Friday, August 19, 2011

Pertemuan Emerging Economies Group di Beijing: Negara Ekonomi Berkembang Menghadapi Kendala dalam Menerapkan Standar Nilai Wajar


Aucky Pratama & Ersa Tri Wahyuni

Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Agustus 2011


Pada bulan April 2009 G20 mendesak International Accounting Standards Board (IASB) selaku perumus standar akuntansi yang berlaku secara global (International Financial Accounting Standards – IFRS) untuk mengikut sertakan negara-negara ekonomi berkembang dalam proses perumusan standar akuntansi. Diharapkan suara dari negara-negara tersebut dapat terwakilkan dalam IFRS sebagai standar akuntansi yang akan diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia. IASB mengambil langkah konkrit dengan membentuk Emerging Economies Group (EEG), dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari negara-negara ekonomi berkembang terkait dengan proyek pengembangan IFRS.
Sebagai hasil diskusi awal yang dilakukan oleh Mr. Wayne Upton selaku IASB Director of International Activities dan perwakilan dari Kementrian Keuangan China, pengukuran nilai wajar ditetapkan sebagai topik awal diskusi EEG. Diharapkan EEG dapat memberikan masukan khususnya terkait aplikasi dan penerapan pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang, dan diharapkan dapat mencetuskan suatu panduan implementasi yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan. Isu ini terkait dengan salah satu proyek diskusi IASB yang saat ini sedang berjalan, yaitu IFRS 13 Fair Value Measurement.
Tujuan utama dari IFRS 13 adalah untuk memberikan penjelasan atas definisi nilai wajar (fair value) dan bagaimana ketentuan pengukurannya, dan juga pengungkapan yang diperlukan atas pengukuran tersebut. Latar belakang dari standar ini adalah adanya variasi pengukuran nilai wajar di IFRS yang saat ini berlaku, yang satu sama lainnya tidak konsisten. Ini juga merupakan proyek yang dicanangkan oleh IASB dalam rangka meningkatkan konvergensi antara IFRS dengan US GAAP. Setelah melalui proses perumusan yang panjang, disertai dengan diskusi-diskusi dan permintaan tanggapan IASB menerbitkan versi final dari IFRS 13 pada tanggal 12 Mei 2011.
Sebagai perumus standar akuntansi global IASB tentunya perlu untuk mempertimbangkan masukan-masukan dari negara-negara yang mengadopsi atau terkonvergensi dengan IFRS. Salah satu komponen yang selama ini dirasakan kurang dalam memberikan masukan adalah negara-negara ekonomi berkembang yang menerapkan IFRS sebagai standar akuntansinya. Secara umum karakteristik utama dari negara-negara “emerging economies” tersebut adalah:
1. Kontrol pasar yang relatif ketat;
2. Pasar yang berkembang dengan infrastruktur pasar yang masih belum memadai, dan varietas perdagangan yang terbatas;
3. Adanya pasar yang tidak aktif; dan
4. Peserta pasar yang relatif belum mutakhir
Sebagai bagian dari persiapan pertemuan EEG yang pertama yang akan diadakan di Beijing, China pada bulan Mei telah mempersiapkan sebuah draft laporan yang terkait dengan penerapan standar akuntansi pengukuran nilai wajar di negara-negara ekonomi berkembang. Draft ini secara khusus mendiskusikan isu-isu yang umumnya dialami oleh negara-negara ekonomi berkembang dalam pengukuran nilai wajar, diantaranya:
1. Identifikasi transaksi yang tidak umum (not orderly)
2. Properti investasi yang diukur pada nilai wajar
3. Aset biolojik penghasil produk agrikultur (bearer biological asset)
4. Instrument ekuitas di pasar non-publik
5. Nilai wajar berdasarkan harga bid dan ask
6. Nilai wajar instrument ekuitas yang dibatasi penjualannya
7. Aplikasi kuotasi harga (quoted price) dari pihak ketiga
8. Aset tidak menghasilkan (non-performing assets) yang dikuasai perusahaan manajemen aset
9. Penyesuaian risiko kredit atas instrumen keuangan
10. Obligasi dengan opsi melekat
Isu-isu inilah yang dianggap paling umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang dalam draft EEG yang telah disiapkan. Umumnya negara-negara berkembang memiliki kendala dalam menerapkan IFRS 13 ini akibat dari karakteristik pasar Negara ekonomi berkembang yang belum matang. Diharapkan masukan-masukan dari negara-negara tersebut dapat dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing pada tanggal 26 Juli 2011 . Dan nantinya akan disampaikan kepada IASB sebagai bagian dari masukan yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan isu-isu yang terkait dengan IFRS 13 Fair Value Measurement.
Dalam diskusi IAI dengan Ir. Rengganis Kartomo, MSc., MAPPI (Cert.) dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) secara umum dapat disetujui bahwa memang isu-isu yang disampaikan dalam draft laporan EEG umum terjadi di negara-negara ekonomi berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Ada beberapa perbedaan antara rekomendasi yang disampaikan dalam draft laporan EEG mengenai nilai wajar dengan praktik yang umum terjadi di Indonesia, diantaranya mengenai pengukuran nilai wajar aset biolojik penghasil dan instrument ekuitas yang di perdagangkan di pasar non-publik. Menurut Rengganis, perbedaan-perbedaan ini secara umum tidak terlalu signifikan dan hanya disebabkan oleh kondisi dan infrastruktur perekonomian di Indonesian yang berbeda dengan beberapa negara yang juga ikut serta dalam EEG. Selain isu-isu yang telah diangkat dalam draft, Rengganis dalam diskusinya dengan IAI juga menyetujui bahwa konsep nilai wajar dalam konteks aset takberwujud perlu untuk dimasukkan sebagai isu yang perlu dibahas dalam pertemuan EEG di Beijing.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut berpartisipasi dalam EEG perlu untuk ikut serta dalam memberikan masukan dan tanggapan yang nantinya akan disampaikan ke IASB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI dan Rengganis Kartomo sebagai Ketua Dewan Standar Penilai Indonesia dari MAPPI. EEG Working groups bukan hanya membicarakan mengenai fair value, namun juga issue-issue lainnya akan didiskusikan dalam pertemuan yang secara rutin akan dilakukan secara berkala. Rosita Uli Sinaga sebagai Ketua DSAK-IAI menjadi anggota tetap EEG Working Group yang akan rutin menghadiri pertemuan secara berkala. Sementara setiap anggota delegasi diijinkan membawa satu orang ahli yang menguasai topik bahasan yang akan dibahas. Pada pertemuan Juli di Beijing, topik yang akan dibahas adalah kendala dalam menerapkan Fair Value sehingga Rengganis menjadi mitra yang cocok dalam mendamping Rosita di dalam kegiatan tersebut.

Menurut Rosita keaktifan Indonesia di dalam forum-forum Internasional seperti ini tak lepas dari peran strategis Indonesia di dalam perekonomian dunia. Ini juga menunjukkan peran nyata Indonesia dan khususnya Ikatan Akuntan Indonesia dalam perkembangan IFRS sebagai standar akuntansi global.

No comments: