Sunday, July 11, 2010

Konvergensi IFRS dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Akuntansi di Indonesia

Konvergensi IFRS 2012 dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Akuntansi di Indonesia

Ersa Tri Wahyuni
(Dosen Akuntansi UNPAD)

Tulisan ini dimuat di dalam Economics and Business Review (EBAR) edisi February 2010.


Abstrak

Roda konvergensi IFRS sedang bergulir kencang. Mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan standar akuntansi dalam dua tahun ke depan niscaya akan terlindas dan tertinggal oleh roda konvergensi tersebut. Tantangan besar menghadang dunia pendidikan akuntansi Indonesia untuk memastikan bahwa akuntan akademisi mampu mengikuti perkembangan standar akuntansi yang sangat cepat.

Tulisan ini menjelaskan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan akuntansi di Indonesia dalam menghadapi konvergensi IFRS. Secara spesifik, tulisan ini juga mengajak para dosen akuntansi untuk mulai merubah proses pengajaran akuntansi keuangan menjadi principle-based sesuai dengan IFRS. Pada bagian akhir tulisan ini, penulis memberikan beberapa alternatif solusi bagi pendidikan tinggi Akuntansi agar tidak tertinggal di dalam perubahan.

*****


DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) berniat kuat untuk menyelesaikan program konvergensi IFRS pada tahun 2012. Dengan menggunakan proses konvergensi secara bertahap, pada tahun 2009 DSAK sudah mengesahkan 11 PSAK baru yang keseluruhannya diadopsi dari IFRS, 4 ISAK baru yang diadopsi dari IFRIC maupun SIC dan merevisi satu ISAK yang lama, 5 pernyataan pencabutan (PPSAK) yang mencabut kurang lebih 9 PSAK dan 1 ISAK yang tidak sesuai dengan IFRS. Beberapa PSAK dan ISAK sedang dipersiapkan untuk dikeluarkan pada tahun 2010. Peluncuran 19 produk baru DSAK secara sekaligus berlangsung meriah pada tanggal 23 Desember 2009 lalu bertepatan dengan public hearing 4 exposure draft PSAK baru. (lihat Lampiran 1 untuk informasi lebih detail mengenai hal ini)

Selain pernyataan pencabutan yang rata-rata berlaku pada 1 Januari 2010, hampir seluruh Pernyataan yang dikeluarkan (PSAK dan ISAK) berlaku mulai 1 Januari 2011. Masyarakat diharapkan mampu menelaah dan mempelajarinya selama setahun ini sebelum Pernyataan tersebut berlaku efektif. Pertanyaan besarnya adalah apakah dunia pendidikan akuntansi di Indonesia siap untuk merespon perubahan ini?

Saat ini terdapat kebutuhan yang sangat besar di dunia profesi maupun perusahaan atas sumber daya manusia yang memahami IFRS. Beberapa perusahaan di Indonesia sudah harus membuat laporan berbasis IFRS untuk dikirimkan ke induk perusahaan yang sudah lebih dulu mengadopsi IFRS. Beberapa perbincangan penulis dengan para auditor, saat ini terdapat kekurangan yang cukup akut atas akuntan yang mengerti IFRS, terutama yang mampu menerjemahkan laporan keuangan berbasis PSAK menjadi laporan keuangan berbasis IFRS.

Sementara dunia pendidikan tinggi akuntansi juga mengeluh sulitnya mencari para akuntan maupun auditor professional yang memahami IFRS namun bersedia berbagi ilmu mengajar di kampus. Keluhan ini sangat nyata terdengar terutama untuk pendidikan tinggi di luar pulau Jawa. Selain kekurangan sumber daya pengajar, fasilitas pengajaran lain yang berbasis IFRS juga sangat minim. Buku-buku teks yang berbasis IFRS sulit untuk didapat; bilapun ada, selalu berbahasa Inggris dan mahal harganya. IFRS sendiri sebagai standar tidak bisa diunduh secara gratis. Studi kasus aplikasi IFRS di Indonesia hampir mustahil tersedia untuk publik. Seminar maupun workshop mengenai IFRS yang dilaksanakan oleh IAI maupun kantor akuntan publik besar relatif mahal, jarang dilakukan dan biasanya tidak diciptakan khusus untuk akuntan akademisi melainkan untuk pembuat atau pemeriksa laporan keuangan.

