortisasinya.

Selamat datang tahun 2011.


Daftar PSAK yang mulai berlaku tahun 2011. Semuanya diadopsi dari IFRS/IAS dengan judul standar yang sama.

PSAK 1 Penyajian Laporan Keuangan
PSAK 2 Laporan Arus Kas
PSAK 3 Laporan Keuangan Interim
PSAK 4 Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
PSAK 5 Segmen Operasi
PSAK 12 Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama
PSAK 7 Pengungkapan Pihak-Pihak yang Berelasi
PSAK 15 Investasi Pada Entitas Asosiasi
PSAK 19 Aset Takberwujud
PSAK 22 Kombinasi Bisnis
PSAK 23 Pendapatan
PSAK 25 Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi & Kesalahan
PSAK 48 Penurunan Nilai Aset
PSAK 57 Provisi, Liabilitas Kontijensi & Aset Kontijensi
PSAK 58 Aset Tdk Lancar Yg Dimiliki Untuk Dijual & Operasi Yg Dihentikan
PSAK 8 Peristiwa Setelah Tanggal Neraca