Sunday, July 10, 2011

Konvergensi IFRS: Sebuah Tantangan yang Mengancam Kelangsungan Industri Real Estat di Indonesia?

Oleh

Aucky Pratama
Ersa Tri Wahyuni
Divisi Teknis – Ikatan Akuntan Indonesia
(tulisan adalah opini penulis bukan pandangan resmi Ikatan Akuntan Indonesia)

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Juli 2011


Pernahkah anda melihat pembangunan apartemen yang berhenti di tengah jalan? Pernahkah anda mendengar kisah pilu konsumen yang sudah terlanjur membayar uang muka dan terpaksa gigit jari karena merasa ditipu oleh pengembang yang tidak dapat menyerahkan properti idaman yang telah dijanjikan? Perlindungan konsumen dalam suatu transaksi properti atau real estat di Indonesia masih relatif lemah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Sudah menjadi suatu praktik yang umum di Indonesia bagi pengembang untuk menjual properti hanya bermodalkan gambar belaka (sell-then-build), walaupun saat ini sudah ada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mewajibkan pengembang untuk menyerahkan segala hal yang telah dijanjikan dalam brosur pemasaran.

Dari gambaran di atas, dapat dilihat bagaimana lemahnya posisi konsumen dalam perjanjian jual beli real estat di Indonesia. Bagaimana posisi PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat sebagai standar akuntansi yang terkait erat dengan isu ini? Bagaimana pula dengan wacana penerapan IFRIC 15 Agreements for the Construction of Real Estate di Indonesia, terutama kaitannya dengan praktik bisnis yang selama ini terjadi di industri real estat kita.

IFRIC 15, STANDAR AKUNTANSI GLOBAL BERCITA RASA INTERNASIONAL

Tahun 2011 menjadi tahun yang sangat penting bagi perkembangan proses konvergensi IFRS di Indonesia. Dalam waktu kurang dari enam bulan seluruh persiapan kita dalam menyongsong perubahan ini diharapkan akan selesai. Ini akan menjadi suatu pembuktian bagi Indonesia dalam keikutsertaan kita di forum dunia. DIharapkan pada 1 Januari 2012 nanti kita sudah bisa menyatakan keberhasilan kita untuk konvergen dengan IFRS sebagai standar akuntansi global.

Sebagai bagian dari proses konvergensi ini, IFRIC 15 merupakan salah satu Interpretasi yang akan kita adopsi. ED ISAK 21: Perjanjian Konstruksi Real Estat telah diterbitkan dan di public hearing kan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Interpretasi ini bertujuan untuk memberikan panduan terkait dengan pengakuan pendapatan dalam aktivitas konstruksi real estat. Latar belakang utama dari lahirnya Interpretasi ini adalah adanya perbedaan perlakuan terkait pengakuan pendapatan (dan beban) dari aktivitas konstruksi/penjualan (pengembangan) real estat. Interpretasi ini merupakan gambaran sempurna dari peran IFRS sebagai suatu standar akuntansi global yang menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada.

IFRIC 15 adalah salah satu dari beberapa produk IFRS yang penerapannya banyak mendapat resistensi dari pelaku di industri real estat. Biang keladi dari pertentangan ini adalah konsep pengalihan kendali serta risiko signifikan dan manfaat kepemilikan dalam pengakuan pendapatan, yang terhitung tidak mudah untuk diterapkan dalam praktik industri yang saat ini berjalan. Konsep ini menginginkan adanya pengalihan dari pengembang ke konsumen sebelum pendapatan dapat diakui. Jika hal ini tidak terjadi, maka secara esensi pendapatan belum dapat diakui oleh pengembang.

Sebagai ilustrasi, bayangkan posisi anda sebagai konsumen dalam transaksi jual beli properti. Setiap cicilan yang anda bayarkan seharusnya merupakan gambaran dari bagian properti yang telah menjadi milik anda. Dengan kata lain, saat anda membayar agunan apartemen anda yang berada di lantai 20 padahal konstruksi baru berjalan sampai di lantai 10 anda telah memegang segala risiko dan manfaat kepemilikan dari apartemen anda tersebut. Secara akuntansi, ini lah yang seharusnya terjadi jika pengembang ingin mengakui pendapatan setiap anda membayarkan cicilan anda. Apakah hal ini mungkin untuk diterapkan dalam praktik industri real estat kita di Indonesia?