Ketua DSAK dalam beberapa kesempatan berbicara di depan publik, senantiasa mengingatkan pentingnya dunia pendidikan tinggi akuntansi untuk keep updated mengenai perubahan yang sedang terjadi dan mulai mengajarkan IFRS kepada para mahasiswanya. Dunia pendidikan tinggi pun sebenarnya memahami bahwa mereka harus melakukan sesuatu untuk menyesuaikan diri. Namun kemudian terbentur dengan pertanyaan klasik. Harus dimulai dari mana? Apakah cukup dengan mengirimkan para dosen ke seminar-seminar IFRS? Apakah cukup dengan workshop penyusunan kurikulum bersama yang berbasis IFRS? Apalah artinya kurikulum maupun SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang nyata-nyata mengharuskan IFRS namun dosen tidak memiliki pengetahuan memadai maupun akses terhadap materi-materi pengajaran berbasis IFRS?


Ajarkan Principle Based dan Bukan Rule Based

Standar Akuntansi IFRS memiliki pendekatan berbasis prinsip (principle based). Sehingga standar-standar Akuntansi IFRS mengatur prinsip-prinisp utamanya. IFRS misalnya tidak memiliki standar-standar yang spesifik untuk industri. Kalaupun ada standar mengenai kontrak asuransi ( IFRS 4 Insurance Contract), standar tersebut tidak mengatur entitas asuransi tapi mengatur entitas apapun yang memiliki kontrak asuransi.

Sedangkan standar yang berbasis pengaturan (rule based) lebih detil dan compleks juga memiliki standar-standar berbasis industri. Misalnya adalah standar mengenai pengakuan pendapatan. Di IFRS pengakuan pendapatan hanya diatur pada dua standar yakni IAS 18 Revenue dan IAS 11 Construction Contracts. Sementara Standar Akuntansi di US misalnya memiliki sekitar 100 standar yang didalamnya berisi pengakuan pendapatan yang berbeda-beda pada tiap industi. Jadi dimungkinkan hasil yang berbeda untuk substansi ekonomi yang sama dalam industri yang berbeda (IASB, 2009).

Mendengar komentar dalam beberapa public hearing DSAK selama lima bulan terakhir maupun masukan tertulis atas exposure draft PSAK yang dikeluarkan sepanjang tahun 2009, jelas tertangkap kegamangan para akuntan menghadapi standar akuntansi yang menjadi lebih principle based. DSAK sepanjang tahun 2009 mencabut kurang lebih 9 PSAK yang berbasis industri yang tidak harmonis dengan IFRS dan rule based. Dampak dari pencabutan ini adalah kepanikan para pelaku di industri-industri terkait bahwa mereka harus mulai mempelajari seluruh PSAK secara komprehensif dan tidak bisa lagi hanya memahami standar akuntansi industrinya saja. Akhirnya banyak pihak yang meminta adanya buletin teknis, panduan implementasi atau pedoman akuntansi yang lebih detil.

Seiring dengan bergesernya arah pelaporan akuntansi global dari rule based menjadi principle based, bukankah aneh apabila pendidikan Akuntansi kita (terutama untuk S1) masih sangat rule based? Mahasiswa kita diajarkan Akuntansi yang berkutat mengenai transaksi, bagaimana menjurnalnya, dan bagaimana membuat laporan keuangan. Perdebatan mengenai principle based vs rule based biasanya hanya dibahas sekilas pada mata kuliah Teori Akuntansi ataupun Akuntansi Internasional yang rata-rata hanya berbobot 2 sks. Itu pun dalam tatanan teori dan tidak masuk ke dalam contoh aplikasinya. Akuntansi berbasis prinsip ini juga menjadi perhatian utama para akademisi di Amerika. Mary E Barth (2009) professor Standford University dan anggota IASB juga meminta akademisi di Amerika lebih memperhatikan pengajaran prinsip-prinsip utama Akuntansi.

Sebagai contoh, tengoklah para dosen yang mengajarkan mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan yang biasanya menggunakan buku Beams (2009). Mereka umumnya mengajarkan mahasiswa membukukan transaksi investasi menggunakan metode biaya (bila investasi yang dimiliki kepemilikan saham dibawah 20%), menggunakan metode ekuitas (untuk investasi sebesar 20%-50%), dan metode konsolidasi bila investasi di atas 50%. Kemudian mereka akan fokus bagaimana mengajarkan mahasiswa membuat laporan keuangan konsolidasi yang sangat rumit. Padahal di dalam IFRS keputusan mengonsolidasi anak perusahaan bergantung dengan adanya kontrol yang rambu-rambunya sangat principle based. Mungkin saja suatu perusahaan induk memiliki saham anak perusahaan 100% tapi tidak mengonsolidasi karena tidak memiliki kontrol terhadap anak perusahaan melainkan hanya memiliki pengaruh signifikan. Hal ini banyak contohnya pada perusahaan-perusahaan yang membuat laporan akuntansinya berbasis IFRS.

Penulis tidak mengatakan bahwa kemampuan teknis tidak penting, bahwa mahasiswa tidak perlu untuk menguasai bagaimana membuat consolidation worksheet yang rumit. Namun di awal-awal mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan, mahasiswa sebaiknya juga diberikan banyak latihan yang menggunakan professional judgement mereka. Berikan kondisi-kondisi sehingga mahasiswa harus berdiskusi apakah perusahaan memiliki kontrol terhadap anak perusahaan atau hanya memiliki pengaruh signifikan? Suatu studi kasus yang sama mungkin dapat menimbulkan jawaban yang berbeda. Pada akhirnya hal ini akan membuat mahasiswa merasa tidak nyaman karena terbiasa dengan jawaban benar atau salah. Mahasiswa akan belajar menjadi akuntan yang bukan hanya harus memahami hal-hal teknis, tetapi juga mesti memiliki professional judgement yang terasah baik.

Pada pertemuan awal mata kuliah Akuntansi Keuangan Lanjutan, mahasiswa biasanya dicekoki bagaimana menghitung goodwill, membuat jurnal baik dari sisi pengakuisisi maupun dari sisi acquiree. Jarang sekali mahasiswa diberikan kesempatan melakukan professional judgement untuk menentukan manakah yang menjadi acquirer di dalam suatu business combination. Pertanyaan ini di dalam dunia nyata sangat riil dan penting, terutama untuk business combination besar seperti penggabungan beberapa perusahaan (kasus Bank Mandiri misalnya yang merupakan gabungan dari beberapa bank). IFRS 3 Business Combination yang akan segera diadopsi DSAK secara eksplisit menyatakan bahwa dalam suatu kombinasi bisnis harus ditentukan mana pihak yang pengakuisisi (acquirer). Terkadang penentuan hal tersebut tidaklah mudah karena definisi pengakuisisi adalah yang memiliki kontrol, juga ada isu kapan control tersebut diperoleh oleh pengakuisisi.

Principle based versus rule based harusnya diterapkan dalam setiap mata kuliah secara konsisten dan berkelanjutan, khususnya mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah dan Akuntansi Keuangan Lanjutan. Misalnya dalam mata kuliah Akuntansi Keuangan Menengah, saat membahas aset tidak berwujud, fokus pengajaran adalah bagaimana menjurnal saat memperoleh aset, mengamortisasi tahunan dan melepaskan aset tidak berwujud. Biasanya periode amortisasi sudah diberikan selama 5, 10 atau 20 tahun.

Di dalam IAS 38, juga PSAK 19 (Revisi 2010 yang ED-nya sudah keluar), aset tidak berwujud tidak lagi memiliki maksimum umur manfaat. Perusahaan harus menilai berapa umur ekonomis aset tidak berwujud. Bahkan apabila perusahaan tidak bisa melihat batas akhir kapan manfaat ekonomis aset tidak berwujud tersebut berakhir, perusahaan dapat membuatnya menjadi aset tidak berwujud dengan umur manfaat tak terbatas. Aset tidak berwujud dengan umur manfaat tak terbatas diperlakukan sama seperti goodwill, yakni dikenai uji penurunan nilai setiap tahun dan tidak diamortisasi. Hal-hal tersebut penuh dengan professional judgement. Sementara mahasiswa jarang sekali diberikan studi kasus di mana mereka dapat melakukan latihan bagaimana menentukan umur ekonomis suatu aset tidak berwujud. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi umur ekonomis suatu aset tidak berwujud? Berapa tahun batasnya suatu aset tidak berwujud dikatakan memiliki umur manfaat tak terbatas? 30 tahun? 40 tahun?

Mahasiswa Akuntansi harus memiliki fondasi yang kuat mengenai teori-teori Akuntansi, juga prinsip-prinsip Akuntansi. Mahasiswa Akuntansi harus memahami bahwa Akuntansi bukan hanya bookkeeping. Seorang akuntan di masa depan harus memiliki professional judgement yang kuat. Dengan semakin majunya sistem teknologi informasi, proses bookkeeping juga semakin diambil oleh oleh komputer sehingga tantangan profesi akuntan di masa depan akan bergeser pula bukan lagi sebagai “tukang catat” transaksi perusahaan.

Ajari Mahasiswa Membuat Pengungkapan

Salah satu perbedaan besar antara IFRS dan PSAK kita adalah tingkat pengungkapan yang diminta IFRS sangat ekstensif. Namun sayangnya pada pendidikan akuntansi kita, biasanya mahasiswa diuji hanya sampai membuat laporan keuangan atau membuat jurnal. Jarang sekali cara membuat pengungkapan diajarkan atau ditanyakan dalam ujian suatu mata kuliah. Tak heran ketika mahasiswa lulus dan bekerja menjadi pembuat laporan keuangan (preparer), para akuntan kita tidak cakap dalam membuat pengungkapan laporan keuangan. Bukan rahasia lagi bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak yang menggantungkan diri kepada kantor akuntan publik atau konsultan dalam membuat catatan atas laporan keuangan (CALK).

Suatu penelitian yang dilakukan penulis mengenai pengungkapan goodwill pada perusahaan-perusahaan terdaftar di Indonesia menunjukkan bahwa sebesar 47,2% perusahaan yang memiliki goodwill dan mengamortisasi lebih dari 5 tahun tidak mengungkapkan alasannya mengapa lebih dari lima tahun sekalipun alasan tersebut secara eksplisit diminta oleh PSAK 22 (Wahyuni & Natasha, 2007). Semangat dari PSAK 22 sebenarnya mengatakan bahwa goodwill diamortisasi lima tahun namun boleh diamortisasi maksimum 20 tahun dengan mengungkapkan alasannya. Berdasarkan penelitian penulis, dari 62 perusahaan yang memiliki goodwill di laporan keuangannya, sebesar 29% yang mengamortisasi selama lima tahun. Selebihnya mengamortisasi lebih dari lima tahun dan lebih dari 40% mengamortisasi sebesar 20 tahun.

Itu baru penelitian yang melihat pengungkapan atas goodwill. Bagaimana apabila dibedah kesesuaian laporan keuangan dengan disclosure requirements yang diminta oleh PSAK. Khusus untuk goodwill, apabila IFRS 3 Business Combination jadi diadopsi pada tahun 2011 seperti rencana DSAK, maka persyaratan pengungkapan akan lebih berat lagi. Bila PSAK 22 saat ini hanya mensyaratkan empat hal yang diungkapkan untuk goodwill, maka IFRS 3 mensyaratkan sedikitnya sembilan hal yang perlu diungkapkan atas goodwill.

Beratnya pengungkapan yang diminta IFRS berlaku hampir untuk semua pos dan akun. Sudah saatnya ketika dosen mengajar tentang aset tetap misalnya, mereka tidak hanya berhenti bagaimana menjurnal saat memperoleh aset, mendepresiasi, melepaskan, dan menyajikan aset pada laporan keuangan. Namun, mereka juga mengajarkan bagaimana membuat Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) atas aset tetap sesuai dengan yang disyaratkan standar. Mestinya lebih banyak informasi yang dapat digali user dengan menilik CALK. Bukankah ironis jika sangat sedikit porsi ini yang dipelajari dalam pendidikan Akuntansi kita?


Langkah-langkah Solusi ke Depan

Penulis selalu menyarankan kepada pengelola jurusan agar mahasiswa akuntansi yang akan lulus pada tahun 2011 dan 2012 diajarkan Akuntansi Keuangan dengan menggunakan buku-buku berbasis IFRS. Buku-buku akuntansi dari Australia, UK, maupun Singapura rata-rata sudah mengacu ke IFRS. Apabila tidak memungkinkan, setidaknya universitas secara aktif memberitahukan pentingnya mahasiswa mempelajari IFRS dan sumber-sumber belajar di internet yang dapat diakses untuk studi mandiri mereka.

Tantangan terbesar pendidikan tinggi adalah minimnya sarana pengajaran yang berbasis IFRS seperti buku, studi kasus, dan lain-lain. Tantangan lainnya tak lain dan tak bukan adalah sumber daya manusia. Dosen-dosen akuntansi keuangan yang sudah bertahun-tahun menggunakan buku berbasis US GAAP, harus mau belajar lagi dan dengan niat tulus ikhlas memberikan para calon akuntan masa depan pengetahuan yang relevan. Banyak pengelola jurusan yang mengeluh kepada penulis sulitnya mendorong dosen-dosen ini untuk belajar lagi, sementara universitas tidak bisa serta-merta seenaknya mempekerjakan dosen-dosen baru karena ada kendala anggaran dan lain sebagainya. Sampai saat ini masih saja banyak dosen-dosen akuntansi yang belum mengetahui (atau tidak mau tahu) bahwa konvergensi IFRS sedang berjalan.

Sudah waktunya pendidikan tinggi akuntansi melakukan sinergi, bukan hanya sibuk saling mempersiapkan dirinya sendiri saja. Beberapa pendidikan tinggi dapat membuat studi kasus mengenai aplikasi IFRS pada perusahaan Indonesia dan hasilnya dapat digunakan bersama-sama. Hibah-hibah riset sudah saatnya dialokasikan untuk riset-riset yang dapat menunjang proses konvergensi IFRS ini, terutama mempersiapkan alat-alat pengajaran seperti buku teks, bank soal, slide presentasi dan sebagainya. Universitas besar yang memiliki sumber daya memadai di bidang IFRS, seharusnya dapat berbagi dan membantu universitas lain yang memiliki keterbatasan sumber daya.

Sudah selayaknya universitas besar seperti UI, Trisakti, atau UGM membuat IFRS Research and Knowledge Center, sebagai pusat pembelajaran IFRS yang gratis dan dapat diakses siapa saja. Jika universitas-universitas besar itu sudah memiliki IFRS center, inilah saatnya mereka menggandeng rekan-rekan dosen terutama yang di daerah untuk mempelajari IFRS bersama-sama. Betapa indahnya jika kita dapat bersama membuat kajian mengenai dampak adopsi IFRS di Indonesia, atau memberikan masukan dan komentar atas exposure draft PSAK yang dikeluarkan DSAK. Tentunya sangat menyedihkan hati ketika Ketua DSAK pada sambutannya dalam HUT IAI ke 52 bulan Desember lalu menyebutkan hanya ada nama dua universitas yang memberikan komentar atas exposure draft PSAK selama tahun 2009.

Sudah waktunya Dikti atau Departemen Keuangan memberikan hibah-hibah penelitian untuk menunjang konvergensi IFRS. Ikatan Akuntan Indonesia melalui IAI Kompartemen Akuntan Pendidik juga harus mampu mempercepat proses pembelajaran akademisi melalui penyelenggaraan training for trainers IFRS dengan berkelanjutan dan harga terjangkau.

Konvergensi IFRS adalah suatu keniscayaan. Pada tahun 2012 standar akuntansi di Indonesia akan kurang lebih sesuai dengan IFRS. Adalah hal yang serius bila pendidikan akuntansi di Indonesia tidak mampu mencetak lulusan akuntan dengan kompetensi yang memadai. Pada saat ini sudah terlalu deras arus akuntan dari Filipina (yang mengadopsi penuh IFRS sejak 2005) bekerja dalam industri profesi ini. Akankah akuntan Indonesia menjadi tamu dalam rumahnya sendiri?
*****


Daftar Pustaka


Beams, Anthony, Clement and Lowensohn, 2009, Advanced Financial Accounting, 10th edition, Pearson

IASB, 2009, Discussion Paper: Preliminary Views on Revenue Recognition in Contracts with Customers

IFRS, 2009, International Financial Reporting Standards, International Accounting Standard Board.

Mary E Barth, 2008, Global Financing Reporting: Implications for US Academics, The Accounting Review, Vol. 83/ Issue 5, American Accounting Association

Wahyuni & Natasha, 2008, The Evidence of Goodwill Disclosure at Indonesia’s Listed Company and Goodwill Relationship With Future Earnings, Binus University, Unpublished research.

3 comments:

dandi (padang) said...

saya tertarik dgn prnyataan "Ajari Mahasiswa Membuat Pengungkapan" krn sya mngalaminy sndiri,sya tdk mngerti ttg pngungkapan ini..

sya ditugaskan mncari akun terkait pd sebuah perusahaan semen dimana adany konvergensi thd psak..tntuny yg efektif dimulai 1 jan 11..

..dapatkah ibuk mncontohkan pengungkapan tersebut dg mngacu pd psak trbaru utk sbuah perusahaan..

saya sgt berterimakasih skali dg jawaban ibuk..trimakasih..

Ersa Tri Wahyuni said...

Semoga belum terlambat ya. kalau akun terkait sih banyak ya, coba cek Exposure draft di website IAI www.iaiglobal.or.id. Yang pasti beda sih format penyajian laporan keuangan (PSAK 1)

Ersa Tri Wahyuni said...

Dandi, masalah pengungkapan saya biasanya meminta mahasiswa unduh Laporan keuangan lengkap dengan notes nya perusahaan yang sudah memakai IFRS misalnya perusahaan-perusahaan eropa. Ketika saya menjelaskan aset tetap misalnya mereka saya minta buka notes LK tentang aset tetap.

Semoga jelas