Wajar apabila Interpretasi ini menjadi momok bagi industri real estat kita yang telah terbiasa dengan standar akuntansi yang mendukung praktik yang berjalan. Bayangkan bagaimana kalang kabutnya perusahaan property apabila pendapatannya sekarang hanya dapat diakui nanti pada saat konsumen telah mendapatkan properti yang telah dibelinya. Bagi perusahaan real estat yang jangka waktu proyeknya antara tiga sampai empat tahun ini dapat berujunglaporan keuangan merugi di tahun-tahun awal dan tiba tiba profit besar di tahun akhir. Hal ini bisa menyulitkan perusahaan real estat yang berusaha mendapatkan modal kerja ke perbankan. Para investor yang kurang paham juga dapat memangkas nilai saham perusahaan real estat ketika melihat perusahaan membukukan rugi. ,. Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) melalui komunikasinya dengan IAI pun telah mengangkat hal ini dalam tanggapannya. Agar perusahaan real estat dapat secara riil membukukan pendapatan dari cicilan pelanggan maka harus ada transfer risiko dan imbalan secara berkesinambungan kepada pelanggan (continous transfer of risk and reward)

Dibalik seluruh carut marut yang terjadi, perlu dipertimbangkan bahwa esensi yang ingin dicapai oleh Interpretasi ini sejalan dengan semangat konvergensi IFRS. Secara obyektif pun perlu kita lihat kalau Interpretasi ini sesungguhnya mendukung penyajian informasi laporan keuangan yang lebih akurat dan menggambarkan keadaan yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pendapatan yang diakui oleh pengembang saat konsumen membayarkan kewajibannya sesungguhnya tidak mencerminkan risiko signifikan atas bagian dari unit dalam pengembangan yang masih berada di tangan pengembang. Apabila memang risk and reward belum berpindah ke tangan pelanggan, apakah wajar bila Pengembang membukukan laba?

PENERAPAN DI NEGARA TETANGGA

Untuk memperluas wawasan kita mungkin perlu untuk melihat bagaimana negara tetangga kita, terutama Singapura dan Malaysia, dalam menyikapi Interpretasi ini. Terlebih lagi, mereka telah terlebih dahulu mengambil sikap dalam penerapan Interpretasi ini.

Dalam even seminar IAI yang diadakan di Bali sebagai rangkaian dari acara 5th IFRS Regional Policy Forum pada bulan Mei 2011 lalu perwakilan dari kedua negara tetangga kita memberikan gambaran mengenai hal ini. Singapura diwakili oleh Ms. Goh Suat Cheng (Technical Head, ASC Singapore) sementara Ms. Tan Bee Leng mewakili Malaysia. Keduanya sepakat bahwa Intrepretasi ini patut untuk diadopsi, guna memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya dari suatu transaksi real estat. Intrepretasi ini telah berlaku efektif 1 Januari 2011 lalu di SIngapura, dan akan berlaku efektif pada 1 Januari 2012 di Malaysia.

Dari penjelasan keduanya dapat dilihat kalau Singapura dan Malaysia sebagai suatu negara lebih siap dalam menerapkan Interpretasi ini, terutama dari segi infrastruktur legal sehingga persyaratan dalam IFRIC 15 dalam terpenuhi. Singapura juga misalnya memiliki semacam mekanisme penjaminan dibawah suatu lembaga independen yang akan memastikan bahwa perusahaan real estat hanya bisa menarik uang cicilan pelanggan sesuai dengan persentase penyelesaian proyek.

Jelas bahwa dengan adanya infrastuktur pendukung tersebut posisi konsumen menjadi lebih kuat dan terlindungi. Apakah kita memiliki infrastuktur yang memiliki karakteristik seperti ini? Jika tidak, apakah mungkin bagi Indonesia untuk membuat infrastuktur seperti ini? Apakah mungkin bagi suatu standar akuntansi untuk dapat menjadi katalis perubahan dalam praktik industri real estat yang berjalan di Indonesia?
Keputusan kedua negara tetangga ini menggambarkan komitmen mereka atas konvergensi dan adopsi IFRS yang telah dicanangkan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Keberatan dan pertentangan adalah bagian dari penerapan suatu standar global yang tidak dengan secara spesifik mempertimbangkan keunikan dan perbedaan yang ada di setiap yurisdiksi. Akan menjadi suatu kerugian kalau Indonesia tidak dapat menyatakan keberhasilannya dalam mempertahankan komitmen ini.

LANGKAH KE DEPAN

Mereka yang mendukung adopsi IFRIC 15 berpendapat bahwa interpretasi ini diharapkan dapat memperbaiki lingkungan bisnis real estat di Indonesia dan lebih melindungi konsumen. Penerapan IFRIC 15 juga akan membuat laporan keuangan lebih transparan dan relevan. Mereka yang keberatan dengan adopsi standar ini berpendapat bahwa industri real estat adalah industri strategis yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Apakah penerapan IFRIC 15 akan membuat industri ini menjadi tidak menarik bagi para investor?

DSAK-IAI dalam rapat pleno 18 Mei 2011 telah mensahkah ISAK 21 yang merupakan adopsi dari IFRIC 15 dan berlaku efektif 2013. Semoga waktu yang cukup panjang akan mampu membuat industri real estat Indonesia berbenah dan mempersiapkan diri.

No comments: